03 Agustus 2008

Editorial Agustus: Dayak dan PON XVII Kaltim


Peristiwa apakah di tanah Kalimantan yang paling mendapat sorotan luas yang terjadi bulan lalu? Semua orang hampir pasti sepakat, jawabnya ialah PON (Pekan Olahraga Nasional) XVII yang berlangsung di Kalimantan Timur 5 – 17 Juli lalu.

Gegap-gempita PON XVII, tentu membuat bangga masyarakat Kaltim khususnya dan Kalimantan umumnya. Inilah kali pertama dalam sejarah Indonesia, PON digelar di pulau yang dahulu juga dikenal dengan nama Borneo dan Tanjung Negara ini. Makna penting PON yang merupakan hajatan berskala nasional, membuat masyarakat Kalimantan merasa menjadi lebih Indonesia. PON XVII Kaltim adalah yang kedua kalinya diselenggarakan di luar Jawa dalam empat dekade terakhir. Ini mungkin salah satu berkah upaya demokratisasi dan desentralisasi sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru. Selama Orde Baru berkuasa, PON selalu diselenggarakan di Jawa, tepatnya, di ibu kota negara. Betapa memang sentralistisnya Orde Baru!

Dari sisi pelaksanaan, PON Kaltim menghadirkan kebanggaan, bukan saja karena acara akbar itu berlangsung sukses, namun sekaligus dianggap sebagai PON terbesar sepanjang sejarah pelaksanaan PON di Indonesia. PON ini juga merupakan yang termahal dan meninggalkan sejumlah fasilitas olahraga bertaraf internasional. Jangan kaget, jika esok hari akan lebih banyak lagi hajatan olahraga nasional maupun internasional yang mungkin diselenggarakan di Kaltim.

Meski begitu, memang tak ada gading yang tak retak. Di tengah perhelatan PON, ada insiden kecil, yang pesan di baliknya tak boleh dikecilkan. Pada 8 Juli, sekelompok kecil orang Dayak diberitakan melakukan aksi pencopotan spanduk dan baliho PON di kompleks Stadion Sempaja Samarinda. Itu mereka lakukan sebagai ujud protes bahwa maskot PON mereka anggap telah melecehkan orang Dayak. Maskot PON itu bergambar orang utan, ikan pesut dan burung enggang—hewan yang banyak terdapat di Kaltim. Yang mereka persoalkan, pengenaan kain penutup (cawat) bermotif Dayak pada gambar orang utan tersebut. Konon, bagi masyarakat Dayak setempat motif itu memliki makna yang dihormati. Sehingga, penyematannya pada orang utan dianggap sebagai penghinaan terhadap orang Dayak.

Sayang sekali, insiden ini tidak diberitakan secara luas. Barangkali lantaran dipandang akan mengganggu kelancaran penyelenggaraan PON. Sedikit pemberitaan muncul di media nasional. Namun, framing pemberitaan tersebut cenderung tidak menguntungkan orang Dayak. Insiden itu lebih dianggap sebagai gangguan terhadap pelaksanaan PON. Tidak lebih!

Sebenarnya, protes masyarakat Dayak Kaltim terhadap maskot PON tersebut telah diutarakan sebelum PON berlangsung. Namun, pihak Panitia Besar PON dan Pemerintah Kaltim tidak mersponnya dengan cepat. Pihak penyelenggara dan pemerintah setempat baru bereaksi seadanya setelah protes orang Dayak di Sempaja berlangsung. Sejak itu, gambar motif Dayak pada orang utan di maskot PON diputuskan ditiadakan.

Bagaimanapun, ini adalah pelajaran penting betapa hidup dalam keberagaman membutuhkan kepekaan yang tinggi. Orang luar, yang non-Dayak Kaltim, mungkin agak sulit memahami mengapa orang Dayak Kaltim menjadi marah “sekadar” karena persoalan maskot. Tapi dalam keberagaman selalu terdapat keberagaman makna dan persepsi. Persoalannya, sejauh mana kita dapat menghargai dan menghormati dengan sejumlah kebhinekaan itu.

Lebih dari itu, persoalan maskot dan simbol itu tidak berdiri di ruang hampa. Sejauh ini, mungkin kita mengenal Kaltim sebagai provinsi yang makmur dan terkaya di Indonesia. Tetapi, barangkali sedikit saja yang mengerti bahwa di balik kekayaan Kaltim, itu terdapat jurang ketimpangan yang curam. Masyarakat Dayak Kaltim, yang notabene sebagian besar penghuni pedalaman adalah mereka yang berada di kecuraman jurang ketimpangan itu. Silakan ditengok, seberapa besar orang Dayak di sana mendapatkan berkah dari kekayaan Kaltim dan seberapa banyak mereka yang turut andil menjadi penentu setiap kebijakan. Tak heran, dengan empati terhadap Dayak Kaltim, seorang sarjana Dayak yang pernah meneliti salah satu kelompok masyarakat Dayak di Kaltim berujar ”… saat ini hanya "harga diri" yang masih tertinggal dan tersisa untuk dipertahankan!”

Yekti Maunati, antropolog LIPI yang menulis disertasi tentang Dayak Kaltim menjelaskan dengan gamblang betapa Dayak hanya menjadi objek pembangunan dan komoditas pariwisata. Konstruksi dominan tentang Dayak sebagai kelompok masyarakat primitif dan tertinggal, dijadikan pembenaran bagi penguasa untuk “memberadabkan” mereka dengan jalan merumahkan mereka yang nomaden dan menjadikan mereka objek tontonan bagi wisatawan. Alam dan lingkungan kebudayaan Dayak diekploitasi, penguasa dan orang lain yang menikmati.

Sudah saatnya, konstruksi tersebut harus diubah oleh kita semua. Belajar dari apa yang terjadi dari PON XVII Kaltim, kita melihat ada kebangkitan dan kesadaran baru dari kalangan masyarakat Dayak yang boleh dipandang sebagai kemajuan. Mari kita sambut ini dengan tangan terbuka, dengan toleransi yang tinggi dan dengan pembuatan kebijakan yang adil bagi mereka dan kita semua.