07 Februari 2009

Ke Batas Negara, Rumit dan Mahalnya Mobilitas

Haryo Damardono dan Ambrosius Harto

Ketika mobilitas fisik terhalang, di ujung jalan orang akan terpaku pada ketertinggalan, tingginya biaya hidup, dan mungkin rasa ”buntu jalan”. Inilah Tarakan-Nunukan, penggalan pertama kami.

”Penerbangan menuju Nunukan, Kamis (5/2), dibatalkan karena alasan perawatan. Kami baru terbang lagi hari Jumat. Maaf, tiada penerbangan lain ke sana,” kata Diana, perwakilan Trigana Air di Tarakan, Kalimantan Timur, Rabu. Berita itu kami dapatkan begitu pesawat yang membawa kami mendarat di Bandara Juwata, Pulau Tarakan.

Rencananya, dari Tarakan kami akan terbang ke Pulau Nunukan, kemudian menyeberang dengan kapal ke Nunukan daratan. Dari sana, perjalanan darat menjelajah trans-Kalimantan kami bermula.

Untuk mencapai titik terujung di Kaltim ini, kami harus terbang dari Jakarta menuju Banjarmasin, lalu dari Banjarmasin menuju Balikpapan, dan dari Balikpapan menuju Tarakan.

Tak mungkin menempuh semua penerbangan itu dalam satu hari, sebab penerbangan Tarakan-Nunukan dijadwalkan pukul 07.05, sedangkan pesawat baru tiba di Tarakan pukul 16.15 Wita. Jadi, kami harus menginap sehari di Kota Tarakan.

Akhirnya, kami memutuskan menghapus angan naik pesawat ke Nunukan, yang dapat dicapai selama 15 menit terbang. Kamis pagi, kami memilih naik kapal cepat (speedboat) meski harus menghabiskan waktu 2,5 jam, yang artinya pemborosan waktu 10 kali lebih lama dari pesawat.

Kapal cepat bermesin 600 PK yang kami tumpangi itu mengangkut 30 penumpang. Tarif tiketnya Rp 175.000 per orang. Kalau naik pesawat, tarifnya Rp 365.000 per orang. Warga Nunukan lebih banyak memilih kapal cepat. Selain tarif tiketnya terjangkau, angkutan laut ini tersedia setiap hari.

Pilihan naik kapal cepat karena jadwal perjalanan memang harus ditepati. Sebab, mobil double gardan telah menunggu kami untuk mulai menapaki jalan darat trans-Kalimantan dengan titik awal dari perbatasan Indonesia-Malaysia di Simanggaris, Kabupaten Nunukan, Kaltim. Kendaraan itu didatangkan dari Samarinda, menempuh perjalanan lebih dari 1.000 kilometer.

Melakukan perjalanan di Kalimantan memang tidak semudah seperti di Pulau Jawa atau Sumatera. Di Jawa dan Sumatera semua wilayahnya sudah tersambung dengan jaringan jalan darat. Di Kalimantan belum semua wilayahnya tersambung jalan darat.

Di kapal cepat jurusan Tarakan-Nunukan, kami bertemu dengan Juleha (60). Warga Tanjung Selor, Kaltim, itu bersama suami dan dua cucunya bercerita tentang kerumitan mobilitas di Kalimantan.

Baru beberapa hari sebelumnya ia melakukan perjalanan darat melintasi jalan trans-Kalimantan ruas Samarinda-Tanjung Selor sepanjang 717 kilometer. Perjalanan itu ditempuhnya sehari semalam dengan menggunakan mobil Kijang, dengan ongkos sewa Rp 250.000.

”Itu kalau kondisi jalannya kering. Tetapi, kalau hujan dan jalan menjadi kubangan lumpur, warga bisa saja terpaksa tidur di hutan,” kata Juleha.

Juleha dan keluarganya dari Tanjung Selor naik kapal cepat ke Tarakan bertarif Rp 80.000 per orang. Lalu melanjutkan lagi ke Nunukan menggunakan kapal cepat lain dengan harga tiket Rp 170.000. ”Perjalanan itu sekitar tiga hari,” kata Juleha.

Tiba di Pelabuhan Tunon Taka, Nunukan, tim Jelajah Kalimantan masih menghadapi kendala lain untuk melanjutkan perjalanan ke Simanggaris. Angkutan kapal cepat ke kecamatan di perbatasan Kaltim itu hanya dijadwalkan Senin dan Rabu.

Untuk bisa melanjutkan perjalanan, tidak ada pilihan lain, kami harus menyewa kapal cepat lagi dengan tarif Rp 2 juta. Itu pun belum mengantar sampai ke titik nol perbatasan negara (Simanggaris) itu. Perjalanan dengan kapal cepat bermesin 200 PK berkapasitas 12 orang itu ditempuh dalam satu jam.

Perjalanan ini melewati pos pengamanan perbatasan yang dijaga anggota TNI dari Batalyon 613/Raja Alam. Pos ada di kawasan hutan mangrove, perairan Teluk Sebuku. Selanjutnya menyusuri Sungai Ular, dan berhenti di sebuah dermaga kayu, yang bersebelahan dengan pos polisi, dan sejumlah rumah warga.

Dari dermaga itulah dimulai perjalanan darat ke perbatasan negara di Simanggaris. Lamanya tiga jam. Jalan itu cukup mulus karena baru selesai diaspal akhir 2008 sepanjang tiga kilometer.

Yuyun Kurniawan, Direktur Yayasan Titian, memberikan informasi bahwa Simanggaris adalah perbatasan Kaltim yang paling rawan terjadinya perdagangan kayu ilegal. Lewat jalan darat, kayu masuk ke Kalaban, di Sabah, Malaysia.

Kalaban dengan empat pabrik kayu lapisnya adalah ”pemroses” bahan baku kayu dari hutan sekitar Simanggaris. ”Sampai April 2008 masih terjadi penyelundupan kayu ke Kalaban, tetapi sekarang sepi karena pabrik-pabrik kayu di sana tutup,” kata Yuyun mengungkapkan.

Simanggaris pernah menjadi sorotan nasional terkait korupsi pembukaan hutan untuk lahan kelapa sawit sejuta hektar. Kasus inilah yang menyeret Suwarna Abdul Fatah, Gubernur Kaltim, yang divonis empat tahun penjara.

Sekarang, Simanggaris menjadi kawasan sepi. Dan terasa amat jauhnya... dari kemajuan dan kesejahteraan. (Ahmad Arif/M Syaifullah)

sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/06/0010401/ke.batas.negara.rumit.dan.mahalnya.mobilitas