06 Maret 2009

Transportasi Regional: Membuka Penerbangan, Mendorong Pertumbuhan

Oleh M SYAIFULLAH dan C ANTO SAPTOWALYONO

Lorna Dowson-Collins Tuh, partner Direktur Kalimantan Tour Destinations, nyaris tak bisa berkata apa-apa. Itu terjadi ketika keduanya tak bisa memenuhi permintaan serombongan wisatawan mancanegara yang datang ke Kuching, Sarawak, Malaysia Timur, beberapa waktu lalu.

Rombongan wisatawan itu batal berkunjung ke Kalimantan Tengah (Kalteng) karena tidak ada penerbangan dari Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim), ke Palangkaraya, ibu kota Kalteng. ”Kunjungan wisatawan ke Kalimantan bisa lebih ramai kalau ada penerbangan langsung dari Bali sebagai tujuan wisatawan asing dari berbagai mancanegara ke Indonesia,” kata Lorna.

Bagi Lorna, kondisi keterbatasan transportasi seperti itu tidak bisa dipahami. Sebab, tidak sesuai dengan kondisi kekayaan sumber daya alam yang dimiliki pulau ini.

Faktanya, minimnya infrastruktur maupun akses penyediaan transportasi justru terjadi hampir di empat provinsi di Kalimantan. Di Kaltim misalnya, Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Kaltim terpaksa menutup jadwal tetap kunjungan ke beberapa daerah wisata di pedalaman lebih enam bulan terakhir, sejak Juli 2008. Penyebabnya hanya karena tidak ada penerbangan perintis ke daerah itu lagi.

Perjalanan wisata yang ditutup itu adalah ke permukiman masyarakat Dayak di Long Bawan dan Long Apung di Kabupaten Malinau. Juga lokasi pelestarian anggrek hitam di Kersik Luwai, Kabupaten Kutai Barat.

”Kalimantan itu dikenal di Eropa dan Amerika, tetapi karena penyediaan transportasi yang tidak memadai, sulit memasarkan pariwisata di daerah ini,” kata Ketua Asita Kaltim Joko Purwanto.

Harus diakui, meski sama-sama berada di satu pulau, Borneo, penyediaan infrastruktur dan transportasi di Sarawak, Brunei Darussalam, dan Sabah jauh lebih maju. Melihat bandara yang ada di negara lain di Borneo, ungkap Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang selaku Koordinator Forum Kerja Sama Revitalisasi dan Percepatan Pembangunan Regional Kalimantan (FKRP2RK) di Palangkaraya, beberapa waktu lalu, ia mengaku ingin rasanya menangis.

”Saya sedih, tetapi tidak akan menangis. Jujur saya iri, tapi tidak dengki. Saya pasti sakit hati, tapi tidak akan bersungut-sungut. (Hal ini) karena empat provinsi di Kalimantan sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia yang harus terus diperjuangkan.” katanya.

Di Kinibalu maupun Kuching, kondisi bandara lebih bagus. Sementara empat bandara utama di Kalimantan, yakni Bandara Sepinggan (Balikpapan), Syamsudin Noor (Banjarmasin), Supadio (Pontianak), dan Tjilik Riwut (Palangkaraya), tidak bisa dibandingkan dengan dua bandara tersebut. Bahkan, sampai saat ini belum ada penerbangan langsung yang menghubungkan empat bandara utama di empat provinsi tersebut.

Ini suatu ironi! Meski sumber daya alam yang dimiliki Kalimantan begitu luar biasa, infrastrukturnya justru jauh tertinggal. Yang ada malah harus terbang ke Jakarta dulu. Konsekuensinya adalah biaya perjalanan jadi tinggi.

”Kondisi Kalimantan tidak akan seperti ini kalau ada perhatian pemerintah,” ujar Teras A Narang.

Prihatin saja, ungkap Teras, tidak cukup. Perlu adanya perjuangan membangun infrastruktur yang masih jauh tertinggal tersebut. Penyediaan jalan, listrik, pendidikan, bahkan penerbangan hingga ke pedalaman masih belum memadai.

Tanpa ada revitalisasi dan percepatan pembangunan, Kalimantan sangat sulit maju. Untuk penyediaan transportasi udara yang berkelanjutan, misalnya, pemimpin daerah di Kalimantan mestinya duduk satu meja untuk membicarakan pengembangan penerbangan regional. Sebab, pengembangan transportasi udara regional Kalimantan dimungkinkan karena didukung 28 bandara yang layak.

Setiap provinsi setidaknya ada satu bandara yang menjadi pusat penyebaran dan bisa didarati pesawat Boeing 737. Bahkan Bandara Supadio, Sepinggan, dan Juwata di Tarakan (Kaltim) sudah berstatus bandara internasional.

Bagi Kalimantan, penerbangan amat dibutuhkan. Sebab, sulit bila hanya mengandalkan jalan darat. ”Penerbangan itu mendorong atau berdampak 3,5 kali lipat kemajuannya di bidang lain,” kata Budhi M Suyitno Budhi, Direktur Jenderal Perhubungan Udara, Departemen Perhubungan.

Data menunjukkan, jumlah penumpang pesawat terbang dalam tiga tahun terakhir terus meningkat. Total jumlah penumpang pesawat terbang tahun 2006 mencapai 6,4 juta penumpang. Pada tahun 2007, jumlahnya meningkat sekitar 6,6 juta orang dan tahun 2008 naik lagi menjadi 6,8 juta penumpang.

Sepinggan yang dibangun tahun 1992, kata Risman Torry, Manajer Personalia dan Umum PT Angkasa Pura I Sepinggan, menjadi bandara tersibuk di Kalimantan. Jumlah penumpangnya melampaui perkiraan semula yang hanya 1,5 juta penumpang tahun 2004, kini mencapai 3,5 juta orang per tahun.

Kondisi yang sama, kata Kepala Bidang Fisik dan Prasarana Perencanaan Pembangunan Kalbar Rusnawir Hamid, dialami Bandara Supadio. Jumlah penumpang yang diperkirakan tahun 2008 mencapai 911.125 orang ternyata terlampaui empat tahun lalu, yakni 921.448 orang pada tahun 2004.

Peningkatan itu justru terjadi saat arus penerbangan di Kalimantan menurun. Tahun 2006, ada 99.224 penerbangan atau turun 12.328 penerbangan karena tahun 2007 hanya 86.924 penerbangan, dan tahun 2008 menjadi 75.845 penerbangan. Apabila penerbangan regional dibangun dengan serius, dipastikan Kalimantan semakin maju.(BRO/WHY/RYO/AIK)


sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/06/03411655/membuka.penerbangan.mendorong.pertumbuhan

Penerbangan Perintis: Gantungan Hidup Masyarakat Pedalaman

Oleh M SYAIFULLAH dan C WAHYU HARYO PS

Orang yang bertemu pertama kali dengan Selutan Tadem, Camat Krayan Selatan di Nunukan, Kalimantan Timur, pasti akan menilainya buruk. Betapa tidak, selama 25 hari—sejak 17 Januari 2009—ia meninggalkan warganya yang tinggal jauh di utara Kaltim.

Orang baru memahaminya ketika sudah mengetahui di mana letak Kecamatan Krayan Selatan. Di Nunukan, ia bukan mangkir kerja. Di sana ia justru mengurusi berbagai keperluan warganya, menyelesaikan administrasi kependudukan, dan mengikuti rapat-rapat di kantor bupati. Ketiadaan penerbangan membuat Selutan kesulitan pulang.

”Saya pulang 10 Februari. Sebab, tanggal itu ada penerbangan,” katanya.

Krayan Selatan berpenduduk 2.500 jiwa. Mereka mendiami 25 kampung. Tidak ada jalan darat atau sungai dari Nunukan atau Malinau untuk mencapainya. Ke sana hanya bisa dicapai dengan naik pesawat berkapasitas belasan penumpang. ”Daerah kami lebih dekat Desa Miri, Sarawak, dan cukup jalan kaki,” tuturnya.

Krayan Selatan punya lima lapangan terbang dengan sebagian landasan pacu tanah dan rumput yang kurang dari 1.000 meter. Namun, sejak awal Januari 2009, tidak ada pesawat yang singgah kecuali milik Mission Aviation Fellowship (MAF). Pesawat jenis Cessna 206 milik maskapai misionaris Kristen itu hanya dua kali seminggu ke sana.

Krayan Selatan terakhir sempat disinggahi pesawat Cessna Grand Caravan milik Susi Air pada September-Desember 2008 ketika dikontrak Pemerintah Kabupaten Nunukan. Pemerintah ingin melanjutkan kontrak itu agar tidak cuma pesawat MAF yang ke sana. Namun, rencana itu belum bisa terlaksana karena DPRD belum menyetujui usul dana dari APBD setempat.

Selain susah bepergian, warga pun kesulitan memasok bahan pokok dari Nunukan atau Malinau. Memanfaatkan pesawat MAF tidak memungkinkan. Sebab, kapasitasnya cuma lima penumpang atau setara 450 kilogram barang.

”Apalagi, tarif sekali jalan dari Long Layu (Krayan Selatan) ke Tarakan sekitar Rp 1 juta per orang,” kata Selutan.

Dipasok dari Sarawak

Akibat kondisi inilah, warga setempat mengandalkan pasokan kebutuhan sehari-hari dari perbatasan Sarawak dan Sabah. Bukan hal aneh mereka banyak mempunyai ringgit Malaysia.

Orang Krayan Selatan tidak sendirian. Nasib sama juga dirasakan warga Long Ampung, Data Dian, Long Rungan, Long Padi, Binuang, dan Long Bawan di Malinau dan Nunukan. Hingga kini, cuma pesawat dan atau perahu yang bisa menjangkau mereka.

David, warga Kuala Kurun, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, penumpang Aviastar yang ditemui belum lama ini, mengatakan, penerbangan perintis rute ini sudah setahun terakhir terhenti dan baru beroperasi kembali pada Februari. Ketiadaan ini terjadi karena penerbangan perintis tahun 2008 tidak terealisasi. Sebab, setelah lelang penerbangan perintis, tidak ada maskapai yang berminat menerbangi rute perintis di Kalteng.

Tahun 2009, pemerintah menyediakan penerbangan perintis untuk sembilan rute ke pedalaman Kalteng, yang menghubungkan 12 kota. Namun, jumlah maskapai yang akan menerbangi belum ditentukan karena masih proses lelang.

Warga yang ingin bepergian secara cepat harus ke Kuala Kurun walaupun harga tiketnya Rp 226.000 atau lebih mahal Rp 116.000 daripada angkutan darat, yakni Rp 110.000. Ikut penerbangan ini menjadi pilihan yang tepat. Sebab, kondisi jalan banyak yang rusak parah bila melalui jalan darat. Sebagian bahkan berwujud kubangan lumpur sehingga cukup menyiksa dan melelahkan karena perlu waktu lebih lama.

Saat naik penerbangan pesawat Aviastar yang menerbangi rute Palangkaraya-Kuala Kurun, awal Februari lalu, memang lengang penumpang. Hal itu dikarenakan rute ini baru saja kembali dibuka.

Sebaliknya, meski baru mendahului sekitar dua minggu sebelumnya, pembukaan kembali rute Palangkaraya-Puruk Cahu di Kabupaten Murung Raya justru ramai. Hampir tiap hari tiket pesawat habis dipesan. Ramainya penumpang Aviastar rute Palangkaraya-Puruk Cahu, kata Presiden Direktur PT Aviastar Mandiri Bayu Sutanto, karena didominasi pejabat dan kalangan pengusaha, terutama pengusaha tambang.

Terkait masih sepinya penumpang rute Palangkaraya-Kuala Kurun ini, David berharap jadwal penerbangan rute tersebut jangan hanya Rabu dan Jumat, tetapi kalau bisa juga Sabtu, Minggu, atau Senin. ”Ini untuk mengantisipasi kebutuhan warga yang ada urusan dinas atau bisnis, yang kebanyakan dilakukan pada hari Senin,” katanya.

Banyaknya penumpang moda transportasi udara ini ternyata juga diharapkan para sopir taksi ataupun tukang ojek. Bandara Kuala Kurun, misalnya, menjadi tempat mencari rezeki baru para tukang ojek sejak adanya penerbangan kembali pada awal Februari 2009.

Karti, tukang ojek di Kuala Kurun, misalnya, mengenakan tarif Rp 25.000 untuk mengantar penumpang ke kota. ”Karena penerbangan aktif lagi, saya bisa lagi antar-jemput penumpang ke sini,” katanya.

Darlan, sopir taksi Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya, bahkan berharap hal ini akan membawa tambahan penumpang. Sebab, ramai sepinya penerbangan berpengaruh juga terhadap usaha para sopir taksi bandara.

Di Bandara Tjilik Riwut dengan empat kali penerbangan rute Jakarta-Palangkaraya dan Palangkaraya-Surabaya, taksi yang ada baru 25 taksi. ”Per hari kami cuma menjalankan satu rit. Uang yang disetor Rp 50.000 per hari,” katanya.

Hidupnya kembali penerbangan perintis memang menjadi harapan warga Kalimantan. Sebab, hal ini akan berdampak makin banyak penerbangan reguler ke Kalimantan.

Seandainya nanti, kata Vice President Network Management Garuda Indonesia Risnandi, jumlah penumpang yang terkumpul di Bandara Tjilik Riwut meningkat seiring beroperasinya kembali penerbangan perintis dari kabupaten-kabupaten di Kalteng, tentu Garuda akan menambah penerbangan ke Palangkaraya dari satu kali sehari menjadi dua kali sehari. (BRO/RYO/AIK)
sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/06/0342168/gantungan.hidup.masyarakat.pedalaman

Mengapa Ramai-ramai Membangun

Oleh AMBROSIUS HARTO dan C WAHYU HARYO PS

Pembangunan Bandar Udara Sultan Kutai Berjaya di Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, yang mangkrak sejak 2006, akhirnya dihentikan. Keputusan tegas ini diambil Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak, hanya lima hari setelah ia dilantik pada 17 Desember 2008.

Ide pembangunan Bandara Sultan Kutai Berjaya itu datang dari Syaukani HR, mantan Bupati Kutai Kartanegara. Sejak tahun 2003, lahan seluas 1.300 hektar telah disiapkan. Dana miliaran rupiah pun telah dikucurkan. Siapa sangka, proyek ambisius itu terhenti akibat terjegal kasus korupsi.

Awang melihat persoalan ini secara realistis. Sebab, di Samarinda—hanya 40 kilometer dari Loa Kulu—pada saat bersamaan sedang dibangun pengembangan Bandara Samarinda Baru di Kelurahan Sungai Siring, Kecamatan Samarinda Utara.

Bagaimana mungkin dalam radius 40 km ada dua bandara dibangun bersamaan? Itulah gambaran ambisi pemerintah daerah di era otonomi. Mereka sepertinya berlomba-lomba membangun bandara tanpa memikirkan implikasi dan persyaratan ketat jika sebuah bandara beroperasi. Kemegahan saja yang terpikir.

Getolnya keinginan membangun bandara baru juga terjadi di Kalimantan Barat (Kalbar). Pemerintah Kota Singkawang bahkan berambisi membangun bandara internasional. Padahal, Singkawang hanya berjarak 145 km dari Bandara Internasional Supadio, Pontianak, dan dapat ditempuh mobil hanya dalam 2,5 jam.

Ambisi ini terkesan mengada-ada. Mengapa tak memanfaatkan Supadio? Toh, perjalanan antardua kota itu sangat lengang? Bila menyimak Pasal 10 Rancangan Peraturan Presiden tentang Rencana Tata Ruang Pulau Kalimantan pun dapat dilihat adanya rencana jalan tol Pontianak-Singkawang. Artinya, akan ada infrastruktur jalan yang mumpuni antardua kota tersebut.

Wali Kota Singkawang Hasan Karman boleh beralasan bahwa Singkawang punya aset wisata yang luar biasa: pantai, bukit, air terjun, danau, serta tempat-tempat wisata religius. Persoalannya, ketika peristiwa budaya seperti Cap Go Meh hanya berlangsung satu kali dalam setahun, akankah ada permintaan yang berkelanjutan terhadap sebuah rute penerbangan?

Belum tuntas perdebatan mengenai dibutuhkannya bandara di Singkawang, sudah muncul ide membangun bandara baru di Kabupaten Sintang, yang kali ini berjarak 395 kilometer dari Pontianak. Rencana pembangunan bandara baru ini begitu mencengangkan. Sebab, Sintang sebenarnya sudah mempunyai bandara bernama Susilo di Sungai Durian. Delapan tahun lalu, bandara itu masih didarati pesawat kecil berkapasitas sembilan orang.

Namun, kini bandara itu tak lagi disinggahi satu penerbangan pun. Paling-paling di sore hari, anak-anak ramai bermain layangan di landasan pacu bandara. Wakil Bupati Sintang Djarot Winarno ngotot bandara baru harus dibangun agar mampu didarati pesawat yang lebih besar untuk menarik minat maskapai mendarat di sana.

Pemerintah Kabupaten Sintang, juga di Kalimantan Barat, pun setali tiga uang. Tahun ini, di Sungai Tebelian, mereka berniat mulai merealisasikan bandara baru itu.

Bahkan, Pemerintah Kabupaten Sintang menyediakan lahan dan mengalokasikan dana Rp 5 miliar pada tahun anggaran 2009 ini. Sementara dana pembangunannya akan dicarikan dari pemerintah provinsi dan pemerintah pusat.

Sebenarnya, apa masalahnya dengan bandara lama, Bandara Susilo? Dengan panjang landasan pacu 1.300 meter dan lebar 30 meter pun, dua tahun lalu Kompas mampu mendarat di Sintang menggunakan pesawat carteran jenis CN-235.

Pengumpul dan pengumpan

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada pemerintah daerah yang menyisihkan sebagian anggaran untuk mengembangkan bandara, sebenarnya harus dipahami dulu teori bandara pengumpul dan pengumpan atau hub and spoke.

Konektivitas penerbangan dengan pola penataan bandara ”pengumpul dan pengumpan” ini telah digunakan di Amerika Serikat sejak awal 1980-an. Sistem ini muncul akibat pemberlakuan Airline Deregulation Acts 1978, yang mendorong menjamurnya maskapai dan bandara di berbagai wilayah di Amerika.

Dengan pola ini, pemerintah daerah maupun pemerintah pusat tidak perlu menghamburkan anggaran untuk memperbaiki atau membuat bandara baru. Tak perlu memperpanjang landasan pacu hingga dua kilometer atau lebih.

Inilah yang menjadi dasar bagi produsen untuk memproduksi pesawat dengan jenis dan ukuran berbeda. Ada pesawat berjenis jet, ada pula pesawat berjenis propeller atau baling-baling. Ada pesawat berkapasitas 9-10 orang, 50-60 orang, 140-160 orang, hingga lebih dari 200 orang.

Ketika pola ”pengumpul dan pengumpan” ini dipahami, cukup misalnya, Bandara Rahadi Oesman di Ketapang didarati pesawat berkapasitas 60 orang, lalu terbang ke Supadio untuk kemudian diangkut menggunakan pesawat berkapasitas 140-160 orang menuju Jakarta.

Mungkin kini hal terbaik adalah menyelesaikan dulu seluruh proyek peningkatan kapasitas bandara di Kalimantan. Lalu, memilah-milah lagi mana yang perlu ditingkatkan di masa mendatang. Ini penting dalam upaya menghemat ratusan miliar hingga triliunan rupiah yang dapat dialihkan untuk membangun infrastruktur lainnya.

Tahun 2009 ini, misalnya, pemerintah menambah panjang landasan pacu Bandara Kalimarau di Kabupaten Berau, Kaltim, dari 1.850 meter menjadi 2.250 meter. Di Bandara Nunukan, juga di Kaltim, landasan pacu sepanjang 1.100 meter pun diperlebar dari 23 meter menjadi 30 meter. Adapun untuk mobilitas warga di perbatasan, pemerintah juga menambah panjang landasan Bandara Yuvai Semaring, Long Bawan, dari 900 meter menjadi 1.200 meter dengan dana Rp 3 miliar.

Persoalannya, lagi-lagi, pada era otonomi daerah ini pemerintah pusat tak berhak menetapkan jalur penerbangan begitu saja. Daerah mempunyai otoritas menetapkan sendiri jalurnya. Daerah punya kepentingan, keinginan, dan harapan terkait transportasi udara.

Kini, tinggal bagaimana masing-masing pihak mampu duduk bersama dan dengan kepala dingin memutuskan yang terbaik. Pembangunan atau pengembangan bandara di kota-kota di Kalimantan memang mutlak sebab pulau ini sangat besar. Luas empat provinsi yang ada di pulau ini saja lebih tiga kali luas pulau Jawa.

Hanya saja, perencanaannya harus matang sehingga pembangunannya sesuai kebutuhan. Fakta yang terjadi, masih banyak pengelolaan bandara di Indonesia—bahkan termasuk di Kalimantan sendiri—yang terus merugi.

”Jujur saja, pengelolaan bandara kita banyak yang asal-asalan. Apa adanya,” kata Dirjen Perhubungan Udara Budi M Suyitno pada Seminar Penerbangan Regional Kalimantan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, awal Februari lalu.

Pengembangan bandara sekarang harus memperhitungkan aspek bisnis. Lihat saja Bandara Changi di Singapura atau Bandara Dubai yang setiap tahun didatangi puluhan juta penumpang. Padahal, jumlah penduduk mereka justru lebih kecil daripada penduduk Kalimantan. Kalau terus merugi, buat apa membangun bandara? Bukankan justru menjadi beban daerah itu sendiri! (FUL/RYO/CAS/AIK)
sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/06/03401835/mengapa.ramai-ramai.membangun

Operasional Pesawat Terbang: Tidak Seperti Mengelola Opelet

Akhirnya pesawat jenis Britten Norman 2A milik maskapai PT Dirgantara Air Service yang dinanti itu tiba di Bandara Yuvai Semaring, Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, Minggu, 7 September 2008. Namun, bukannya bergegas naik ke pesawat, puluhan warga itu justru menyandera pesawat.

Hari itu adalah puncak kemarahan warga Krayan kepada PT Dirgantara Air Service (DAS). Selama tujuh bulan, PT DAS mangkir terbang ke Krayan. Padahal, penerbangan tersebut mendapat subsidi dana dari pemerintah.

Sesuai kontrak, PT DAS seharusnya melayani rute penerbangan Bandara Nunukan-Yuvai Semaring, Long Bawan, Kecamatan Krayan, Mei-Desember 2008, memakai pesawat Cassa-212. Namun, sejak Januari hingga Juli 2008, pesawat DAS berhenti beroperasi karena masalah armada dan keuangan.

Tiadanya penerbangan itu telah menyengsarakan warga Krayan. Selama ini pesawat itu menjadi satu-satunya jembatan pembuka isolasi mereka ke dunia luar. Harga kebutuhan pokok di Krayan pun menjadi mahal dan langka. Harga gula Rp 25.000 per kilogram, solar dan bensin hingga Rp 30.000 per liter.

Kemarahan tak hanya diluapkan warga Krayan yang ada di kampung. Terhentinya penerbangan itu juga menyebabkan ratusan warga asal Krayan yang sedang berada di Nunukan tidak bisa pulang. Pada hari yang sama, mereka melampiaskan kekesalan dengan merusak Bandara Nunukan.

Bagi sebagian masyarakat pedalaman Kalimantan, penerbangan merupakan urat nadi transportasi. Sebab, pelayaran sungai sudah tidak menjadi andalan lagi. Saat musim hujan, arus terlalu liar dan saat kemarau menjadi dangkal. Sementara itu, jalan darat masih sangat terbatas.

Namun, menghadirkan rute penerbangan ke daerah-daerah pedalaman itu tak gampang. Lebih susah lagi mempertahankan agar maskapai yang sudah mau merintis rute penerbangan ke pedalaman itu tetap beroperasi.

Di sisi lain, tak semua pemerintah daerah mau dan mampu membeli pesawat seperti Pemerintah Kabupaten Merauke meski kebutuhan terhadap penerbangan kian dirasa penting untuk membuka sekat isolasi. Pemerintah Kabupaten Merauke memang selangkah lebih maju ketimbang pemerintah daerah lainnya. Menyadari letak geografisnya yang sulit dijangkau, mereka membeli tiga pesawat terbang. Salah satunya, pesawat Boeing 737-300 yang diberi nama Aoba dibeli seharga Rp 79,5 miliar.

Pesawat itu tidak ditangani sendiri, melainkan ”dititipkan” ke Merpati Nusantara Airlines. Sebab, Pemerintah Kabupaten Merauke melihat strategi bisnis jangka panjang penggunaan transportasi ini. Selain itu, tentu saja terkait penguasaan teknik penerbangan dan kepatuhan terhadap regulasi internasional.

Mendatangkan penerbangan ternyata memang tidak mudah. Yang menjadi persoalan, bagaimana maskapai tetap beroperasi tanpa saling merugikan. ”Salah satu caranya dengan menjalin kerja sama operasi (KSO) antara pemerintah daerah dan maskapai tertentu,” kata Direktur Utama Merpati Bambang Bhakti.

Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur misalnya, memilih KSO bagi hasil dengan maskapai Merpati. Caranya, mereka menginvestasikan Rp 25 miliar untuk membantu perbaikan pesawat Merpati sehingga bisa melayani rute Sampit-Jakarta selama tiga tahun. Selain bagi hasil, pola lainnya berupa subsidi. Dana Subsidi itu oleh pemerintah setempat untuk memotong harga tiket hingga 50 persen.

”Tiada yang dirugikan dalam KSO. Itu harus dipastikan sebelum maskapai dan pemerintah daerah membuka rute baru,” kata Bambang Bhakti.

Pola KSO sepertinya patut dilirik, sebagaimana yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Merauke dan Kotawaringin Timur untuk menghadirkan penerbangan berkelanjutan. Bagi maskapai seperti Merpati, KSO merupakan jalan untuk menerbangkan kembali pesawat-pesawat yang berada di hanggarnya.

”Pada Periode awal 1990-an, Merpati mempunyai 98 pesawat, namun kini tinggal 20-an pesawat. Tentu masih ada beberapa pesawat di hanggar yang membutuhkan perbaikan supaya dapat terbang kembali,” katanya.

Ada banyak kisah di balik limbungnya penerbangan yang dikelola daerah akibat kesalahan manajemen. Di Timika, Provinsi Papua, pesawat jenis Pilatus Porter yang dibeli pemerintah daerah setempat seharga Rp 25 miliar sempat mangkrak berbulan-bulan.

Pengoperasian pesawat itu akhirnya dititipkan ke Association Mission Aviation (AMA). Harapannya, AMA sebagai maskapai yang telah berpengalaman dapat memberdayakan pesawat itu untuk melayani penerbangan ke pelosok Timika.

Pemprov Kaltim juga memiliki pengalaman serupa. Pada tahun 2005, mereka membeli dua pesawat Airvan GA8 untuk melayani rute Samarinda-Long Ampung dan Samarinda-Datah Dawai. Dua pesawat itu merupakan bagian dari delapan pesawat Airvan yang dibeli Kaltim Rp 27,5 miliar.

Mungkin bagi Kaltim dengan APBD sekitar Rp 6 triliun dana pembelian Airvan tak berarti banyak. Yang menjadi masalah, kepemilikan pesawat Airvan ternyata tak menguntungkan Pemprov Kaltim. Karena itu, mereka kini berniat menghibahkan semua Airvan untuk Pemkab Kutai Barat, Malinau, dan Nunukan.

Mengelola pesawat memang tak semudah mengelola opelet. Jangan karena punya uang, lalu jorjoran membeli pesawat, te- tapi kemudian membiarkannya mangkrak.(RYO/BRO/AIK/WHY/CAS/FUL)


sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/06/03391130/tidak.seperti.mengelola.opelet

Saatnya Membayar Utang kepada Kalimantan

”Saya tidak akan menangis. Jujur saya iri, tapi tidak dengki. Saya pasti sakit hati, tapi saya tidak akan bersungut-sungut. (Hal ini) karena empat (provinsi di) Kalimantan sebagai bagian NKRI harus terus diperjuangkan.”

Ungkapan liris mirip puisi yang pedih itu disampaikan Agustin Teras Narang, Gubernur Kalimantan Tengah, saat membuka diskusi penerbangan yang diadakan Kompas bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah di Palangkaraya, Senin (2/2).

Setelah berakhirnya era kolonialisasi Belanda di Indonesia dan Inggris di Malaysia, Pulau Borneo—sebutan lain untuk Kalimantan—yang dibelah oleh perjanjian dua negara penjajah Belanda dan Inggris pada 20 Juni 1891 diwariskan kepada bekas anak jajahannya masing-masing. Indonesia mewarisi sekitar dua pertiga tanah Borneo dan sisanya terbagi antara Malaysia dan Brunei.

”Dari tiga negara yang berada di pulau ini, penduduk di wilayah Indonesia paling miskin. Saya ke Kuching, melihat bandaranya sangat megah. Tak bisa dibandingkan dengan empat provinsi di Kalimantan,” kata Teras Narang, yang baru saja melepaskan jabatannya sebagai Koordinator Forum Kerja Sama Revitalisasi dan Percepatan Pembangunan Regional Kalimantan (FKRP2RK) pada 2 Maret.

Teras Narang menyoroti minimnya infrastruktur fisik di Kalimantan, dari defisit listrik, jalan darat dari Kaltim hingga Kalbar belum terhubung. Paling memprihatinkan, tidak ada penerbangan langsung antarprovinsi. ”Kalau saya mau ke Pontianak atau ke Balikpapan harus terbang dulu ke Jakarta. Ini biaya tinggi,” katanya.

Kemiskinan infrastruktur Kalimantan itu kontras dengan kekayaan sumber daya alamnya. ”Sebanyak 94 persen kebutuhan batu bara Indonesia disuplai Kaltim dan Kalsel, tapi kami kekurangan listrik,” kata Teras Narang.

Jika kontribusi perekonomian Kalimantan terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional tahun 2008, yakni sekitar Rp 321,9 triliun, dapat digunakan sepenuhnya untuk pembangunan di regional Kalimantan, termasuk penerbangan, tentunya kesejahteraan masyarakat yang ada saat ini akan jauh lebih baik.

”Sampai kapan Kalimantan hanya menjadi daerah penyuplai?" katanya.

Daerah modal

Jika Soekarno pernah bercita-cita menjadikan Palangkaraya sebagai ibu kota Indonesia Raya, rezim Orde Baru hanya menempatkan Kalimantan sebagai daerah modal. Kebijakan ekonomi sentralistik telah menempatkan Kalimantan menjadi daerah penyuplai untuk menggerakkan ekonomi Indonesia yang berpusat di Jawa. Namun, pembangunan Kalimantan sendiri justru dilupakan.

Infrastruktur jalan dibangun hanya seadanya, yang penting truk kayu bisa lewat. Pelabuhan-pelabuhan kecil dibangun, tetapi hanya untuk melewatkan kayu-kayu itu ke luar negeri. Adapun jalur penerbangan hanya untuk menghubungkan tiap wilayah ke Jakarta, dan tidak pernah didesain untuk menghubungkan antarprovinsi di Kalimantan.

Jatuhnya rezim Orde Baru membuka peluang otonomi daerah, tetapi pembalakan hutan justru makin marak. Industri ekstraksi penambangan juga makin merajalela. Di atas semua itu, rakyat Kalimantan tak juga bertambah makmur. Ekonomi Kalimantan masih elitis, belum menyentuh level terbawah.

Direktur Jenderal Perhubungan Udara Budhi M Suyitno mengatakan, penerbangan perintis seharusnya menjadi pionir untuk membuka daerah terpencil dan pedalaman Kalimantan. ”Penerbangan diharapkan bisa mendorong perdagangan dan memajukan ekonomi,” katanya.

Namun, penerbangan perintis itu sejauh ini ternyata lebih banyak dimanfaatkan pejabat untuk berpelesir ke luar daerah. ”Yang memanfaatkan penerbangan dari daerah seperti Papua dan Kalimantan kebanyakan pejabat yang hendak ke Jakarta,” kata Bayu Sutanto, Presiden Direktur Aviastar Mandiri.

Pembangunan infrastruktur di Kalimantan, termasuk untuk penerbangan, adalah utang negara kepada penduduk pulau ini. Lebih penting lagi adalah bagaimana membangun infrastruktur ini agar tepat sasaran.

Menata Kalimantan ke depan mestinya dimulai dengan mengubah perspektif pembangunan, yaitu dari pembangunan yang bertumpu pada ekonomi ekstraktif menjadi ekonomi berbasis rakyat. Jika tidak, burung-burung besi yang nantinya akan memenuhi udara Kalimantan hanya akan menjadi tontonan masyarakat tempatan, tanpa mereka mampu menaikinya....(CAS/BRO/WHY/FUL/RYO/AIK)

sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/06/03442052/saatnya.membayar.utang.kepada.kalimantan

23 Februari 2009

Trans-Kalimantan Belum Dukung Ekonomi Rakyat

Pontianak, Kompas - Jalur jalan trans- Kalimantan terbukti lebih banyak berfungsi sebagai jalur angkutan industri perkebunan sawit dan pertambangan batu bara lintas selatan dari Kalimantan Timur hingga Kalimantan Barat sepanjang 3.196 kilometer.

Truk yang umumnya berbeban berlebih merusak jalan sehingga mengganggu kelancaran perdagangan rakyat antardaerah dan menghambat pertumbuhan ekonomi.

Jalur trans-Kalimantan yang belum sepenuhnya selesai dibangun itu juga menjadi prasarana penyedot kekayaan daerah tersebut. Sedangkan minimnya industri pengolahan produk turunan mengakibatkan masyarakat Kalimantan tak mendapat nilai tambah.

Di Kaltim, dari Nunukan hingga Bontang, truk minyak sawit mentah (CPO) bermuatan 12 ton memenuhi badan jalan yang selebar 4,5 meter. Selain merusak jalan, arus lalu lintas terhambat karena truk sulit didahului (disusul). Truk CPO yang terjebak dalam kubangan lumpur juga memutus lalu lintas barang dan orang selama berhari-hari.

Hasil penelitian Universitas Lambung Mangkurat dan Badan Litbang Kalimantan Selatan, yang dipublikasikan di jurnal Balitbangda Kalsel 2007, menyebutkan, truk batu bara menjadi faktor dominan perusak jalan dari Kandang ke Banjarmasin (92 kilometer).

Penelitian itu juga mengungkapkan, tiap hari antara pukul 18.00 dan 06.00 rata-rata 1.500 truk batu bara berkonvoi di jalan nasional. Umumnya, beban yang diangkut mencapai 14 ton, padahal kemampuan jalan hanya 8 ton sehingga 40 km dari 92 km jalan dari Kandangan ke Banjarmasin berkondisi rusak.

Direktur Jenderal Perhubungan Darat Departemen Perhubungan Suroyo Alimoeso mengakui, masih banyak truk berbeban berlebih melintas di jalan nasional. ”Pengawasan hanya optimal pada siang hari, sedangkan pada malam hari sulit karena terbatas prasarana,” ujar Suroyo, pekan lalu.

Direktur Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum Hermanto Dardak meminta Departemen Perhubungan dan dinas perhubungan lebih mengawasi truk berbeban berlebih. ”Truk sawit dan industri sesegera mungkin juga harus lewat jalan khusus,” katanya.

Kondisi trans-Kalimantan

Perjalanan Kompas dan Departemen PU dari Nunukan, Kaltim, hingga Sambas, Kalbar, 5-19 Februari, menemukan fakta, dari 3.195,90 km jalan trans-Kalimantan, sekitar 400 km jalan masih berupa tanah dan sekitar 250 km berupa agregat (kerikil). Jalan kerikil menjadi lumpur tatkala hujan lebat.

Di Kaltim, jalan rusak terjadi di ruas Simanggaris-Malinau- Tanjung Selor, Labanan-Muara Wahau, dan Sanggata-Bontang. Di Kalsel, abrasi mengancam jalan di Pagatan, Kabupaten Tanah Bumbu. Di Kalteng, banjir memutus lalu lintas di ujung jembatan layang Tumbang Nusa.

Sepanjang 16 km jalan di Kabupaten Ketapang, Kalbar, yang berbatasan dengan Kabupaten Lamandau, Kalteng, baru tahap pembukaan. Dua sungai yang melintang juga belum dilengkapi jembatan. Pelintas terpaksa memutar lewat jalan kayu (log) perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH). Nyawa menjadi taruhan karena jalan itu dilewati truk-truk log yang besar. Akibatnya, hanya pedagang bersepeda motor yang berani lewat.

Di luar jalan yang belum terbangun, beratnya medan menyebabkan perjalanan dari Tanjung Redeb, ibu kota Kabupaten Berau, ke Samarinda (540 km) harus ditempuh Kompas dengan kendaraan gardan ganda dalam 20 jam. Sedangkan para sopir truk bahan-bahan pokok hingga pedagang itik biasanya menempuhnya selama 3 sampai 5 hari. Pembangunan dan preservasi jalan trans-Kalimantan ini terus dikebut untuk memenuhi target Menteri PU Djoko Kirmanto, yaitu terhubungnya Kaltim hingga Kalbar paling lambat akhir 2009.

Buruknya kondisi jalan dan beban jalan berlebih oleh kendaraan berat mendorong Pemerintah Provinsi Kalsel merencanakan pada Juni 2009 truk batu bara harus menggunakan jalan khusus batu bara. Ini setelah pemda mendesak dilakukannya pembangunan belasan ruas jalan khusus dan jalan bypass.

Di Kalteng, Gubernur Agustin Teras Narang dan pengusaha sawit mendesain jalan perkebunan sehingga tak merusak jalan nasional. Kalteng juga segera membangun jalur kereta batu bara sebelum ”ledakan” batu bara di Kabupaten Barito Utara, tepatnya di hulu Sungai Barito.

Anggaran dari pusat

Selain kerusakan jalan yang diakibatkan truk industri, hancurnya jalan di Kalimantan juga terkait dengan minimnya anggaran. Sebagai perbandingan, biaya pemeliharaan jalan di Indonesia Rp 20 juta per km per tahun, sedangkan di Sarawak, Malaysia, Rp 102 juta per km per tahun.

Direktur Bina Teknik Departemen PU Danis H Sumadilaga menegaskan, sebenarnya tak ada hambatan teknis dalam membangun jalan karena teknologinya sudah dikuasai. Bahkan, Tim Jelajah Kalimantan Kompas dan Departemen PU menemukan fakta bahwa konsultan teknik di Sarawak ternyata warga negara Indonesia lulusan universitas negeri ternama di Bandung.

Jadi, selain truk industri, masalah utama infrastruktur jalan yang tidak segera beres di Kalimantan adalah soal pendanaan. Direktur Bina Program Departemen PU Taufik menambahkan, dari kebutuhan anggaran ideal Rp 8,12 triliun (tahun 2009), dana yang dialokasikan hanya Rp 2,19 triliun.

Aji Sofyan Effendi, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman, mendesak kalangan industri besar ikut bertanggung jawab memperbaiki jalan. Apalagi retribusi dari 1.500 truk di ruas Kandangan-Banjarmasin hanya Rp 5,4 miliar per tahun. Padahal, biaya ideal memelihara ruas Kandangan-Banjarmasin Rp 10,4 miliar per tahun.

Bagi pengusaha, kerusakan jalan menambah waktu tempuh truk, dan itu mengurangi keuntungan. Bagi pejabat, jalan rusak memperlama perjalanan. Namun, bagi sopir truk, Syaiful, yang ditemui di Pimping, Kabupaten Bulungan, Kaltim, molornya perjalanan selama empat hari karena terbenam lumpur menyebabkan hampir separuh dari seperempat dari 50.000 bibit karet yang dibawanya mati kering. (BRO/CAS/WHY/FUL/RYO/AIK)

sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/23/00170431/trans-kalimantan.belum.dukung.ekonomi.rakyat

Kalimantan, Potensi yang Terabaikan

BAMBANG PS BRODJONEGORO

[Guru Besar dan Dekan FEUI]

Dalam periode krisis ekonomi global seperti saat ini, fokus kebijakan ekonomi lebih banyak menyentuh permasalahan ekonomi makro, sektor keuangan, dan berdimensi jangka pendek. Berbagai analisis dan estimasi mengenai dampak krisis terhadap perekonomian Indonesia membuat semua pihak terpaku pada upaya menahan pelambatan laju pertumbuhan ekonomi, mencegah bertambahnya pengangguran, serta menekan pertambahan jumlah orang miskin.

Tingkat keberhasilan berbagai upaya tersebut pada akhirnya akan bergantung pada fundamental perekonomian Indonesia sendiri yang tidak hanya terdiri atas sederetan indikator ekonomi makro, tetapi juga pada kekuatan perekonomian domestik. Meskipun sudah diakui mempunyai pasar domestik yang besar dengan penduduk lebih dari 220 juta jiwa, pertanyaan besarnya adalah sudahkah Indonesia mengoptimalkan potensi tersebut dengan memberdayakan seluruh wilayah negara dari Sabang sampai Merauke.

Laporan Pembangunan Dunia (World Development Report) 2009, yang belum lama ini dipublikasikan oleh Bank Dunia, menyampaikan pentingnya perekonomian suatu negara mengoptimalkan potensi penduduk dan wilayah yang ada di dalamnya. Dengan kata lain, suatu wilayah dapat menciptakan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas apabila berhasil menelurkan kebijakan ekonomi yang sudah mengoptimalkan potensi penduduk dan wilayahnya.

Sukses kelola kepadatan ekonomi

Singkatnya, pertumbuhan ekonomi wilayah harus memerhatikan 3D, yaitu density (kepadatan), distance (jarak), dan division (bagian). Laporan itu menyimpulkan, kemajuan perekonomian di Amerika Utara, Eropa Barat, serta Jepang terjadi karena perekonomian berhasil mengelola kepadatan ekonomi yang tinggi (PDB per kilometer persegi), memperpendek jarak antarpusat ekonomi, serta menciptakan integrasi ekonomi yang menembus segala macam batas administratif.

Laporan itu juga memperkirakan, India, China, dan ASEAN akan menjadi wilayah perekonomian berikutnya yang mengalami pertumbuhan tinggi berkesinambungan. Tingkat kepadatan ekonomi yang tinggi di India, makin dekatnya pusat-pusat ekonomi di China, serta integrasi ekonomi ASEAN adalah alasan utama dari perkiraan tersebut.

Secara kontras juga ditampilkan fakta tentang perekonomian Afrika yang sulit berkembang pesat karena tidak adanya upaya mengoptimalkan penduduk dan wilayah mereka.

Di berbagai perekonomian yang sudah digolongkan maju, kebijakan perekonomian sudah langsung menyentuh dinamika penduduk dan wilayah yang ditunjukkan dengan fenomena aglomerasi (sinergi berbagai aktivitas ekonomi yang berkaitan), migrasi (perpindahan penduduk antarwilayah), serta spesialisasi ekonomi wilayah. Agar fenomena tersebut dapat dioptimalkan, perekonomian harus mampu mengelola kebijakan urbanisasi, pembangunan berbasis kewilayahan, serta integrasi wilayah.

Terjadinya konsentrasi ekonomi Indonesia yang luar biasa di Pulau Jawa bisa dilihat dari sisi positif dan negatif. Sisi positif terlihat dari munculnya urbanisasi di Pulau Jawa yang kemudian menciptakan aglomerasi serta tumbuhnya sejumlah kota besar yang menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Pulau Jawa dan Indonesia.

Jarak antarpusat aktivitas ekonomi di Pulau Jawa juga semakin dekat dengan infrastruktur yang relatif lengkap dan terpelihara. Integrasi ekonomi antarwilayah di Jawa juga semakin kentara dengan munculnya beberapa daerah metropolitan di sekitar kota besar serta spesialisasi ekonomi di tingkat kabupaten dan kota.

Sisi negatif muncul sebagai akibat makin beratnya beban Pulau Jawa menopang perekonomian nasional serta belum dioptimalkannya perekonomian luar Jawa dengan strategi pembangunan wilayah yang mencerminkan unsur-unsur yang ditampilkan dalam laporan Bank Dunia di atas.

Perhatian khusus perlu diberikan kepada Pulau Kalimantan yang luas wilayahnya, sedikit jumlah penduduknya, tetapi berperan penting sebagai penghasil devisa dari kekayaan alamnya dan lebih jauh lagi akan sangat menentukan dalam menjaga ketahanan energi nasional.

Ekspedisi Kompas menunjukkan betapa menyedihkannya kondisi infrastruktur pulau yang demikian penting bagi Indonesia dan bahkan bagi dunia apabila dilihat dari fungsi hutan tropis dalam kelestarian lingkungan hidup. Unsur-unsur 3D jelas tidak muncul dalam perekonomian wilayah Kalimantan.

Hampir tidak ada konsentrasi kegiatan ekonomi perkotaan yang bisa menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi wilayah (kecuali mungkin Balikpapan dalam skala kecil), jauhnya jarak antarpusat ekonomi (ditambah buruknya kondisi jalan), serta hampir tidak adanya integrasi ekonomi antarwilayah (kecuali Samarinda-Balikpapan-Tenggarong dalam skala kecil).

Kombinasi kebijakan urbanisasi

Tersebarnya penduduk di hampir keseluruhan wilayah pulau jelas akan menyulitkan upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi Kalimantan yang belakangan ini tidak secepat pertumbuhan ekonomi Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Kombinasi kebijakan urbanisasi, pembangunan wilayah, serta integrasi ekonomi wilayah harus menjadi dasar kebijakan ekonomi wilayah.

Suka tidak suka, percepatan pertumbuhan ekonomi Kalimantan akan bergantung pada pertumbuhan beberapa wilayah kota besar yang akan tercipta apabila kebijakan urbanisasi dikelola dengan baik.

Konsekuensinya, akan tercipta kesenjangan antara daerah perkotaan dan pedesaan yang harus segera diatasi dengan pembangunan wilayah yang menekankan pada pemenuhan kebutuhan dan pelayanan dasar masyarakat pedesaan sekaligus mendorong integrasi ekonomi di tingkat provinsi.

Tuntutan pada pemerintah

Para bupati dan wali kota dituntut untuk memastikan pemenuhan kebutuhan dan pelayanan dasar warganya, sedangkan gubernur harus menunjukkan kepiawaiannya menciptakan integrasi ekonomi provinsinya dengan mendorong spesialisasi perekonomian setiap kabupaten dan kota yang kemudian diintegrasikan menjadi kekuatan ekonomi dan daya saing provinsinya.

Pemerintah pusat, dalam kerangka strategi pembangunan wilayah pulau, harus berkomitmen membangun trans-Kalimantan bersama pemerintah daerah agar 3D sebagai syarat percepatan pertumbuhan ekonomi Kalimantan bisa terwujud.

Syarat 3D juga berimplikasi pada pentingnya peran perbatasan dengan Malaysia sebagai pusat pertumbuhan ekonomi sekaligus mematahkan mitos yang berlaku di Indonesia bahwa daerah perbatasan hampir pasti menjadi daerah tertinggal. Bakal terwujudnya integrasi ekonomi ASEAN seharusnya akan menciptakan peluang berlimpah bagi daerah perbatasan.

sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/23/00124851/kalimantan.potensi.yang.terabaikan


Sepotong Jalan Rusia dan Impian Soekarno

C Anto Saptowalyono dan Ahmad Arif

Jalan aspal itu lurus dan mulus. Tak ada guncangan ketika mobil melaju kencang di atasnya. Ini berbeda dengan jalan trans- Kalimantan dari Nunukan, Kalimantan Timur, hingga Palangkaraya, Kalimantan Tengah, yang penuh lubang dan bergelombang.

Warga setempat mengenal jalan itu sebagai Jalan Palangkaraya-Tangkiling. Namun, Gardea Samsudin (70) mengenangnya sebagai Jalan Rusia.

Samsudin, lelaki asal Bandung, Jawa Barat, adalah sedikit saksi yang tersisa dari sepotong jalan sepanjang 34 kilometer dengan lebar 6 meter yang dibangun oleh para insinyur dari Rusia—dulu The Union of Soviet Socialist Republics. Bersama puluhan warga Dayak, Samsudin dan ratusan orang Jawa lain bekerja di bawah arahan belasan insinyur Rusia. ”Saya ikut menyusun batu-batu yang menjadi fondasi jalan ini,” kata Samsudin yang kini menetap di Palangkaraya.

Tak gampang mencari saksi lain pembangunan Jalan Rusia yang mau bicara. Sabran Achmad (80), tokoh masyarakat Kalteng, menuturkan, banyak pekerja yang ikut membangun Jalan Rusia itu menyembunyikan diri. Ini tidak lepas dari politik Orde Baru yang memberi stigma hitam kepada sesuatu yang berbau Orde Lama. Dan, jalan yang dibangun oleh insinyur Rusia itu memang berasal dari era Soekarno, yang dekat dengan negara Blok Timur itu tahun 1950 hingga 1960-an.

”Jalan itu dibangun menandai pembangunan Kota Palangkaraya. Sebelumnya, jalan itu berupa hutan lebat. Pohon-pohonnya besarnya segini,” kata Sabran sambil melingkarkan kedua lengannya.

Mimpi Soekarno

Pada mulanya adalah ayunan kapak Presiden Soekarno pada sebilah kayu di Pahandut, Kampung Dayak, di jantung Kalimantan, 17 Juli 1957. Sebilah kayu yang dibelah itu menandai pembangunan kota baru yang diimpikan Soekarno. Kota baru ini kemudian diberi nama Palangkaraya yang berarti tempat suci, mulia, dan agung, yang didesain sebagai ibu kota Indonesia Raya.

Namun, mimpi Soekarno tak pernah jadi kenyataan. Palangkaraya saat ini hanyalah sebuah ibu kota Provinsi Kalteng yang gelap dan tak bergairah karena kekurangan pasokan listrik.

Dirancang sebagai ibu kota negara, awalnya Palangkaraya dibangun dengan konsep yang jelas. Ada pengelompokan fungsi bangunan yang memisahkan fungsi pemerintahan, komersial, dan permukiman. Tata kotanya dirancang dengan memadukan transportasi darat dan sungai.

Sungai Kahayan menjadi pusat orientasi di sebelah utara kota. Sebuah jalan darat dibangun di pusat kota menuju arah Sampit. Jalan itulah yang kini dikenal sebagai Jalan Rusia, ruas jalan nasional terbaik sepanjang jalan trans-Kalimantan yang dilalui Tim Jelajah Kalimantan Kompas bersama Departemen Pekerjaan Umum (PU). ”Kita tak pernah lagi membangun jalan sebaik Jalan Rusia yang masih mulus walau sudah puluhan tahun. Lihatlah, jalan-jalan lain di Kalimantan yang baru dibangun cepat sekali rusak,” kata Wibowo, staf Departemen PU anggota Regional Betterment Office VII Banjarmasin.

Menggali gambut

Sepotong jalan itu menjadi saksi kemahiran insinyur-insinyur Rusia membangun jalan di tanah yang sangat berbeda kondisinya dengan negara asal mereka. Sabran mengisahkan, semua gambut di tapak jalan dikeruk. ”Setelah gambut dikeruk, terciptalah alur seperti sungai. Lalu, alur itu diisi batu, pasir, dan tanah padat,” kata Sabran.

Pada 17 Desember 1962, pembangunan fondasi Jalan Rusia selesai. Pada tahun-tahun berikutnya, tinggal pembuatan drainase, pengerasan, dan pengaspalan. Pekerjaan yang lambat, tetapi hasilnya prima.

Namun, pembangunan jalan yang direncanakan sepanjang 175 kilometer melewati Parenggean lalu ke Sampit dan Pangkalan Bun kemudian menghubungkan Palangkaraya dengan pelabuhan-pelabuhan sungai menuju ke Jawa ini dihentikan awal tahun 1966. Ketika itu jalan yang terbangun baru 34 km.

Pergantian kekuasaan pasca-Gerakan 30 September 1965 membuat orang-orang Rusia bergegas meninggalkan Indonesia. Semua pekerja proyek menyembunyikan diri karena tak ingin disangkutpautkan dengan Rusia, Partai Komunis Indonesia, atau bahkan Soekarno.

Cerita pembangunan Jalan Rusia itu pun tamat. Segala yang berbau Rusia dihapus, termasuk ilmu pembangunan jalan yang diajarkan insinyur mereka di ruas Palangkaraya-Tangkiling. Pembangunan jalan di Kalimantan tidak pernah lagi dimulai dengan mengeruk gambut. Namun, cukup dengan fondasi berupa kayu galam yang ditancapkan di lahan gambut itu (fondasi ini dikenal sebagai cerucuk). Pembangunan jalan menjadi lebih murah dan cepat, tetapi konstruksi jalan tidak awet.

Kepala Bidang Bina Marga Dinas PU Provinsi Kalteng Ridwan Manurung menuturkan, secara teori, ruas Palangkaraya- Tangkiling yang dibangun Rusia itu yang benar. ”Saat membuka trase jalan, harus diperhatikan struktur tanah dasar, fondasi, dan lapisan penutupnya. Jika ada tanah humus, harus diganti dengan pasir, tanah padat, atau granit. Sedalam apa pun gambutnya, harus dibuang,” katanya.

Menurut Wibowo, pembangunan jalan dengan teknik Rusia itu membutuhkan biaya tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan teknik yang dilakukan dengan cerucuk, seperti yang sekarang kita buat. ”Namun, umur jalan dengan teknik Rusia itu bisa lima kali lipat dari jalan kita,” katanya.

Bangsa ini sepertinya memang suka yang instan. Cepat selesai, cepat pula hancur. (RYO/FUL)

sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/19/00072338/sepotong.jalan.rusia.dan.impian.soekarno

Pengojek Ulin, Menantang Maut di Trans-Kalimantan

Ahmad Arif dan M Saifullah

Iring-iringan pengojek ulin berkelat-kelit di antara truk-truk batu bara sarat muatan di jalan aspal penuh lubang. Banyak yang sudah terjatuh, sebagian cedera parah, bahkan ada yang tewas. Namun, mereka nekat melintas tiap hari.

Para pengendara itu disebut pengojek ulin karena sepeda motor mereka dipenuhi muatan kayu ulin seberat rata-rata 0,5 ton.

Hari hampir malam. Darham (40) dan tiga pengojek ulin beristirahat di tepi jalan trans-Kalimantan di daerah Bati-bati, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Hampir seharian mereka memacu sepeda motor. Mereka hendak membawa kayu ulin yang mereka ambil dari desa-desa di pinggir hutan di Tanah Laut untuk dijual ke Banjarbaru, Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar, dan Banjarmasin yang berjarak lebih dari 100 kilometer.

Keempat pengendara motor itu melepaskan helm, sarung tangan, dan jaket tebal mereka. Darham bersandar di sadel sepeda motor bebeknya yang telah dimodifikasi. Rodanya diganti dengan roda cangkul yang biasa untuk sepeda motor trail. Tangki bensin yang terletak di bawah jok dipindahkan ke depan, persis di belakang setang.

Jok belakang lantas dipasangi besi melintang untuk menopang kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) seberat setengah ton. Karena beban berat kayu ulin bertumpu pada besi melintang di jok belakang, peredam kejut (shock breaker) pun ditambah sepasang sehingga motor mempunyai empat peredam kejut.

”Biaya untuk memodifikasi peredam kejut Rp 150.000. Dua setang besi untuk menaruh kayu ulin dipesan di tukang las seharga Rp 90.000,” kata Jarni (36), pengojek ulin lain.

Motor yang digunakan, menurut Jarni, umumnya keluaran 1-2 tahun terakhir. Dibutuhkan tenaga mesin yang prima untuk membawa beban seberat itu. ”Saya sudah dua kali ganti sepeda motor dalam tiga tahun ini,” kata Jarni.

Dengan motor bebek modifikasi, pengojek ulin ini bisa memacu kecepatan hingga 100 kilometer per jam. ”Kalau pelan malah bisa jatuh karena sulit menjaga keseimbangan. Kalau kencang justru aman membawa kayu-kayu itu,” kata Darham.

Namun, dengan laju secepat itu dan beban setengah ton, sepeda motor menjadi sulit dikendalikan. Sudah tak terhitung pengendara yang jatuh dengan tubuh terimpit kayu, kaki atau anggota tubuh patah, bahkan tewas. ”Kalau takut, kada (tidak) makan kita. Ada anak-anak di rumah yang butuh makan dan biaya sekolah,” kata Darham, yang memiliki tiga anak ini.

Iming-iming keuntungan tinggi membuat mereka nekat. Kayu ulin mereka beli di desa-desa di dekat hutan dengan harga Rp 25.000-Rp 35.000 per potong, kemudian mereka jual seharga Rp 45.000-Rp 60.000 per potong.

”Sekali angkut, biasanya dapat untung bersih Rp 100.000,” kata Darham. Keuntungan itu sudah dipotong angsuran kredit sepeda motor sebesar Rp 21.000. ”Kami hanya sanggup mengangkut ulin dua hari sekali. Badan bisa remuk kalau tiap hari narik kayu,” kata Darham.

Usaha ini menggiurkan karena permintaan akan kayu besi khas Kalimantan itu tinggi, tetapi pasokan kurang karena kayu sudah langka. Akibatnya, di Kalsel saat ini harga kayu ulin melangit, berkisar Rp 1 juta-Rp 2 juta per meter kubik.

Jalur penyedot kayu

Hingga beberapa tahun lalu, para pengojek ulin tak perlu membawa muatan dengan cara yang berisiko. Waktu itu mereka dengan leluasa membawa kayu ulin dengan truk asal bisa membayar uang sogokan kepada aparat. Jalan trans-Kalimantan di ruas ini menjadi saksi jutaan kubik kayu yang dibawa dengan truk-truk setiap harinya.

Tahun 2005, pemerintah menertibkan pembalakan hutan. Truk pengangkut kayu tak bisa lagi bebas berlalu lalang. Para pemain kayu yang kehilangan pekerjaan kemudian berdemonstrasi besar-besaran, yang berujung anarki dengan merusak Kantor DPRD Tanah Laut. Pemerintah Kabupaten Tanah Laut pun memberikan kelonggaran kepada pekerja kayu untuk mengangkut kayu dengan sepeda motor. Sejak itulah muncul pengojek ulin.

Keputusan Bupati Tanah Laut Nomor 35 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemanfaatan Limbah Kayu Ulin menyebutkan, panjang kayu ulin yang boleh dibawa dengan sepeda motor tidak lebih dari 1,5 meter.

Keputusan itu sempat mengundang kontroversi karena dituding menjadi pembenar bagi perdagangan kayu hasil pembalakan. ”Kayu yang dibawa pengojek motor itu bukan limbah, tapi tebangan baru. Karena itu, harus ada penertiban,” kata Kepala Dinas Kehutanan Kalsel Suhardi.

Namun, pengojek ulin yang tak memiliki alternatif usaha lain tak hirau dengan hal itu. ”Kalau dulu yang kami takuti aparat, sekarang kami hanya takut jatuh,” kata Darham, yang pada masa kejayaan pembalakan kayu menjadi sopir truk kayu.

Bagi Darham, keputusan bupati itu menjadi senjata untuk melenggang di jalan trans-Kalimantan dengan memboncengkan kayu ulin. Ia tak khawatir ditangkap aparat. Ia hanya takut jatuh dan mati di jalan.... (Haryo Damardono)

sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/16/00142245/pengojek.ulin.menantang.maut.di.trans-kalimantan

Abrasi, Trans-Kalimantan Terancam Putus

Pagatan, Kompas - Jalan trans-Kalimantan lintas selatan pada ruas Batulicin (ibu kota Kabupaten Tanah Bumbu)-Pelaihari (ibu kota Kabupaten Tanah Laut), di Kalimantan Selatan, terancam putus. Ini akibat abrasi pantai yang parah sepanjang 1,5 kilometer, di daerah Sungai Lembu, Desa Pulau Salak, Kecamatan Kusan Hilir, Kabupaten Tanah Bumbu.

Pantauan Tim Jelajah Kalimantan, Rabu (11/2), abrasi pantai menggerus bahu jalan trans- Kalimantan karena sebagian penahan gelombang dari beton hancur. Intensitas hantaman gelombang tinggi laut selama sebulan terakhir menyebabkan tingkat abrasi semakin parah.

Di kawasan itu, abrasi pantai juga menyebabkan beberapa pohon roboh, sementara sejumlah rumah dan warung warga rusak di beberapa tempat.

Pengguna jalan berharap abrasi segera ditangani. Jika tidak, selain mengancam putusnya jalan, abrasi itu juga akan merusak jembatan yang dibangun dua tahun lalu.

Batu bara dan ikan

Tahun 2006, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan membangun jembatan sepanjang 400 meter untuk menggantikan dua jembatan yang putus akibat dihantam banjir besar. Menurut Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kalsel M Arsyadi, pembangunan jembatan itu agar jalur perekonomian Banjarmasin-Tanah Bumbu dan Kota Baru tak terputus.

Saat itu, lanjut Arsyadi, pemprov memutuskan kondisi tanggap darurat sehingga mengalokasikan dana pembangunan jembatan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah-perubahan (APBD-P) Rp 18,7 miliar.

Selain hasil tambang batu bara, dua kabupaten itu dikenal sebagai sentra produksi ikan. Kabupaten Kota Baru menghasilkan tangkapan ikan 39.184,4 ton (data tahun 2007), sedangkan Kabupaten Tanah Bumbu menghasilkan 29.560,2 ton (2007).

Terkait pencegahan abrasi itu, Kepala Satuan Kerja Preservasi Kalsel pada Departemen Pekerjaan Umum (PU) Syamsul Hidayat mengatakan, pembicaraan mengenai perbaikan jalan negara itu rencananya dilakukan pekan depan antara Balai Sumber Daya Air dan Balai Pelaksana Jalan Wilayah VII Kalimantan.

”Kami bertugas menjaga agar jalan tetap fungsional, tetapi pencegahan abrasi pantai harus dikoordinasikan dengan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air,” kata Syamsul, saat ditemui di Banjarmasin.

Ia berharap dana perbaikan jalan tersebut turun seiring dengan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Atau, lanjut Syamsul, dana dialokasikan pada tahun anggaran 2010.

”Sebenarnya, kondisi ini masuk ke tanggap darurat sehingga harus cepat diperbaiki,” kata Syamsul lagi, seraya menambahkan, jalan tersebut harus dilindungi tanggul pantai sebab laut makin menggerus daratan. Tahun lalu, jarak laut dengan jalan mencapai 8 meter. Kini tak tersisa lagi daratan.

Menurut Direktur Rawa dan Pantai Ditjen Sumber Daya Air Departemen PU Djajamurni Warga Dalam, mangrove harus ditanam di kawasan pesisir itu untuk melindungi infrastruktur. ”Bila mengandalkan pendanaan, sangat berat melindungi infrastruktur di pantai-pantai. Sebab, kami hanya mendapat Rp 400 miliar untuk tahun ini,” katanya.

Anggaran sebesar itu, menurut Djajamurni, hanya bisa membangun 40 kilometer tanggul laut. Padahal, garis pantai Indonesia 81.000 kilometer.

Di Kalimantan Barat, abrasi juga mengancam jalan nasional yang menghubungkan Mempawah (ibu kota Kabupaten Pontianak) dengan Kota Singkawang. Namun, tanggul laut telah dibangun Departemen PU dengan cara membuat kubus beton berukuran 40 x 40 sentimeter. Mangrove pun telah ditanam pada ruang di antara tanggul laut dan jalan nasional.

”Kami mencoba menghemat anggaran di tanggul laut yang melindungi jalan nasional itu. Caranya, memasang terucuk, kemudian menaruh anyaman bambu di dasar laut, kemudian meletakkan kumpulan batu kubus di atasnya,” tambah Djajamurni.

Biasanya, lanjutnya, tanggul laut dibuat dari tembok beton masif. Inovasi itu dikerjakan agar pantai yang ditangani lebih panjang. (RYO/FUL/AIK)

Truk Hancurkan Jalan

Tanjungredeb, Kompas - Truk tangki bermuatan minyak sawit mentah ikut menyebabkan hancurnya jalan trans-Kalimantan di ruas Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, hingga Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, sejauh 100 kilometer.

Karena itu, perusahaan minyak sawit mentah (CPO) terkait diminta ikut bertanggung jawab memelihara jalan.

Minggu (8/2), 12 truk tangki CPO milik PT Matra Sawit masing-masing bermuatan 12 ton berkonvoi di ruas jalan itu. Salah satu truk terjebak lumpur sedalam 30 cm sehingga enam truk bermuatan makanan dan sejumlah kendaraan pribadi ikut tertahan. Alat berat milik perusahaan sawit yang mengawal berusaha mengeluarkan truk tangki yang terjebak itu.

”Saya sudah semalam di sini. Hari ini sudah lumayan, dua hari lalu 370 kendaraan tertahan di sini,” kata Kharudin, pengendara kendaraan pribadi yang ikut terjebak.

Kasubdit Jalan dan Jembatan Wilayah Timur Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum Suharyanto mengatakan, truk tangki CPO berbeban berlebih memperpendek umur jalan. Jalan itu hanya mampu dilewati beban 8 ton.

Harus bertanggung jawab

Bupati Berau Makmur HAPK mengatakan, pihaknya telah meminta perkebunan kelapa sawit dan perusahaan CPO membantu perbaikan jalan. ”Ada komitmen awal yang bila diuangkan setara Rp 700 juta,” katanya.

Menurut Makmur, kesediaan industri penting karena pemerintah kabupaten tak mungkin membantu langsung pendanaan perbaikan jalan nasional karena ada kewenangan masing-masing.

Di Kutai Timur ada perusahaan kelapa sawit yang mengangkut hasilnya dengan truk. Tiap hari ada 60-70 truk tangki CPO melewati trans-Kalimantan menuju pelabuhan di Labanan, Berau.

Makmur minta agar pemerintah pusat tak setengah hati memperbaiki jalan. ”Jalan yang rusak harus dibongkar dan dibangun dari awal, termasuk fondasinya,” kata Makmur.

Suharyanto menyatakan, keterbatasan dana membuat target pemerintah pusat baru membuat tembus sebagian besar ruas trans-Kalimantan.

Menurut Kepala Satuan Kerja Preservasi Kaltim Budi Leksono, anggaran pembangunan dan pemeliharaan trans-Kalimantan dari Labanan menuju KM 50 tahun 2009 hanya Rp 3,5 miliar dari kebutuhan Rp 150 miliar. Dengan demikian, pekerjaan yang dilakukan sekadar perbaikan.

”Dengan Rp 3,5 miliar, pekerjaan perawatan dan pembangunan hanya cukup untuk ruas jalan sepanjang 1,4 km,” ujar Budi. Belum lagi ada stagnasi proyek karena belum ada hasil lelang proyek.

Sementara di ruas Muara Wahau hingga KM 100, dari kebutuhan dana Rp 237 miliar, hanya dialokasikan dana Rp 3,5 miliar pada tahun anggaran 2009. Artinya, jalan yang tertangani juga hanya 1,4 kilometer.

Kerusakan jalan di Muara Wahau hingga Labanan dikeluhkan sopir truk. Pekan lalu, beratus-ratus truk tertahan selama 2-3 hari akibat terjebak dalam lumpur. (RYO/BRO/AIK)

sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/09/01211018/truk.hancurkan.jalan

07 Februari 2009

Ke Batas Negara, Rumit dan Mahalnya Mobilitas

Haryo Damardono dan Ambrosius Harto

Ketika mobilitas fisik terhalang, di ujung jalan orang akan terpaku pada ketertinggalan, tingginya biaya hidup, dan mungkin rasa ”buntu jalan”. Inilah Tarakan-Nunukan, penggalan pertama kami.

”Penerbangan menuju Nunukan, Kamis (5/2), dibatalkan karena alasan perawatan. Kami baru terbang lagi hari Jumat. Maaf, tiada penerbangan lain ke sana,” kata Diana, perwakilan Trigana Air di Tarakan, Kalimantan Timur, Rabu. Berita itu kami dapatkan begitu pesawat yang membawa kami mendarat di Bandara Juwata, Pulau Tarakan.

Rencananya, dari Tarakan kami akan terbang ke Pulau Nunukan, kemudian menyeberang dengan kapal ke Nunukan daratan. Dari sana, perjalanan darat menjelajah trans-Kalimantan kami bermula.

Untuk mencapai titik terujung di Kaltim ini, kami harus terbang dari Jakarta menuju Banjarmasin, lalu dari Banjarmasin menuju Balikpapan, dan dari Balikpapan menuju Tarakan.

Tak mungkin menempuh semua penerbangan itu dalam satu hari, sebab penerbangan Tarakan-Nunukan dijadwalkan pukul 07.05, sedangkan pesawat baru tiba di Tarakan pukul 16.15 Wita. Jadi, kami harus menginap sehari di Kota Tarakan.

Akhirnya, kami memutuskan menghapus angan naik pesawat ke Nunukan, yang dapat dicapai selama 15 menit terbang. Kamis pagi, kami memilih naik kapal cepat (speedboat) meski harus menghabiskan waktu 2,5 jam, yang artinya pemborosan waktu 10 kali lebih lama dari pesawat.

Kapal cepat bermesin 600 PK yang kami tumpangi itu mengangkut 30 penumpang. Tarif tiketnya Rp 175.000 per orang. Kalau naik pesawat, tarifnya Rp 365.000 per orang. Warga Nunukan lebih banyak memilih kapal cepat. Selain tarif tiketnya terjangkau, angkutan laut ini tersedia setiap hari.

Pilihan naik kapal cepat karena jadwal perjalanan memang harus ditepati. Sebab, mobil double gardan telah menunggu kami untuk mulai menapaki jalan darat trans-Kalimantan dengan titik awal dari perbatasan Indonesia-Malaysia di Simanggaris, Kabupaten Nunukan, Kaltim. Kendaraan itu didatangkan dari Samarinda, menempuh perjalanan lebih dari 1.000 kilometer.

Melakukan perjalanan di Kalimantan memang tidak semudah seperti di Pulau Jawa atau Sumatera. Di Jawa dan Sumatera semua wilayahnya sudah tersambung dengan jaringan jalan darat. Di Kalimantan belum semua wilayahnya tersambung jalan darat.

Di kapal cepat jurusan Tarakan-Nunukan, kami bertemu dengan Juleha (60). Warga Tanjung Selor, Kaltim, itu bersama suami dan dua cucunya bercerita tentang kerumitan mobilitas di Kalimantan.

Baru beberapa hari sebelumnya ia melakukan perjalanan darat melintasi jalan trans-Kalimantan ruas Samarinda-Tanjung Selor sepanjang 717 kilometer. Perjalanan itu ditempuhnya sehari semalam dengan menggunakan mobil Kijang, dengan ongkos sewa Rp 250.000.

”Itu kalau kondisi jalannya kering. Tetapi, kalau hujan dan jalan menjadi kubangan lumpur, warga bisa saja terpaksa tidur di hutan,” kata Juleha.

Juleha dan keluarganya dari Tanjung Selor naik kapal cepat ke Tarakan bertarif Rp 80.000 per orang. Lalu melanjutkan lagi ke Nunukan menggunakan kapal cepat lain dengan harga tiket Rp 170.000. ”Perjalanan itu sekitar tiga hari,” kata Juleha.

Tiba di Pelabuhan Tunon Taka, Nunukan, tim Jelajah Kalimantan masih menghadapi kendala lain untuk melanjutkan perjalanan ke Simanggaris. Angkutan kapal cepat ke kecamatan di perbatasan Kaltim itu hanya dijadwalkan Senin dan Rabu.

Untuk bisa melanjutkan perjalanan, tidak ada pilihan lain, kami harus menyewa kapal cepat lagi dengan tarif Rp 2 juta. Itu pun belum mengantar sampai ke titik nol perbatasan negara (Simanggaris) itu. Perjalanan dengan kapal cepat bermesin 200 PK berkapasitas 12 orang itu ditempuh dalam satu jam.

Perjalanan ini melewati pos pengamanan perbatasan yang dijaga anggota TNI dari Batalyon 613/Raja Alam. Pos ada di kawasan hutan mangrove, perairan Teluk Sebuku. Selanjutnya menyusuri Sungai Ular, dan berhenti di sebuah dermaga kayu, yang bersebelahan dengan pos polisi, dan sejumlah rumah warga.

Dari dermaga itulah dimulai perjalanan darat ke perbatasan negara di Simanggaris. Lamanya tiga jam. Jalan itu cukup mulus karena baru selesai diaspal akhir 2008 sepanjang tiga kilometer.

Yuyun Kurniawan, Direktur Yayasan Titian, memberikan informasi bahwa Simanggaris adalah perbatasan Kaltim yang paling rawan terjadinya perdagangan kayu ilegal. Lewat jalan darat, kayu masuk ke Kalaban, di Sabah, Malaysia.

Kalaban dengan empat pabrik kayu lapisnya adalah ”pemroses” bahan baku kayu dari hutan sekitar Simanggaris. ”Sampai April 2008 masih terjadi penyelundupan kayu ke Kalaban, tetapi sekarang sepi karena pabrik-pabrik kayu di sana tutup,” kata Yuyun mengungkapkan.

Simanggaris pernah menjadi sorotan nasional terkait korupsi pembukaan hutan untuk lahan kelapa sawit sejuta hektar. Kasus inilah yang menyeret Suwarna Abdul Fatah, Gubernur Kaltim, yang divonis empat tahun penjara.

Sekarang, Simanggaris menjadi kawasan sepi. Dan terasa amat jauhnya... dari kemajuan dan kesejahteraan. (Ahmad Arif/M Syaifullah)

sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/06/0010401/ke.batas.negara.rumit.dan.mahalnya.mobilitas

03 Agustus 2008

Editorial Agustus: Dayak dan PON XVII Kaltim


Peristiwa apakah di tanah Kalimantan yang paling mendapat sorotan luas yang terjadi bulan lalu? Semua orang hampir pasti sepakat, jawabnya ialah PON (Pekan Olahraga Nasional) XVII yang berlangsung di Kalimantan Timur 5 – 17 Juli lalu.

Gegap-gempita PON XVII, tentu membuat bangga masyarakat Kaltim khususnya dan Kalimantan umumnya. Inilah kali pertama dalam sejarah Indonesia, PON digelar di pulau yang dahulu juga dikenal dengan nama Borneo dan Tanjung Negara ini. Makna penting PON yang merupakan hajatan berskala nasional, membuat masyarakat Kalimantan merasa menjadi lebih Indonesia. PON XVII Kaltim adalah yang kedua kalinya diselenggarakan di luar Jawa dalam empat dekade terakhir. Ini mungkin salah satu berkah upaya demokratisasi dan desentralisasi sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru. Selama Orde Baru berkuasa, PON selalu diselenggarakan di Jawa, tepatnya, di ibu kota negara. Betapa memang sentralistisnya Orde Baru!

Dari sisi pelaksanaan, PON Kaltim menghadirkan kebanggaan, bukan saja karena acara akbar itu berlangsung sukses, namun sekaligus dianggap sebagai PON terbesar sepanjang sejarah pelaksanaan PON di Indonesia. PON ini juga merupakan yang termahal dan meninggalkan sejumlah fasilitas olahraga bertaraf internasional. Jangan kaget, jika esok hari akan lebih banyak lagi hajatan olahraga nasional maupun internasional yang mungkin diselenggarakan di Kaltim.

Meski begitu, memang tak ada gading yang tak retak. Di tengah perhelatan PON, ada insiden kecil, yang pesan di baliknya tak boleh dikecilkan. Pada 8 Juli, sekelompok kecil orang Dayak diberitakan melakukan aksi pencopotan spanduk dan baliho PON di kompleks Stadion Sempaja Samarinda. Itu mereka lakukan sebagai ujud protes bahwa maskot PON mereka anggap telah melecehkan orang Dayak. Maskot PON itu bergambar orang utan, ikan pesut dan burung enggang—hewan yang banyak terdapat di Kaltim. Yang mereka persoalkan, pengenaan kain penutup (cawat) bermotif Dayak pada gambar orang utan tersebut. Konon, bagi masyarakat Dayak setempat motif itu memliki makna yang dihormati. Sehingga, penyematannya pada orang utan dianggap sebagai penghinaan terhadap orang Dayak.

Sayang sekali, insiden ini tidak diberitakan secara luas. Barangkali lantaran dipandang akan mengganggu kelancaran penyelenggaraan PON. Sedikit pemberitaan muncul di media nasional. Namun, framing pemberitaan tersebut cenderung tidak menguntungkan orang Dayak. Insiden itu lebih dianggap sebagai gangguan terhadap pelaksanaan PON. Tidak lebih!

Sebenarnya, protes masyarakat Dayak Kaltim terhadap maskot PON tersebut telah diutarakan sebelum PON berlangsung. Namun, pihak Panitia Besar PON dan Pemerintah Kaltim tidak mersponnya dengan cepat. Pihak penyelenggara dan pemerintah setempat baru bereaksi seadanya setelah protes orang Dayak di Sempaja berlangsung. Sejak itu, gambar motif Dayak pada orang utan di maskot PON diputuskan ditiadakan.

Bagaimanapun, ini adalah pelajaran penting betapa hidup dalam keberagaman membutuhkan kepekaan yang tinggi. Orang luar, yang non-Dayak Kaltim, mungkin agak sulit memahami mengapa orang Dayak Kaltim menjadi marah “sekadar” karena persoalan maskot. Tapi dalam keberagaman selalu terdapat keberagaman makna dan persepsi. Persoalannya, sejauh mana kita dapat menghargai dan menghormati dengan sejumlah kebhinekaan itu.

Lebih dari itu, persoalan maskot dan simbol itu tidak berdiri di ruang hampa. Sejauh ini, mungkin kita mengenal Kaltim sebagai provinsi yang makmur dan terkaya di Indonesia. Tetapi, barangkali sedikit saja yang mengerti bahwa di balik kekayaan Kaltim, itu terdapat jurang ketimpangan yang curam. Masyarakat Dayak Kaltim, yang notabene sebagian besar penghuni pedalaman adalah mereka yang berada di kecuraman jurang ketimpangan itu. Silakan ditengok, seberapa besar orang Dayak di sana mendapatkan berkah dari kekayaan Kaltim dan seberapa banyak mereka yang turut andil menjadi penentu setiap kebijakan. Tak heran, dengan empati terhadap Dayak Kaltim, seorang sarjana Dayak yang pernah meneliti salah satu kelompok masyarakat Dayak di Kaltim berujar ”… saat ini hanya "harga diri" yang masih tertinggal dan tersisa untuk dipertahankan!”

Yekti Maunati, antropolog LIPI yang menulis disertasi tentang Dayak Kaltim menjelaskan dengan gamblang betapa Dayak hanya menjadi objek pembangunan dan komoditas pariwisata. Konstruksi dominan tentang Dayak sebagai kelompok masyarakat primitif dan tertinggal, dijadikan pembenaran bagi penguasa untuk “memberadabkan” mereka dengan jalan merumahkan mereka yang nomaden dan menjadikan mereka objek tontonan bagi wisatawan. Alam dan lingkungan kebudayaan Dayak diekploitasi, penguasa dan orang lain yang menikmati.

Sudah saatnya, konstruksi tersebut harus diubah oleh kita semua. Belajar dari apa yang terjadi dari PON XVII Kaltim, kita melihat ada kebangkitan dan kesadaran baru dari kalangan masyarakat Dayak yang boleh dipandang sebagai kemajuan. Mari kita sambut ini dengan tangan terbuka, dengan toleransi yang tinggi dan dengan pembuatan kebijakan yang adil bagi mereka dan kita semua.

31 Juli 2008

Panasnya Pontianak, Panasnya Politik

Oleh Andreas Harsono


Awalnya acara tahlilan. Ia diadakan satu keluarga Melayu, di Gang Tujuhbelas No. 4. Rumahnya tembok dan atap seng, dalam sebuah lorong, sepanjang kurang lebih 100 meter, di daerah Tanjung Pura, pusat kota Pontianak.

Ketika Mei lalu saya mengunjunginya, lorong ini terkesan asri, jalanan semen cor. Rumah dua lantai atau tiga lantai, ada juga yang rumah kayu. Andrew Yuen, seorang wartawan yang dibesarkan di sini pada 1990an, mengatakan nama “tujuhbelas” muncul karena dulu hanya ada 17 rumah.

Kamis 6 Desember 2007, tahlilan diadakan untuk 40 hari meninggalnya Syarifah Usmulyana, anak ketujuh dari sembilan bersaudara. Dia meninggal pada usia 36 tahun. “Acara itu seyogyanya akan dilaksanakan ba’da sholat isya’ mengundang masyarakat sekitar, seluruh keluarga besar,” kata Syarif Usmardan, adik almarhumah.

Usmardan bekerja di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kapuas Hulu. Malam itu Usmardan datang bersama mertua, isteri dan ketiga anak mereka. Di mulut gang, dia memperhatikan mobil milik abangnya, Syarif Usmulyono, ternyata tergores sepanjang sisi kiri. Usmardan memberitahu si abang.

Syarif Usmulyono segera keluar dan memeriksa goresan BMW tipe 520i itu. Usmulyono memeriksa mobil-mobil di seluruh gang. Hasilnya, dia curiga satu Toyota Kijang milik tetangga mereka, Arief Hartono, dosen STIE Widya Dharma Pontianak. Menurut Usmardan, ada goresan di sudut kanan depan Toyota Kijang, yang kemungkinan cocok dengan luka di BMW.

Usmulyono masuk dan menanyakan kepada “amoy” di rumah itu. Amoy ini adalah isteri Arief Hartono. Si nyonya menjawab bahwa mobil mereka sudah dua hari tak keluar. Suaminya, Arief Hartono juga mengatakan pada saya, “Sopir saya nggak masuk dua hari.”

Usmulyono pergi ke mulut gang. Seorang tukang parkir bilang Toyota Kijang tersebut baru saja masuk gang. Usmulyono jadi emosi. Dia kembali mendatangi rumah Arief. Dia menuduh si nyonya berbohong. Menurut Usmardan, si nyonya mengaku memang mobil itu baru saja masuk tapi menolak tuduhan menyerempet BMW.

Perang mulut menarik perhatian Gouw Ek San, tetangga Arief. Menurut Andreas Acui Simanjaya, seorang politikus Tionghoa dan kenalan Ek San, Ek San baru beli bubur. Ek San turun dari motor. Usmulyono minta Ek San jangan ikut campur.

Ek San merasa teriakan Usmulyono menekan isteri Arief. Ek San mengeluarkan gantungan kunci rumah, terbuat dari besi, dari sakunya. Ek San badannya besar dan atletis. Syarif Usmardan mengatakan Usmulyono melihat Ek San mengeluarkan “roti kalung” dari sakunya. Ini alat perkelahian jarak pendek. Biasanya ia dikepal dan dilingkarkan di tangan. Usmulyono mundur.

Pertengkaran ini membuat Syarif Mustafa, seorang kerabat yang sudah agak berumur, datang melerai. Tahlilan akan segera dimulai. Sudah ada 50-an orang berkumpul. Kurang elok bila beradu mulut. Mereka toh juga tetangga.

Ek San mengira Mustafa hendak mengeroyoknya. Dia menonjok Mustafa. “Sekali tinju. Hidung abang ipar saya patah,” kata Usmardan. Ini mendorong tiga lelaki Melayu menyerang Ek San. Menurut Usmardan, abangnya melihat ada dua bujang Tionghoa, antara umur 17 hingga 19 tahun. Namun mereka lari lebih dulu. Menurut Simanjaya, satu di antaranya adalah anak Arief Hartono.

Syarif Usmulyanto, adik bungsu Usmardan, menganggap Ek San “sok pahlawan.” Usmulyanto dan Usmardan ikut meyerang Ek San. Lima lawan satu. Ek San terpojok. Dia dipukuli ramai-ramai. Syarif Mahmud, seorang kerabat yang polisi, melerai dan melindungi Ek San. “Nantek kalau anak orang nih mati, kitak semue masok penjare, maok ke kitak?” kata Mahmud, ditirukan Usmardan.

Mahmud membawa Ek San masuk ke rumah. Rombongan Usmardan kembali ke rumah duka. Tiba-tiba Syarif Mustafa keluar dengan muka berlumuran darah. Mustafa hendak dibawa ke rumah sakit Santo Antonius. “Kami kembali histeris dan emosional. Kami serentak berusaha membongkar paksa ruko Ikhsan dengan cara menarik teralis besinya,” kata Usmardan. Mereka melempar rumah dengan batu. Beberapa kaca jendela pecah. Ek San tak kunjung keluar. Isteri Ek San menelepon polisi. Menurut Andreas Acui Simanjaya, sekitar pukul 20:00 polisi mendatangi rumah Ek San dan membawanya ke kantor polisi.

Suasana tahlilan jadi campur baur. Syarif Mahmud memimpin tahlilan hingga usai sekitar pukul 20:30. Entah siapa yang memulai, desas-desus beredar di Pontianak bahwa ada keluarga Melayu tahlilan, diserang orang Tionghoa bernama “Ikhsan.”

Isunya, Melayu versus Cina. Desas-desusnya, mobil orang Tionghoa ini diserempet dan dia mencari pelaku di tempat tahlilan. Massa mulai berdatangan ke Gang Tujuhbelas. Rumah Ek San dilempari batu. Pukul 21:00 ada pencegatan terhadap orang Tionghoa di Jalan Tanjung Pura.

Salah seorang yang dicurigai polisi adalah Erwan Irawan, ketua Persatuan Masyarakat Melayu Kalbar (Permak), yang juga dikenal sebagai “preman.” Erwan mengatakan pada saya bahwa polisi “monitor” dirinya.

Erwan ada di Gang Tujuhbelas sekitar pukul 20:00. Dia bertemu dengan beberapa polisi. Dia juga lihat banyak orang Permak. “Wajah saya ada di Trans TV, Metro TV, masuk TV.”

“Padahal posisi saya menenangkan warga saya. Kapoltabes Awang (Anwaruddin) mendengar (soal) saya dari Jakarta.”

“Kalau saya pikir macam-macam, rusak Pontianak ini.”

“Kalau saya (mau bikin rusuh), saya hantam di Siantan, Sungai Jawi.”

“Saya pikir dampaknya besar. Terjadi penjarahan, pembantaian, pemerkosaan.”

“Saya tidak mampu menanggung resiko itu.”

Erwan minta anak buahnya “menjaga” Gang Tujuhbelas. Dia berjanji pada polisi, “Dua hari aman Pak!”

Pukul 23:00 beberapa orang mendatangi kelenteng Nam Tau, Jalan Ketapang, sekitar 500 meter dari Gang Tujuhbelas. Malam itu kelenteng sepi, tak ada yang jaga, tak ada yang berdoa. Mereka menjebol pintu teralis kelenteng serta merusak delapan hiolo (tempat sembayang), patung-patung serta sebuah mobil Honda CRV dan motor besar di halaman kelenteng. Menurut Lim Cai Hong alias Suhu Ong, pendeta kelenteng Nam Tau, “Disini sebenarnya tak ada sangkut pautnya. Tersangka yang di Gang Tujuhbelas tak ada apa-apanya dengan kita.” Hingga kini para pelaku belum diketahui.

Tengah malam, massa mengepung rumah Ek San. Pasukan Brigade Mobile mengungsikan isteri dan anak Ek San. Rumah itu pun dihancurkan massa. Polisi tampaknya tak bisa mencegah rumah Ek San dirusak. Semua perabot dan mobil Mitsubishi Grandish milik Ek San dirusak. Kerugian total keluarga ini sekitar Rp 650 juta.

Di Jakarta saya menerima pesan pendek dari Nur Iskandar, pemimpin redaksi harian Borneo Tribune. Dia minta masukan: diberitakan atau tidak? Kalau diberitakan, dia kuatir kegentingan meluas. Kalau tak diberitakan, dia merasa masyarakat tak diberi hak untuk tahu. Saya bilang beritakan saja. Desas-desus lebih bikin genting daripada jurnalisme.

Keesokan harinya, Jumat 7 Desember, banyak media Pontianak, termasuk televisi dan harian, menaruh berita ini di halaman satu. Celakanya, ada saja yang tak akurat. “Ikhsan” secara keliru diberitakan sebagai “pemilik mobil.” Dia dibilang mondar-mandir mencari pelaku penyerempetan. Peranan Syarif Mustafa, yang dipukul Ek San, juga diberitakan terbalik dengan peran Syarif Usmulyono. Isteri Ek San, yang tak ikut sama sekali, dibilang sebagai perempuan yang menolak tuduhan Usmulyono. Ada wartawan yang menulis tahlilan “hari ke-25.” Tempat perkelahian diberitakan terjadi depan rumah tahlilan.

Media Jakarta hampir semuanya tak memuat ketegangan ini. Global TV sudah punya gambar namun editornya bilang, kalau dimuat, nanti rasialisme anti-Cina makin luas di Indonesia. Elias Ngiuk, pemimpin redaksi majalah Kalimantan Review di Pontianak, mengatakan pada saya, “Kalau kami memuatnya, justru semakin menambah meluasnya gosip.”

Di Gang Tujuhbelas, kepercayaan kepada wartawan luluh-lantak. Arief Hartono menolak wawancara. Gouw Ek San sudah pindah ke Jakarta. Keluarga dan rekan-rekannya menutup pintu informasi. Syarif Usmulyanto memandang saya dengan curiga. Beberapa warga langsung menutup pintu ketika saya sebut kata “wartawan.” Syarif Usmardan meragukan saya. Gang Tujuhbelas hanya menyediakan sederet kecurigaan ketika saya mendatangi lorong ini.

Daerah Istimewa Borneo Barat

Rumah Melayu sebuah bangunan megah dua lantai, terbuat dari kayu, terletak di Jalan Sutan Syahrir. Lantai dasar dipakai untuk kantor Majelis Adat dan Budaya Melayu. Lantai atas aula pertemuan. Ukiran-ukiran indah sekali. MABM boleh jadi adalah organisasi puak Melayu paling wah di Indonesia. Saya berkunjung ke sana dua kali untuk menemui tiga pemimpin MABM. Saya ingin tahu bagaimana MABM memandang hubungan Melayu dengan etnik lain?

Mereka yang menjelaskan termasuk cukup berumur. Raden Farid Muchsin Panjianom, ketua pemangku adat MABM, berumur 74 tahun serta Hollandsprekken, sering memakai bahasa Belanda. Abang Imien Thaha, ketua umum MABM, berumur 68 tahun. Ada juga Rusman Namsurie, sekretaris umum MABM.

Kesultanan-kesultanan Melayu di Borneo rata-rata berdiri sejak abad 16. Awalnya, ada kerajaan lokal berubah jadi kesultanan sesudah rajanya masuk Islam. Ada juga kerajaan Hindu berubah Islam. Namun ada juga yang didirikan oleh orang Arab. Raja-raja Melayu ini membangun kerajaan di Pontianak, Sambas, Mempawah, Sintang, maupun daerah lain Pulau Borneo, termasuk Kutai, Banjar, Sarawak dan Brunei. Kini Brunei masih berdaulat dan jadi salah satu negara paling kaya di dunia.

Kesultanan Pontianak didirikan penjelajah keturunan Hadramaut, Syarif Abdurrahman Alkadrie. Dia membangun Keraton Kadriah pada tahun 1771 di pinggir Sungai Kapuas. Saya beberapa kali mengunjungi keraton ini. Indah walau agak kurang terjaga.

“Sejak ratusan tahun lalu, orang Jawa banyak menetap disini, kawin campur, juga Bugis, Cina, Dayak, Melayu. Orang Cina didatangkan pada abad 16 oleh raja-raja untuk menambang emas. Banyak Cina kawin dengan Dayak di pedalaman. Di daerah pesisir, perempuan Cina kawin dengan raja-raja, jadi isteri kedua,” kata Farid Muchsin.

Pada abad 18, perhatian Eropa makin besar terhadap Asia. Kerajaan Inggris dan Belanda berunding. Hasilnya, Traktat London tahun 1824. Inggris dan Belanda sepakat membagi wilayah kekuasaan mereka jadi dua. Inggris mendapatkan India, Burma, Semenanjung Malaka, Singapura dan Sarawak. Belanda mendapatkan Sumatera, Jawa, sebagian Borneo, Sulawesi, Sunda kecil, Maluku dan sebagian Papua. Wilayah Belanda kelak jadi wilayah Indonesia.

“Tapi Belanda dalam administrasi sangat teliti,” kata Muchsin.

“Belanda sangat bagus dalam mengatur hubungan antar etnik. Tiap-tiap kawedanaan ada lo tay atau kapitan Cina. Untuk Dayak, dibentuk ketua-ketua pemangku adat atau tumenggung. Kalau Melayu, petinggi, juga Bugis. Jawa disebutnya kyai.”

“Hubungan sangat harmonis sekali. Tidak seperti sekarang.”

Di Borneo, Belanda juga tak memerintah langsung. “Kesultanan-kesultanan itu masih zelfstandig (berdiri sendiri),” kata Muchsin. Ini tidak seperti Jawa. “(Pengelolaan) Borneo itu nunggu, setelah perhatian kepada Jawa, Madura, Bali.”

Pada Maret 1942, Jepang menyerbu Asia Tenggara. Pada 1944, Jepang curiga ada upaya melawan pemerintahan militer Jepang di Pontianak. Militer Jepang mengumpulkan lebih dari seribu orang berpendidikan: sultan, dokter, guru, saudagar baik, orang Cina, Melayu, Arab dan sebagian Dayak. Semuanya dibunuh di Mandor, dekat Pontianak, pada 28 Juni 1944.

Pada Agustus 1945, Jepang menyerah kepada Sekutu. Di Jawa sekelompok pejuang mendirikan Republik Indonesia. Pasukan Australia tiba di Pontianak guna melucuti Jepang. Pada Oktober 1945, Australia menyerahkan kekuasaan kepada Netherlands Indies Civil Administration (NICA) pimpinan Hubertus van Mook. NICA langsung melantik Syarif Hamid Alkadrie, sebagai Sultan Pontianak.

Syarif Hamid kelahiran Pontianak 1913. Ketika remaja, Hamid menempuh pendidikan akademi militer di Breda, Belanda. Dia lulus dengan pangkat letnan dua pada tahun 1936. Hamid mulai karir sebagai perwira Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL). Ayahnya, Syarif Mohammad Alkadrie, adalah Sultan Pontianak, yang ikut dibunuh Jepang di Mandor. Hamid mendukung kebijakan Van Mook untuk mendirikan negara-negara di bekas Hindia Belanda. Dia percaya pada federalisme untuk Indonesia. Pada Mei 1947 NICA mendirikan Daerah Istimewa Borneo Barat dengan Sultan Hamid sebagai “kepala negara.” Dia biasa disebut Sultan Hamid II.

Menurut Farid Muchsin, walau federalisme atau unitarianisme jadi debat besar di Jawa, suasana Pontianak biasa-biasa saja. “Hubungan antar etnik itu harmonis sekali,” katanya. Dia sudah remaja ketika Sultan Hamid mulai memerintah Borneo Barat.

Sultan Hamid menjadi ketua delegasi Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), pihak ketiga dalam perundingan Belanda-Indonesia, pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Agustus 1949. Hasilnya, kerajaan Belanda setuju menyerahkan kekuasaan kepada Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949.

RIS terdiri tujuh negara bagian: Republik Indonesia (ibukota Jogjakarta), Negara Indonesia Timur (Makassar), Negara Pasundan (Bandung), Negara Jawa Timur (Surabaya namun didirikan di Bondowoso), Negara Madura, Negara Sumatra Timur (Medan) dan Negara Sumatra Selatan.

Ada juga negara-negara yang berdiri sendiri, tak tergabung dalam RIS, namun duduk dalam BFO. Struktur ini kepalanya Ratu Belanda. Ia semacam commonwealth. Mereka sudah berdaulat --macam India dan Malaysia dalam berhubungan dengan Inggris-- namun masih punya lembaga persemakmuran dengan Den Haag. Struktur BFO ini diharapkan melindungi daerah-daerah yang relatif kekuasaannya kecil. BFO meliputi sembilan daerah: Jawa Tengah, Borneo Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, Kalimantan Timur (tak temasuk bekas wilayah Kesultanan Pasir), Bangka, Belitung dan Riau.

Pada Januari 1950, Presiden Soekarno mengangkat Sultan Hamid II sebagai Menteri Negara Zonder Porto Folio. Tugasnya, merancang dan merumuskan gambar lambang negara. Pada Februari 1950, tugas tersebut selesai dengan diresmikannya lambang Garuda Pancasila.

Tanpa diduga, meledak “pemberontakan” Angkatan Perang Ratu Adil di Jawa Barat pimpinan kapten KNIL Raymond Westerling. Mereka hendak bikin kudeta terhadap Presiden Soekarno. Anggota-anggotanya adalah mantan tentara KNIL di Negara Pasundan. Dalam biografinya, Memoires, Westerling menulis dia merancang kabinet bayangan bersama Mayor Gubernur Jenderal KNIL Syarif Hamid. Sultan Hamid ditangkap, diadili dan dipenjara selama 10 tahun di Jakarta.

Sultan Hamid tak bisa berbuat banyak ketika Soekarno membubarkan RIS dan BFO. Struktur negara federasi, yang memberi kuasa lebih besar kepada daerah, hanya berumur delapan bulan. Pada 17 Agustus 1950, Soekarno membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Kami sangat terkejut dengan dibubarkannya kerajaan-kerajaan, kecuali Jogja pada Agustus 1950,” kata Farid Muchsin. Kerajaan-kerajaan Melayu dibubarkan, antara 1950 hingga 1956.

Disitu mulai muncul kecemburuan. “Masing-masing etnik mulai memperlihatkan kekuatan untuk menguasai pemerintahan,” kata Muchsin. Sultan Hamid juga tak bisa berbuat banyak ketika Daerah Istimewa Borneo Barat diubah jadi Provinsi Kalimantan Barat pada 1957.

Pengaruh etnik Melayu ikut layu bersama kejatuhan Sultan Hamid. Sejak Sultan Hamid meninggal pada 1978 di Jakarta, jabatan Sultan Pontianak tak diisi hingga 2004. Gubernur pertama Kalimantan Barat orang Banjarmasin, Adji Pangeran Aflus (1957) dan dilanjutkan oleh Djenal Asikin Judadibrata (1958-1959). Gubernur ketiga adalah politikus Dayak Oevaang Oeray (1960-1967).

“Kita orang Melayu tidak masalah dengan Oevaang Oeray. Palaoensoeka (wakil di Jakarta) juga moderat. Jebolan seminari di Singkawang. Oevaang pernah kursus sekolah pamong praja di Makassar,” kata Muchsin.

“Abang saya satu sekolah dengan Oevaang di Makassar.”

Pada 1965-1966 di Pulau Jawa terjadi pergantian kekuasaan dari Soekarno ke Mayor Jenderal Soeharto. Jawa menyaksikan pembunuhan besar-besaran terhadap orang komunis. “Disini biasa-biasa saja,” kata Muchsin.

Baru pada 1967 militer Indonesia merasa perlu menghantam Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak, yang dulu direkrut Presiden Soekarno guna menyusup ke wilayah Malaysia. Ideologi PGRS kekiri-kirian. Mayoritas gerilyawan PGRS pemuda Tionghoa. “Tentara tidak sanggup melawan PGRS maka mereka rekrut orang Dayak,” kata Muchsin.

Maka tentara dan Dayak mengusir orang-orang Cina dari pedalaman Kalimantan. Pengungsi Tionghoa di kamp-kamp pengungsian ada sekitar 60,000 orang. Menurut Pastor Herman Josef van Hulten dalam buku Hidupku di Antara Suku Daya: Catatan Seorang Misionaris serta wartawan David Jenkins dari majalah Far Eastern Economic Review, minimal 3,000 orang Tionghoa dibunuh pada 1967.

“Maka dimulailah ketegangan antar etnik,” kata Muchsin.

Kepada Jenkins, Oevaang Oeray mengatakan bahwa ide membersihkan orang Tionghoa berasal dari dirinya.

“Kasihan Oevaang Oeray. Dia ditekan tentara,” kata Muchsin. Pada 1974, Muchsin sempat bertemu Oevaang di Jakarta, ketika Oevaang jadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat era Presiden Soeharto. Oevaang bilang dirinya “susah” dan sulit pulang ke Pontianak.

Jamie Davidson dari Universitas Washington dalam tesis Ph.D, Violence and Politics in West Kalimantan, Indonesia, menyebut pembantaian 1967 sebagai “akar kekerasan” di Kalimantan Barat.

Muchsin lantas bicara soal pembunuhan orang Madura oleh orang Dayak di Sanggau Ledo pada 1997. Ada lebih dari 600 orang Madura dibunuh secara brutal. Pada 1999, giliran orang Melayu di Sambas membersihkan orang Madura. Sekitar 3,000 orang Madura dibunuh di Sambas.

“Sekarang orang Madura tidak berani lagi kesana.”

“Sekarang hubungan antar etnik jadi sakit.” Raden Farid Muchsin Panjianom menatap saya.

Zaman Orde Baru, gubernur-gubernur Kalimantan Barat semua ditunjuk oleh Presiden Soeharto. Semuanya jenderal dan orang Jawa: Soemadi (1967–1972); Kadarusno (1972–1977); Soedjiman (1977-1987); Parjoko Suryokusumo (1987-1993) dan Aspar Aswin (1993-2003).

Imien Thaha mengingatkan saya bahwa Usman Ja’far (2003-2008) sebenarnya adalah gubernur pertama yang orang Melayu. Saya sempat melihat foto Sultan Hamid II di ruangan Imien Thaha. “Dia pejuang daerah,” kata Imien.

Ketika meninggalkan Rumah Melayu, saya baru sadar gedung itu terletak di Jalan Sutan Sjahrir, nama cendekiawan Minangkabao, yang jadi lawan Sultan Hamid tahun 1940an. Konon Westerling hendak membunuh Sjahrir maupun Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX, adik kelas Sultan Hamid di Breda. Saya bertanya-tanya bagaimana bentuk Pontianak hari ini bila Sultan Hamid tak memilih Hubertus van Mook? Mungkinkah Borneo Barat masih menikmati keistimewaan macam Jogja? Mengapa Pontianak tak memiliki Jalan Sultan Hamid II?

Pertemuan Polisi

Jumat siang, 7 Desember 2007, wakil kepala polisi Pontianak Ajun Komisaris Besar Andi Musa mengundang beberapa tokoh Tionghoa serta Melayu bertemu di kantornya. Menurut Pontianak Post, ruang rapat Poltabes Pontianak, ukuran 10 x 8 meter, hari itu disesaki undangan, polisi dan wartawan.

Andi Musa menerangkan perkara Gang Tujuhbelas. Dia bilang Gouw Ek San memukul Syarif Mustafa dengan “kunci rumah.” Musa berharap para undangan bisa jadi pemimpin yang mengayomi masyarakat. "Karena ini menyangkut masalah hukum kita harapkan dukungan dari masyarakat kepada pihak kepolisian untuk melakukan tindakan penegakan hukum. Apabila nanti ada yang harus kita minta keterangan, tentunya dapat mendukung kerja kepolisian," kata Musa.

Menurut Syarif Usmardan, Syarif Mohdar, salah satu peserta pertemuan, mengutuk keras tindakan semena-mena dari orang Cina di Pontianak. Mohdar mengancam akan melakukan tindakan balasan kepada “seluruh” warga Tionghoa di Pontianak.

Kardi Kahim, seorang pengusaha Tionghoa, mengatakan dia ditelepon Andi Musa untuk datang. Setelah datang, Kahim dan pemuka Tionghoa lain diumpat-umpat. Herannya, Kahim tak melihat wakil keluarga Gang Tujuhbelas tampil. “Justru wakil keluarga tidak ada,” katanya.

Suasana cukup tegang. Ada lebih dari 50 orang Melayu datang ke sana. Beberapa punya penampilan keras, argumentasi panjang lebar, kesannya militan. Mereka termasuk Erwan Irawan, Syarif Mahmud, Syarif Mohdar, Abbas Fadillah maupun Gusti Suryadarma.

Erwan Irawan dari Persatuan Masyarakat Melayu Kalbar mengatakan pada saya bahwa di Kalimantan Barat, ekonomi skala besar dikuasai orang Cina: distribusi beras, distribusi gula, distribusi LPG. Ada kekecewaan saat pemilihan gubernur November 2007. “Orang Melayu merasa dipermainkan. Mestinya, ini kesultanan Pontianak, kau pilihlah Melayu.”

“Kalau ekonomi sudah mereka yang pegang, legislatif sudah dipegang, eksekutif juga dipegang, Melayu akan dimarginalkan, akan terpinggirkan.”

“Anak-anak mereka sekolah di Amerika, Singapura, Kuching. Anak kami, cucu kami, akan tidak dapat apa-apa,” kata Erwan.

“Pontianak akan jadi Singapura kedua.”

Erwan juga keberatan orang Cina bicara bahasa Tio Chew atau Hakka dengan sesamanya. “Kan tidak wajar kalau mereka bicara dalam bahasa Cina? Wajar saja, mereka ngomongin kita. Saya menyebarkan pamflet di warung-warung kopi, supaya menggunakan bahasa Indonesia.”

“Saya ekstrim saja. Saya bilang kepada anak buah, ‘Tampar saja yang pakai bahasa lain!’”

Yosef Setiawan alias Tan Tek Sie, salah satu peserta pertemuan dari golongan Tionghoa, mengatakan pada saya, orang-orang Melayu itu shock dengan hasil pemilihan gubernur November 2007, saat mana Christiandy Sanjaya, seorang guru Tionghoa, memenangi kursi wakil gubernur dalam pemilihan bersama Cornelis, tokoh Dayak, yang menang sebagai gubernur. Ini pertama kali orang Tionghoa memenangi pemilihan wakil gubernur di Indonesia. Tan Tek Sie adalah general manager harian Kun Tien Ren Bao, suratkabar Mandarin, milik Kelompok Jawa Pos di Pontianak.

“Walikota Singkawang juga Tionghoa. Kalau pilgub bisa menang, tidak tertutup orang Tionghoa ikut pilkada. Itu ungkapan yang terjadi. Mereka tidak mau orang Tionghoa ikut. Itu dalam meeting Poltabes …. Tionghoa cukup bisnis. Masak mau ikut politik juga?” kata Tan Tek Sie.

Polisi menganjurkan tokoh-tokoh Tionghoa minta maaf soal Gang Tujuhbelas. Mereka pun minta maaf dan bikin pernyataan tertulis. Mereka berfoto bersama, bergandengan tangan.

Malamnya, sekitar 200 orang berkumpul depan restoran Gajah Mada, samping Jalan Hijas. Menurut Usmardan, massa ini dipimpin Syarif Mahmud, seorang pengusaha yang dikenal sebagai ketua Ikatan Motor Indonesia. “Mahmud terang-terangan memprovokasi massa untuk membakar restoran Gajah Mada, di depan aparat kepolisian yang dipimpin oleh Wakapoltabes Pontianak.” Syarif Mahmud mengatakan dia mewakili keluarga Gang Tujuhbelas selaku “korban” pemukulan Ek San. Namun polisi siaga.

Usmardan mengatakan mereka tak diundang polisi, “Kami tidak pernah menunjuk Syarif Mahmud atau siapa pun sebagai wakil keluarga untuk tindakan anarkis berupa perintah membakar Pontianak.”

Di Pontianak, keluarga Alkadrie adalah keluarga besar. Mereka semuanya keturunan Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie. Nama mereka, bila lelaki, biasa diawali “Syarif” dan bila perempuan “Syarifah.” Sultan Hamid II nama lengkapnya Syarif Hamid Alkadrie. Syarif Usmardan, yang banyak memberikan informasi kepada saya, bernama panjang Syarif Usmardan bin Usman bin Hamid Alkadrie. Syarif Mahmud dan Syarif Usmardan sama-sama memakai nama keluarga Alkadrie. Namun satu keluarga belum tentu satu kepentingan.

“Kami hanya menganggap insiden Gang Tujuhbelas sebagai tindakan kriminal murni,” kata Usmardan. Dia jengkel dengan Syarif Mahmud maupun Syarif Mohdar. Usmardan menyebut kemungkinan adanya “konspirasi” terhadap peristiwa Gang Tujuhbelas.

Strategi Kampanye Cornelis

Suatu malam saya diundang ke sebuah rumah di daerah Siantan, seberang Sungai Kapuas. Tuan rumahnya, Kristianus Atok. Undangannya semua aktivis Dayak. Saya tertarik dengan cerita mereka menyusun strategi kampanye Cornelis.

Atok bekerja untuk Yayasan Pemberdayaan Pefor Nusantara, sebuah organisasi pengembangan masyarakat, yang bekerja di beberapa kabupaten Kalimantan Barat. Dia menyebut tesis Jamie Davidson, Violence and Politics in West Kalimantan, Indonesia, sebagai kritik terhadap politik etnik di Kalimantan Barat.

Intinya, Davidson mengatakan Kalimantan Barat merupakan kancah pertikaian etnik. Sejak pembersihan etnik Tionghoa pada 1967, rezim Soeharto mulai menjalankan program transmigrasi dan bisnis penebangan hutan. Belakangan perkebunan kelapa sawit dibuka besar-besaran. Korbannya, terutama orang-orang Dayak, yang tinggal di pedalaman. Mereka melihat para transmigran dibantu. Mereka melihat para pengusaha tebang hutan. Lingkungan hidup mereka rusak berat. Mereka dimiskinkan.

Sejak 1980an, orang-orang ini membentuk perlawanan lewat jalur kebudayaan Dayak. Daya’ atau Dayo’ atau Dayuk berarti “hulu.” Ada macam-macam organisasi adat dan program dibuat, termasuk Pancur Kasih, sebuah credit union. Aktivis Dayak suka mengacu pada pertemuan tahun 1894 di Tumbang Anoi, Kalimantan Tengah, sebagai tonggak nasionalisme Dayak. Saat itu pemerintah Hindia Belanda mensponsori upaya perdamaian antar kelompok Dayak agar berhenti berperang dan mengayau. Makin lama makin santer mereka merasa punya hak sebagai penduduk asli Borneo. Mereka mau jabatan-jabatan publik dengan identitas etnik. Gubernur, bupati, walikota, rektor, dekan, camat dan sebagainya.

Revitalisasi Dayak ini memancing orang pesisir mengencangkan identitas Melayu. Identitas Dayak sama rumitnya dengan Melayu. Bahasanya, ada Kanayatn, Iban, Punan, Kendawangan dan lain-lain. Agamanya lebih campur: Katolik, Protestan, Islam, Kaharingan dan sebagainya. Menurut buku Mozaik Dayak: Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak, di Kalimantan Barat ada 151 “subsuku” dan 168 bahasa Dayak.

Salah seorang bupati Dayak, Cornelis, mengincar kursi gubernur dalam pemilihan langsung November 2007. Cornelis anak kedua dari tujuh bersaudara, kelahiran Sanggau tahun 1953. Dia ikut pendidikan APDN di Pontianak, studi ilmu pemerintahan di Universitas Brawijaya Malang dan magister ilmu hukum di Universitas Tanjungpura Pontianak. Pada Agustus 1999, sebagai camat Menyuke, Cornelis muncul di halaman depan majalah Kalimantan Review dimana dia bicara, “Sebaiknya kita (Borneo Barat) merdeka saja.”

Cornelis menjadi bupati Kabupaten Landak selama dua periode. Dia juga menjadi ketua cabang Kalimantan Barat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri. Maka Cornelis mencalonkan diri sebagai gubernur dengan dukungan PDIP.

Yohanes Supriyadi, adik Kristianus Atok, termasuk orang yang ikut sebagai panitia pemenangan Cornelis. Supriyadi ambil cuti tiga bulan. Dia lihat pasangan lain selalu mencalonkan Melayu sebagai gubernur dan Dayak sebagai wakil. Pasangan incumbent Usman Ja’far dan LH Kadir adalah duet Melayu-Dayak. Pengusaha Osman Sapta Odang dan Ignatius Lyong juga duet Melayu-Dayak. Akil Mochtar dan AR Mecer juga Melayu-Dayak.

Kubu Cornelis ingin calon wakil bisa menyumbang suara. Cornelis punya 11 calon wakil. Ada Dayak, ada Melayu, ada Tionghoa, Jawa bahkan Ambon. Suara Melayu sulit diharapkan. Suara Melayu kemungkinan akan tersedot ke kandidat Melayu.

Menurut data Badan Pusat Statistik, yang diolah lagi dalam buku Mozaik Dayak, jumlah total warga Kalimantan Barat pada 2003 sekitar 3,7 juta orang. Melayu dan Dayak pada urutan teratas (masing-masing 37,75 persen), Tionghoa (10,01 persen), Jawa (9,41), Madura (5,51), Bugis (3,2), Sunda (1,2), Banjar (0,66) dan Batak (0,56). Mozaik Dayak diterbitkan oleh Institut Dayakologi (statistik senantiasa jadi bahan debat di Pontianak).

Etnik Tionghoa adalah puak ketiga terbesar sesudah Melayu dan Dayak. Pilihan Cornelis adalah mencari orang Tionghoa. Kubu Cornelis memilih Christiandy Sanjaya, seorang kepala sekolah Kristen di Pontianak. “Christiandy dipilih karena kepribadiannya kalem, tidak berapi-api macam Cornelis,” kata Supriyadi.

Abang Imien Thaha dari MABM sadar strategi Cornelis bisa mengalahkan kandidat Melayu. Imien memanggil semua kandidat Melayu. Dia minta Melayu maju hanya satu calon. Harapan Imien Thaha bertepuk sebelah tangan.

Ketika kandidat resmi bertarung, calon Melayu muncul tiga orang. Gubernur Usman Ja’far tetap dengan LH Kadir. “Kuda hitam” muncul dari Osman Sapta Oedang, seorang pengusaha-cum-politikus asal Ketapang.

Kubu Cornelis, yang lebih berpengalaman dalam politik, melatih anak-anak muda Tionghoa, pendukung Sanjaya, bagaimana cara bikin agitasi, propaganda maupun advokasi.

“Sebelumnya mereka apolitis, tidak peduli orang mau kampanye, pemilu, tapi sekarang mereka sangat partisipatif dalam pemilu,” kata Kristianus Atok.

Orang Tionghoa ramai-ramai mendaftar untuk kartu pemilih.

“Itu yang membuat Melayu takut,” kata Atok.

Yohanes Supriyadi mengatakan, “Militansi orang Tionghoa itu mirip orang Dayak. ‘Pokoknya Cina!’”

Kampanye di Kalimantan Barat pun menderu-deru. Bong Su Mian, seorang pendukung Sanjaya, mendirikan tim Thung Sim guna memetakan pemilih. “Orang Tionghoa sebagai warga Indonesia juga harus berperan. Kita juga merasa memiliki bangsa Indonesia,” kata Su Mian. Dalam bahasa Hakka, “thung sim” artinya “sehati.”

Pada 15 November 2007, sekitar 2.1 juta pemilih memberikan suara dalam pemilihan gubernur, pertama secara langsung, di Kalimantan Barat. Cornelis menang 43 persen (930,679 suara). Cornelis menang di delapan kabupaten: Bengkayang, Singkawang, Landak, Sanggau, Sekadau, Sintang, Melawi dan Kapuas Hulu. Usman Ja’far menang urutan kedua (31 persen). Dia menang di Sambas dan Pontianak. OSO menang di kampungnya Ketapang (15,74 persen), Akil Mochtar mendapat 9,66 persen suara.

Dalam dunia politik tradisional macam Borneo Barat, dimana etnik dan agama lebih penting daripada partai, "suara Melayu" pecah, maka Cornelis menang mudah. Kota Singkawang, yang memiliki mayoritas Tionghoa, 85 persen memberikan suara kepada Cornelis-Sanjaya. Kekuatiran Imien Thaha terbukti. Rusman Namsurie mengatakan, “Melayu itu terlalu percaya diri.”

Kemenangan Christiandy sebagai wakil gubernur disambut sukacita oleh orang Tionghoa. Sejarah republik ini mencatat perkembangan baru. Orang Tionghoa menang pemilihan umum. Masyarakat Dayak tak kalah sukacita. Kalimantan Review menyebut Cornelis sebagai “reinkarnasi Oevaang Oeray.”

Iklan Maaf

Sabtu 8 Desember 2007, masyarakat Pontianak menemukan iklan menarik. Harian Pontianak Post, Equator, Berita Khatulistiwa dan Borneo Tribune serentak menurunkan iklan dengan judul “Permintaan Maaf.” Isinya, hasil pertemuan yang dipimpin ajun komisaris besar Andi Musa.

PERMINTAAN MAAF
BERDASARKAN HASIL PERTEMUAN SECARA KEKELUARGAAN YANG DIPRAKARSAI OLEH KEPOLISIAN KOTA BESAR PONTIANAK, KAMI ATAS NAMA WARGA TIONGHOA KOTA PONTIANAK DENGAN INI MENYAMPAIKAN PERMOHONAN MAAF ATAS KESALAHPAHAMAN YANG TERJADI PADA HARI KAMIS MALAM TANGGAL 6 DESEMBER 2007 DI JALAN TANJUNGPURA GANG TUJUHBELAS DAN SEKITARNYA, KEPADA SAUDARA-SAUDARA KAMI YANG MENJADI KORBAN ATAU YANG TERGANGGU DALAM PERISTIWA TERSEBUT.
DEMIKIAN PERMOHONAN MAAF INI KAMI BUAT DENGAN SEBENAR-BENARNYA TANPA ADANYA UNSUR PAKSAAN DARI PIHAK MANAPUN, DENGAN DILANDASI CINTA KEDAMAIAN DAN SEMANGAT NASIONALISME DALAM KERANGKA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA.

Sembilan orang Tionghoa menandatangani permohonan maaf itu. Mereka terdiri Lie Khie Leng, Kardi Kahim, Sutadi, Phang Khat Fu, Lim Kui On, Liang Kia, Tan Tek Sie, Ateng Sanjaya dan Setiawan Lim. Mereka hanya menaruh nama, tanpa jabatan. Hanya satu undangan, Hartono Azas, wakil ketua DPRD Kota Pontianak, tak teken.

Iklan tersebut dianggap membuat banyak orang lega. Warung-warung kopi mulai ramai lagi. Polisi juga siaga satu.

Namun permintaan maaf itu juga dinilai berlebihan. Beberapa pemuka Tionghoa, misalnya Chua Yang Khui, mengirim surat protes. Mereka berpendapat minta maaf benar namun jangan mengatasnamakan “warga Tionghoa Pontianak.” Cukup mengatasnamakan “keluarga Ikhsan.”

Gunawan Lim dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengatakan, “Saya orang Tionghoa, kok dibawa-bawa?”

Gusti Suryadarma, seorang warga Gang Bayu, mengatakan pada saya, “Orang Cina, kawan-kawan saya, kan tidak berdosa? ‘Kami warga Tionghoa, minta maaf, itu kan menekan?’”

Sasaran protes adalah Lie Khie Leng alias Lindra Lie, seorang pengusaha dan ketua Yayasan Bhakti Suci, organisasi payung yayasan kematian warga Tionghoa di Pontianak.

Total ada 56 yayasan bergabung ke Bhakti Suci. Yayasan-yayasan ini dasarnya mengurus orang mati berdasarkan masing-masing marga. Marga Lim, Tan dan Ng termasuk paling besar di Pontianak. Pada 1967 Yayasan Bhakti Suci membantu menampung pengungsi Tionghoa. Bhakti Suci belakangan membantu bikin dokumen-dokumen kewarganegaraan untuk Tionghoa miskin. Mereka juga mendirikan armada pemadam kebakaran. Mereka juga punya program sosial termasuk membantu korban bencana alam.

Tan Tek Sie, seorang penandatangan, mengatakan, “Saya tidak pernah diganggu-ganggu. Beliau (Lie) ini yang satu-satunya diuber-uber. Yang delapan orang nggak diganggu-ganggu.”

Lie Khie Leng mengatakan, “Kita capek-capek damaikan, kita minta maaf, mereka tidak senang. Kita minta maaf bukan pada semua Melayu. Hanya minta maaf pada korban.”

“Orang sudah minta maaf, mau apalagi? Sudah mengalah demi menyelamatkan keseluruhan. Bahkan pihak mereka sendiri bilang, ‘Masak hanya minta maaf?’ Polisi berlakukan siaga satu. Malam itu polisi melahirkan penembakan (peringatan), sesudah siangnya tanda tangan. Kapolda turun tangan sendiri.”

Keesokan harinya, Tan Tjun Hwa, Andreas Acui Simanjaya dan Gunawan Lim, tiga orang Tionghoa yang relatif muda, mendatangi rumah Lie Khie Leng dengan amarah menggumpal. Mereka tanya mengapa Lie menyampaikan permohonan maaf “atas nama warga Tionghoa Pontianak.” Sejak kapan Lie diberi mandat oleh semua warga Tionghoa?

Lie Khie Leng memarahi orang-orang muda ini. Dia bilang mereka belum tahu persoalan. Lie menuding muka Tan Tjun Hwa. Maka Tan memiting leher Lie. Kardi Kahim, seorang pengurus Bhakti Suci, spontan mendorong Tan Tjun Hwa dan Simanjaya.

“Ini orang tua. Kamu jangan nggak sopan! Hormati orang tua,” kata Kahim.

Kasus ini pun menggelinding ke kantor polisi. Mereka bertiga diperiksa dengan dugaan penganiayaan dan perbuatan tak menyenangkan. Gunawan Lim tak menyangka kedatangan mereka jadi kacau. Mereka minta maaf. Lie Khie Leng memaafkan mereka. Kasus pun ditutup.

SK Naga

Salah satu kegemaran saya di Pontianak adalah mengobrol di warung kopi. Pagi hari sarapan bubur ayam di Jalan Merapi. Siang memilih nasi kuning, nasi goreng atau makanan lain di Jalan Gajah Mada. Sorenya, kopi dan penganan. Malam bisa pilih seafood. Warga Pontianak, mau Cina kek, Melayu kek, Batak kek, semuanya, suka mengobrol berjam-jam di warung kopi.

Gusti Suryadarma dari Gang Bayu mengajak saya bertemu di warung kopi Sari Wangi, Jalan Tanjung Pura. Suryadarma kelahiran Pontianak, belajar di sekolah Kristen Gembala Baik serta SMA Katolik Santo Paulus. Dia aktif di Tarbiyah Pontianak. “Saya kalau masuk rumah orang Cina, sampai di dapur,” katanya.

Dalam pemilihan gubernur November 2007, dia mendukung Osman Sapta Odang.

“Saya tidak senang (Gubernur) Usman Ja’far. OSO adalah alternatif pilihan. Dia pribadi yang berhasil. Orang pasar punya dana milyaran, pebisnis ulung, pelobby ulung, tinggal di Jakarta, Ketapang, Pontianak.”

Osman Sapta Odang atau OSO juga seorang pribadi yang berwarna. Di Pontianak dan Singkawang, OSO dikenal sebagai pemilik Hotel Mahkota. Dia juga presiden komisaris Lion Air namun juga ketua Partai Persatuan Daerah. OSO pernah duduk sebagai wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat saat ketuanya Amien Rais. Sebagai wakil ketua MPR, OSO pernah mengajak beberapa rekannya, berpelesiran di Paris, menginap di hotel mewah dan sewa limousin dengan tarif ratusan dollar per jam. Amien Rais uring-uringan. OSO pernah meninju sesama legislator ketika sidang di Senayan.

November lalu Gusti Suryadarma memimpin protes terhadap Majelis Ulama Indonesia. Pasalnya, MUI Kalimantan Barat memasang iklan besar-besaran mendukung Usman Ja’far sekitar seminggu sebelum pemungutan suara. Dari Jakarta, ketua harian MUI Pusat H Amidhan menyatakan MUI tak boleh berpolitik. Suryadarma protes bersama sekitar seratusan rekannya. Ketika ditanya apa nama mereka, Suryadarma pun memakai nama “Barisan Umat Islam.”

Ketua umum MUI Kalimantan Barat KH Rahim Dja’far akhirnya mencabut instruksi tersebut. “Keputusan itu memang saya tanda tangani. Tapi, untuk kalangan 21 organisasi (Islam). Bukan untuk umum. Kita juga tidak ada desakan, hanya menganjurkan,” kata Rahim Dja’far.

Pada 7 Januari 2008, Gusti Suryadarma membawa Barisan Umat Islam ke DPRD Kota Pontianak dan mempertanyakan legalitas organisasi Majelis Adat dan Budaya Tionghoa. “Kami hanya mempertanyakan apakah budaya Tionghoa tersebut berasal dari adat budaya tradisional Kota Pontianak? Kami mohon jawaban dari DPRD Kota Pontianak,” katanya. Pertemuan massa ini sempat tegang. Suryadharma menggebrak meja.

Di Sari Wangi, Suryadarma menerangkan pada saya bahwa “kebudayaan Cina” ada. Namun “kebudayaan Tionghoa” tak ada. Cina setara dengan Melayu, sama-sama kebudayaan.

“Mana ada suku Tionghoa? Ada Khek, ada Hok Lo, ada Hokkian.”

“Jangan sampai pembodohan, mana mungkin barongsai, naga, disebut kebudayaan Tionghoa?”

“Di seluruh dunia orang bilang, Happy Chinese New Year bukan Happy New Year in Tionghoa.”

“MABT itu organisasi yang berbahaya. MABT itu harus bubar. Ganti dengan Forum Komunikasi Tionghoa,” katanya.

Ada relativisme moral dalam argumentasi Suryadarma. Cara kehidupan orang Tionghoa, tentu saja, bukan adat tradisional Borneo. Tapi apa batas tradisional dan tak tradisional? Bukankah Islam, maupun Kristen, juga bukan asli Borneo? Dua agama ini asalnya di jazirah Arab.

Saya menemui Dr. Yusriadi, dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pontianak, guna menerangkan masalah ini. Yusriadi mendapatkan gelar doktor dari Universiti Kebangsaan Malaysia di Kuala Lumpur. Dia murid James T. Collins, professor bahasa-bahasa Borneo. Yusriadi menulis buku, bersama rekannya Hermansyah, Orang Embau: Potret Masyarakat Pedalaman Kalimantan. Dia sering bingung kalau ditanya dia orang Melayu atau Dayak? Orang Embau bisa disebut Dayak, bisa disebut Melayu.

Menurut Yusriadi, “orang Melayu tertentu” memang hendak menyerang orang Tionghoa sejak kemenangan Cornelis-Sanjaya. Ada saja alasan yang mereka manfaatkan, termasuk Gang Tujuhbelas maupun MABT. Namun Melayu militan itu masih berhitung. “Bukan mereka menghitung kekuatan orang Tionghoa. Tetapi mereka menghitung orang Dayak yang sekarang berada di belakang orang Tionghoa,” kata Yusriadi.

Ada banyak contoh ketika orang Melayu ribut-ribut terhadap orang Tionghoa, orang Dayak memberikan sinyal: ketaksukaan mereka terhadap aksi ini.

Analisis Yusriadi sejajar dengan tesis Jamie Davidson: Melayu maupun Dayak bersaing dan mereka yang di tengah jadi korban. Orang Dayak mengusir orang Madura dari Sanggau Ledo, pada 1997, karena Madura adalah puak yang lemah. Orang Melayu mengusir Madura dari Sambas, pada 1999, juga karena jumlah Madura kecil. Ketika orang Dayak mengusir orang Madura dari Sampit, Kalimantan Tengah, pada 2001, alasannya juga sama. Kini golongan Madura sudah keok. Ribuan orang Madura dipotong kepalanya, dibelah punggungnya, dimakan hatinya. Kini persaingan mereka mencari korban yang tetap minoritas: golongan Cina. Pepatah, “Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung,” dulu dimanipulasi untuk membenarkan diskriminasi terhadap etnik Madura. Sekarang pepatah sama dimanipulasi untuk menyudutkan pendatang lain: golongan Tionghoa.

Akhir Januari 2008, Walikota Pontianak Buchary Abdurrahman mengadakan rapat Muspida Kota Pontianak. Tujuannya, membahas ketegangan Melayu militan terhadap golongan Tionghoa. Buchary mengatakan pada saya bahwa dia mendapat masukan dari kepala polisi, militer, kejaksaan, Badan Intelijen Nasional maupun DPRD Kota Pontianak. Mereka menyarankan kegiatan festival naga, yang biasa dilakukan untuk merayakan tahun baru Imlek maupun Cap Goh Meh, tak diadakan dulu.

“Selesai rapat Muspida, saya panggil sekitar 20-an pemuka-pemuka masyarakat Tionghoa, menjelaskan SK Naga. Banyak yang mendukung dan hanya satu-dua saja yang menolak. Pertimbangan yang diambil sudah luar biasa, kalau diizinkan bisa kacau,” katanya.

Pada 5 Februari 2008, Buchary Abdurrahman mengeluarkan SK No. 127, biasa disebut “SK Naga.” Isinya, dalam melaksanakan perayaan Imlek dan Cap Go Meh, pemerintah Pontianak melarang: (a) Perdagangan dan pemasangan petasan; (b) Arakan naga, barongsai di jalan umum dan fasilitas umum. Permainan naga, barongsai, bisa dilaksanakan di Stadion Sultan Syarif Abdurrachman Pontianak. Mobilisasi naga ke stadion, harus menggunakan kendaraan truk.

Reaksi di kalangan orang Tionghoa cukup ramai. Beberapa organisasi, yang sudah bikin naga, memutuskan pindah permainan ke Singkawang. Mereka tak mau main di stadion. Alex Hasim dari Yayasan Bhakti Suci mengatakan pada saya pemindahan permainan, dari jalanan ke stadion, sebenarnya memotong sumber penghasilan panitia. Pembuatan satu naga, tergantung panjangnya, Rp 100-200 juta. Belum lagi untuk operasi 100an pemain. Panitia harus beli baju dan sepatu. “Mereka harapkan angpao. Kalau di lapangan nggak ada yang kasih angpao,” kata Hasim. “Nggak ada angpao, ya nggak bisa jalan. Mereka yang arakan naga, marah semua.”

Saya menemui Buchary Abdurrahman dua kali. Dia dulu dikenal sebagai dokter yang naik motor, melayani pasiennya di kampung-kampung. Buchary bangga mengatakan semua anaknya selesai kuliah. Buchary termasuk orang yang menggagas festival naga pasca-Orde Baru dengan “Piala Walikota.” Menurutnya, perkelahian Gang Tujuhbelas bisa diselesaikan secara formal tetapi tak bisa selesai secara emosional. Dia ingin mendinginkan suasana. Menurut Buchary, “Itu sifatnya situasional. Ini tanggungjawab dan resiko pemimpin. Ini untuk menyelamatkan kepentingan lebih besar walaupun akibatnya saya tidak populis.”

Keluarnya SK Naga tersebut, membuatnya mendapatkan kecaman. Banyak orang mengatakan tindakan itu rasialis. “Bagaimana Pontianak melarang sementara tetangga kita, Kubu Raya, memperbolehkan?” kata Farid Muchsin. Bong Su Mian dari Forum Komunikasi Pemuda Tionghoa mengatakan Cap Goh Meh suatu kebudayaan bagi sebagian besar orang Tionghoa di Indonesia. “Itu ritual. Manusia punya hak untuk liturgi,” katanya.

Buchary berpendapat, “Kadang-kadang kita mau meniru Amerika, tapi nggak tahu apa yang mau ditiru. Disana sesudah kalah ya salaman. Bu Mega sampai sekarang nggak mau salaman dengan (Presiden) SBY.”

Zaman Presiden Soeharto, tarian naga dilarang sama sekali. Orang-orang Tionghoa mengalami diskriminasi. Mereka dipaksa ganti nama. Agama Khong Hu Chu dilarang. “Kelenteng saja masih susah ditahan,” kata Alex Hasim.

Pada 20 Februari 2008, Erwan Irawan dari Permak membawa seratusan pendukungnya ke Rumah Melayu. Mereka menyatakan dukungan terhadap SK Naga. Mereka minta DPRD Kota Pontianak mengubah SK menjadi Peraturan Daerah. Artinya, larangan bukan sementara namun permanen.

Mereka menamakan diri Barisan Melayu Bersatu. Mereka menuntut seluruh warga Pontianak menggunakan bahasa Indonesia, DPRD Pontianak segera melarang festival naga, mengganti semua tulisan asing di tempat-tempat umum dengan bahasa Indonesia dan mengganti nama-nama pahlawan dengan terutama pahlawan Kalimantan Barat.

Erwan mengatakan barongsai dan naga bikin macet lalu lintas. Kalau satu naga panjangnya 20 meter, “Kalau 20 yang main, maka 400 meter. Kasihan sopir oplet, sopir taxi, yang perlu sampai ke rumah macet total.”

Erwan berdiri di podium ketika menyampaikan maklumat.

“Hidup Melayu, hidup Melayu! Allahu Akbar, Allahu Akbar,” teriak pendukungnya.

Gawai Dayak

Ketika di Pulau Jawa, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merayakan apa yang disebut “Seabad Kebangkitan Nasional Indonesia,” dengan acara kolosal di Stadion Senayan, dan berbagai macam seminar, pameran serta … kebangkitan harga BBM, pada hari yang sama, saya menikmati tari-tarian dalam pembukaan sepekan Gawai Dayak di Pontianak.

Acaranya diadakan di Rumah Betang, sebuah bangunan dua lantai terbuka, penuh ukiran-ukiran Dayak dan dominasi warna merah. Ada baliho-baliho dengan gambar Gubernur Cornelis dan Wakil Gubernur Christiandy Sanjaya. Walikota Buchary Abdurrahman dan isterinya masing-masing juga pasang satu baliho.

Di halaman ada puluhan kios. Ada kios majalah Kalimantan Review, Super Mie, permen Relaxa, spanduk ucapan selamat dari Kerukunan Masyarakat Batak serta 38 sanggar kesenian Dayak. Banyak kios menjual manik-manik Dayak. Ada juga kios yang menjual lotion pemutih kulit. Di bagian belakang, jual rupa-rupa penganan Dayak.

Semua hadirin berdiri ketika “Mars Dayak” karya F.C. Palaoensoeka, politikus Partai Dayak, dinyanyikan. “Zaman Orde Baru tidak boleh dinyanyikan,” bisik Tanto Yakobus, wartawan Dayak dari Borneo Tribune. Dulu lagu ini dianggap lagunya Partai Dayak. Di Jakarta, mungkin Palaoensoeka lebih dikenal sebagai salah satu pendiri harian Kompas bersama I.J. Kasimo, Frans Seda, Jakob Oetama dan Auwjong Peng Koen.

“Baru tahun ini Gawai Dayak dibuka oleh gubernur yang asli Dayak,” teriak Tarsisius Ivan Subandap dari Sekretariat Bersama Kesenian Dayak. Ada nada bangga dalam pidato Subandap.

Rumah panjang ini milik Dewan Adat Dayak. Ketuanya, Thadeus Yus, memimpin pembukaan. Gawai adalah perayaan “masa habis baladang.” Maknanya, ucapan syukur kepada alam dan kehidupan. Orang Dayak dekat dengan alam. Ancaman lingkungan adalah ancaman buat masyarakat Dayak.

Yus juga menyinggung bahwa Rumah Betang perlu yang “lebih representatif.” Gubernur Cornelis, yang duduk di deretan sofa depan, tergelak-gelak. Tampaknya, Yus menyindir Cornelis. Bangunan ini lebih sederhana dari Rumah Melayu.

Puncak acara adalah Cornelis pidato. Dia mengenakan jas merah darah dengan sulaman Dayak Iban. Dia didampingi dua prajurit Dayak, telanjang dada, penuh tatto, memegang mandau dan perisai.

Sudah lama saya tak lihat ada politikus bisa pidato di Indonesia. Mungkin ini peninggalan zaman Soeharto, ketika pidato isinya angka dan slogan. Cornelis mengajak hadirin tergelak, diam dan tersenyum.

“Salah nggak, saya jadi tuan di negeri sendiri?” tanyanya.

Dia juga mengeluh orang tak sabar menunggu kinerjanya. Dia bilang baru empat bulan jadi gubernur. Sekarang masih menyusun anggaran. Dia juga capek dimintai sumbangan. “Saya tidur saja nggak sempat. Empat jam sehari.”

Dia juga bilang soal pemberian hak pengelolaan hutan zaman Orde Baru. “Booming HPH konyol itu. Bayangkan 1.5 juta hektar hutan dijadikan HPH. Karena pembuat kebijakan tidak berpihak.”

“Kebijakan 40 tahun mana mungkin saya tanggung sendirian? Baru empat bulan jadi gubernur.”

Cornelis juga mengajak hadirin menghargai keragaman etnik. Di Kalimantan Barat ada orang Madura, Bugis, Jawa, Tionghoa, Melayu, “Itulah hebatnya Kalimantan Barat.”

“Semua rakyat kita, yang tidak mendukung juga warga kita.”

Di deretan hadirin, saya lihat ada Haji Sulaiman, ketua Ikatan Keluarga Madura, yang banyak mendukung Cornelis. Para pengurus Yayasan Bhakti Suci, termasuk Lie Khie Leng, juga ada. Thadeus Yus sempat celingukan mencari tamu dari MABM. Dia heran mengapa tak ada pengurus puak Melayu datang.

Hadirin dipersilahkan makan siang. Ada tari-tarian dan karnaval. Alamak … ada dua naga diikutkan: kuning dan orange. Mereka dimainkan di jalanan umum. Saya tanya Thadeus Yus soal larangan naga. “Ini acara syukuran masyarakat Dayak. Semua etnik diundang, termasuk Tionghoa. Larangan Cap Goh Meh itu eksklusif untuk orang Chinese,” katanya.

Saya ingat analisis Dr. Yusriadi. Hubungan Dayak-Tionghoa sedang mesra. Maka naga pun tampil dalam Gawai Dayak. Ini menambah bara dalam sekam. Yusriadi menerangkan hubungan antar Tionghoa-Melayu saat ini, bukan saja bermasalah, tapi sangat kritis. “Ibarat retak menunggu belah,” katanya.

“Orang Melayu tertentu terus menekan dan tidak memberi ruang. Sekarang ini mereka menjual tantangan, menunggu orang Tionghoa mau membelinya. Ketika orang Tionghoa melawan, itulah yang ditunggu. Soalnya sekarang, sampai kapan orang Tionghoa bisa bersabar ketika berada di bawah tekanan?”

Hitungan akan berubah ketika hubungan Tionghoa-Dayak tak mesra lagi. Mungkin ada kebijakan Cornelis dan Sanjaya yang berbenturan. “Nah, ketika itu terjadi, mungkin orang Melayu yang selama ini agak gerun terhadap kekuatan orang Dayak, di belakang Tionghoa, akan melakukan gerakan,” kata Yusriadi. Orang Tionghoa bisa menjadi “musuh bersama.”

Ada anggapan pembunuhan Tionghoa takkan terjadi. Mereka terlalu penting secara ekonomi. Banyak orang Melayu akrab dengan Tionghoa. Tionghoa juga kelompok pendatang tertua di Kalimantan Barat. Yusriadi mengatakan bahwa yang sekarang ribut adalah “kelompok pinggiran.” Namun, dalam banyak contoh, pembunuhan besar-besaran selalu bermula dari masalah kecil.

Orang Tionghoa, meminjam istilah Amy Chua, adalah market dominant minority. Minoritas ini dominasi pasar. Situasi ini rentan letupan sosial dalam sejarah migrasi manusia. Etnik Tionghoa di Asia Tenggara setara dengan kaum Yahudi di Rusia, kaum Sunni di Irak, etnik Kroasia di Yugoslavia dan sebagainya. Idealnya, tindakan buruk individu tak boleh diterapkan kepada seantero bangsanya. Setiap bangsa pada dasarnya sama, dengan manusia baiknya, dan juga bajingan-bajingannya. Dalam buku World on Fire, Chua menganjurkan kaum minoritas ini membuat program-program redistribusi kesejahteraan.

Oktober nanti, ada empat pemilihan kepala daerah di Kalimantan Barat: walikota Pontianak, bupati kabupaten Pontianak, bupati Kubu Raya serta bupati Sanggau. Dalam sistem demokrasi yang masih muda, lowongan walikota Pontianak bisa dimenangkan oleh siapa saja, termasuk orang Cina.

Ketika meninggalkan airport Supadio, saya merasa pesimis dengan peluang damai di Pontianak. Azas kebersamaan macam apa yang dikembangkan di sini? Kebebasan sipil lemah. Pengadilan terhadap kejahatan masa lampau juga tak ada. Selama orang belum bisa belajar dari sejarah masa lalu, mereka yang dulu melakukan pembunuhan massal, takkan takut untuk melakukannya lagi.

-------------------------

Andreas Harsono wartawan Jakarta, kini lagi menyelesaikan buku From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism. Biaya liputan ini dibantu oleh Yayasan Nabil untuk Nation Building (Jakarta). Naskah dimuat majalah Gatra (Jakarta), Borneo Tribune (Pontianak) dan situs Pantau.

dari: http://andreasharsono.blogspot.com/2008/07/panasnya-pontianak-panasnya-politik_05.html