29 Mei 2008

Mengapa Borneo Itu Kalimantan?



Ben Abel
Peneliti & Pustakawan South-East Asian Program, Cornell University, USA

Jika mengikuti paparan buku-buku lawas, ensiklopedi maupun kamus, seperti: Encyclopaedie van Nederlandsch-Indies (1918), Beknopte Encyclopaedie Nederlnadsch-Indie (1921), tidak satupun yang memuat kata Kalimantan, tetapi Borneo. Dalam penjelasan maupun keterangan tentang nama pulau Borneo ini pun sama sekali tiada tertulis istilah maupun kata Kalimantan.

Namun ketika kita membuka Ensiklopedia Nasional Indonesia (1990), maka kita temukan keterangan tentang Kalimantan sebagai berikut: “…dulu dikenal sebagai Borneo.” Bahkan dalam Eksiklopedia Malaysiana (1995), dinyatakan, “pulau ini dikenali dengan nama Borneo.” Sedangkan dalam buku Robert Cribb, Historical Dictionary of Indonesia (1992) dijelaskan; “Kalimantan is used to denote both the island of Borneo and, as here, its Southern, Indonesia portion …” [Kalimantan adalah nama yang dipakai untuk menunjukkan kedua bagian dari pulau Borneo, dan di sini maksudnya adalah bagian Selatan, yaitu porsi Indonesia …] jika kita buka juga Merriam-Webster’s Geographical Dictionary (3rd edtion, 1997) dijelaskan, “Borneo, Island in the Malay Archipelago, …S[outh] section (Indonesian Ka-li-man-tan …)” [Borneo, pulau dalam kepulauan Malaya … bagian selatannya (dalam bahasa Indonesia Ka-li-man-tan …]

Bisakah dijelaskan bahwa nama maupun istilah Kalimantan ini baru ‘resmi’ atau malah dibuat secara sengaja dengan maksud membedakan teritori kewilayahan antara tiga negara: Malaysia, Brunei dan Indonesia? Jika kita telusuri kembali ke awal sejarah kebangkitan nasional Indonesia, yang diklaim bermula dari Boedi Oetomo (1902), maka ini sangat mengherankan. Organisasi golongan priyayi Jawa yang dinamakan Boedi Oetomo, ini malah banyak menggunakan bahasa Jawa dalam penerbitannya, ketimbang bahasa Melayu [masa itoe]. Juga, tidak ditemukan istilah Kalimantan bagi pulau yang dikenal luas sebagai Borneo. Bisa saja kita menebak lanjut, ketika Pertemoean Pemoeda (1926) sampai Kongres dan Soempah Pemoeda (1928) mestinya ada dimulai penggunakan istilah Kalimantan. Faktanya, dalam setiap dokumen dari masa itu tidak ada, selain istilah-istilah Jong Borneo dan Borneo Bond, yang dikenal sampai sekarang pada pelajaran sejarah nasional Indonesia di sekolah-sekolah. Bahkan, dalam terbitan Barita Bahalap, buletin terbitan missi kekristenan di Bandjermasih (sekarang Banjarmasin) maupun berbagai dokumen dari misionaris zaman masa awal Kristen bermisi di tempat ini, tidak terdapat kata Kalimantan. Jika buku Indonesia Menggugat (1951) yang merupakan dokumen politik dari pidato pembelaan Ir. Soekarno di Bandung, 22 Desember 1930, memang merupakan cetak sesuai aselinya, maka baru di sinilah ada istilah Kalimantan (halaman 15). Tetapi betapa anehnya, ketika pada tahun 1950 di Bandung, setahun sebelum Indonesia Menggugat terbit, terbitlah buku bergambar “Tanah Air Kita” yang didalamnya sama sekali tidak memakai istilah Kalimantan, tapi Borneo. Padahal buku karangan Niel A. Douwes Dekker, cucu dari pengarang Multatuli ini, dibantu oleh banyak orang Indonesia, bahkan oleh Departemen Penerangan Republik Indonesia, serta memuat peta-peta dan banyak gambar. Dalam bab Borneo, diterangkan bahwa dalam masa akhir-akhir ini nama Kalimantan semakin meningkat kepopulerannya, bahkan mendapat pengakuan resmi para pejabat [In recent times the name Kalimantan has increased in popularity and has even found official recognition] (halaman 68). Maka, menjadi sangat aneh, tiba-tiba buku Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun: Alam dan Kebudayaan (1993) menyatakan bahwa “…Kalimantan adalah nama yang lahir semasa kemenangan kerajaan Islam abad ke-16, pada saat Pangeran Samudra (Pangeran Suriansyah) alias Maruhum memegang tampuk pemerintahan di Banjarmasin,” (halaman 76). Jelas itu asalnya dari narasumber lisan, sekalipun sama sekali tidak dipaparkan dalam buku karena ketika Oliver van Noort mengunjungi pulau ini pada tahun 1601, dan membuat peta Borneo seperti yang tercantum dalam buku tua yang diedit oleh Isaac Commelin, Begin ende voortgang vande vereenigde Neederlandtsche Geoctroyeerde Oost-indische Compagnie (1646), sama sekali tidak mempunyai informasi istilah Kalimantan. Bisa berarti dia tidak pernah mendengar. Padahal Banjarmasin tertera sebagai Bandermachin. Bahkan buku masih anyar dari Han Knapen, Forest of Fortune? The environmental history of Southeast Borneo, 1600-1880 (2001) pun menunjukkan sejauh data dan informasi yang dikumpulinya sepanjang masa 1600-1880, sama sekali tidak ada istilah Kalimantan. Ya, jika memang sudah dikenal tentunya Encyclopaedie van Nederlandsch-Indies, yang diterbitkan tahun 1918, maupun Beknopte Encyclopaedie Nederlnadsch-Indie tahun 1921, akan memuatnya.

Tetapi kita harus tetap mengherani ini semua. Bahkan, mencurigai betapa kuatnya pencitraan pulau Borneo sebagai warisan satu hegemoni alam kolonialisme. Mengapa perlu demikian? Setelah menapaki secara bersama beberapa sumber tertulis, kini perlu dilihat juga keterangan dari seorang yang bernama J. Hunt, yang berdasarkan tingkat formalitas kerajaan Britania Raya masa itu, ditulis sebagai J. Hunt, Esq. Esq singkatan dari Esquire, yaitu suatu gelar sebagai “tuan yang terhormat”, setingkat Datuk di Malaysia atau Brunei sekarang yang masih berkukuh setia dengan alam feodal. Sejauh ini, belum sempat diteliti lebih jauh, siapa sesungguhnya Datuk J. Hunt. Untuk sekarang kita hanya menggunakan catatan beliau yang tertulis tahun 1878 sebagai hasil komunikasinya dengan Sir Stamford Raffles pada tahun 1812, Gubernur Jenderal koloni Britania Raya masa itu, yaitu Borneo: Extract from Sketch of Borneo.

Dalam catatan Datuk J. Hunt, dicatat : “The native and Malays formerly, and even at this day, call this large island by the exclusive name of Pulo Kalamantan, from an indigenous fruit so called. Borneo was the only of a city, the capital of one of the three distinct kingdoms of the island. When Magalhaens visited it in the year 1520, he saw a rich and populous city, a luxuriant and fertile country, a powerful prince, and a magnificent court: hence the Spaniards hastily concluded that the whole island not only belonged to this prince, but that it was likewise named Borneo. In this error they have been followed by all other European nations. The charts, however, mark this capital “Borneo proper,” or, in other words, the only place properly Borneo: this is the only confession of this misnomer that I have met with amongst Europeans. The natives pronounce Borneo, Bruni, and say it is derived from the word Brani, courageous; the aboriginal natives within this district having ever remained unconquered” (J. Hunt, Esq., p.2) [Pribumi dan yang dulunya melayu-melayu, bahkan dimasa sekarang, menyebut pulau besar ini dengan nama yang sangat khas sebagai Pulo Kalamantan, berasal dari nama buahan setempat. Borneo hanyalah sebuah kota, yaitu ibu kota dari salah satu kerajaan [kesultanan] dari antara tiga wilayah kerajaan yang ada di pulau ini. Ketika Magelhaen mengunjungi tempat ini di tahun 1520, dia melihat kota yang kaya dan berpenduduk banyak, sebuah negeri yang subur, pangeran yang mahakuasa, dan sebuah istana yang maha elok: karenanya orang-orang Spanyol itu buru-buru menyimpulkan bahwa seluruh pulau bukan saja menjadi milik sang pangeran/sultan ini, tetapi menamakan si pulau demikian juga. Dalam kesalahan beginilah selanjutnya diikuti pula oleh seluruh bangsa Eropa lainnya. Peta-peta kemudian ditandai dengan hurup besar “yang benar Borneo” atau dengan lain kata, satu-satunya tempat yang sesungguhnya Borneo: ini satu-satunya pengakuan dari nama yang salah diantara kaum Eropa. Pribumi menyebut Borneo sebagai Bruni, dan katanya berasal dari kata Brani, courageous=pemberani; kemurnian [hidup] pribumi di sekitar wilayah ini masih tetap belum tertaklukkan.] (J. Hunt, Esq., hal.2]

Jadi, jelas bagi penduduk aseli atau bumiputera, Kalimantan memang Kalimantan semenjak dahulu. Hanya kesalahan Magelhaen, dkk., yang akhirnya membuat semua catatan arsip dan laporan mengenai pulau ini membuat seluruh Eropa menyebut dan mengenalnya sebagai Borneo, seperti yang dijelaskan Datuk J. Hunt di atas tadi. Namun di masa sekarang, di jaman kita kini, nampaknya seolah diterima suatu kesepakatan tidak resmi, bahwa Borneo nama Kalimantan untuk Eropa dan Kalimantan nama Borneo untuk non-Eropa. Karena industri media massa masih dikuasai Eropa, kita tak bisa mengubur nama Borneo. Karena nama Borneo bukan saja berasal dari satu kesalahan, tepatnya kebodohan Magelhaen dkk., tetapi lebih lagi merupakan cara menaklukkan Pulo Kalamantan. Seperti kalimat terakhir kutipan Datuk J. Hunt di atas tadi, yakni dengan menamakannya secara lain dan dengan demikian penaklukkan sudah berjalan.

Maka, betapa anehnya ketika suplemen Jurnal The Atlantic, Juni 1956, menyatakan “Borneo, or Kalimantan as it is now called, the largest of the islands, is about the size of France;..” [Borneo, atau Kalimantan sebagai nama yang dikenal sekarang adalah pulau terbesar, kira-kira seukuran negeri Perancis..] (halaman100), sekalipun kemudian semua tulisan yang dimuat di situ tetap memakai nama Borneo. Besar kemungkinan, karena jurnal berbahasa Inggeris ini memang maksudnya bukan bagi orang Indonesia, nama Borneo seolah-olah semacam terjemahan dari nama Kalimantan. Tetapi, keterangan bahwa nama Kalimantan sebagai baru, ini jelas kesalahan akibat kurangnya pengetahuan terhadap Pulo Kalamantan. Tjilik Riwut walau tidak menyebut sumber dari mana dan dari siapa, dalam bukunya di atas tadi bisa jadi ada benarnya.

Di masa sekarang atau jaman merdeka ini, konotasi nama Borneo akan selalu dianggap milik kolonial alias bangsa kulit putih alias penjajah. Setidaknya kata Borne dianggap asing, seakan-akan kolonialisme tidak bisa ada di dalam negara dan bangsa Indonesia sendiri. Stigma rasisme dalam historiografi kemerdekaan Indonesia memang banyak masalah, selama terdapat anggapan bahwa rezim penjajahan Hindia-Belanda cuma dianggap kerja bangsa putih. Padahal, dalam kenyataannya 90% lebih dari aparat negara Hindia-Belanda adalah para pribumi. Ia sejalan dengan semangat keindonensian dimana beberapa pulau seperti Papua, Celebes, Maluccas, dan Borneo ini semua mempunyai nama yang [seolah] di-Indonesia-kan. Papua menjadi Irian Barat yang kemudian jadi Irian Jaya, jelas karena ada negara lain di sebelah timurnya, Papua New Guinea, sekalipun sekarang kembali menjadi Papua. Celebes menjadi Sulawesi karena mungkin sekali bunyi Celebes [Selebes] kurang melayu (baca, Indonesia) dari bunyi Sulawesi, sekalipun sekarang kota Ujung Pandang kembali ke nama aslinya, Makassar. Maluccas menjadi Maluku. Dan Borneo bukan menjadi Kalimantan, tetapi memang Kalimantan sesungguhnya. Bukan seperti kasus Papua jadi Irian Jaya. Bahkan Indian Ocean (Lautan Hindia) oleh Soekarno dinamakan sebagai Samudera Indonesia atau Lautan Teduh.

[Tulisan ini pernah dimuat di Maillist dayak@yahoogroups.com, mengucap-borneo@yahoogroups.com dan www.dayak21.org]