06 Maret 2009

Transportasi Regional: Membuka Penerbangan, Mendorong Pertumbuhan

Oleh M SYAIFULLAH dan C ANTO SAPTOWALYONO

Lorna Dowson-Collins Tuh, partner Direktur Kalimantan Tour Destinations, nyaris tak bisa berkata apa-apa. Itu terjadi ketika keduanya tak bisa memenuhi permintaan serombongan wisatawan mancanegara yang datang ke Kuching, Sarawak, Malaysia Timur, beberapa waktu lalu.

Rombongan wisatawan itu batal berkunjung ke Kalimantan Tengah (Kalteng) karena tidak ada penerbangan dari Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim), ke Palangkaraya, ibu kota Kalteng. ”Kunjungan wisatawan ke Kalimantan bisa lebih ramai kalau ada penerbangan langsung dari Bali sebagai tujuan wisatawan asing dari berbagai mancanegara ke Indonesia,” kata Lorna.

Bagi Lorna, kondisi keterbatasan transportasi seperti itu tidak bisa dipahami. Sebab, tidak sesuai dengan kondisi kekayaan sumber daya alam yang dimiliki pulau ini.

Faktanya, minimnya infrastruktur maupun akses penyediaan transportasi justru terjadi hampir di empat provinsi di Kalimantan. Di Kaltim misalnya, Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Kaltim terpaksa menutup jadwal tetap kunjungan ke beberapa daerah wisata di pedalaman lebih enam bulan terakhir, sejak Juli 2008. Penyebabnya hanya karena tidak ada penerbangan perintis ke daerah itu lagi.

Perjalanan wisata yang ditutup itu adalah ke permukiman masyarakat Dayak di Long Bawan dan Long Apung di Kabupaten Malinau. Juga lokasi pelestarian anggrek hitam di Kersik Luwai, Kabupaten Kutai Barat.

”Kalimantan itu dikenal di Eropa dan Amerika, tetapi karena penyediaan transportasi yang tidak memadai, sulit memasarkan pariwisata di daerah ini,” kata Ketua Asita Kaltim Joko Purwanto.

Harus diakui, meski sama-sama berada di satu pulau, Borneo, penyediaan infrastruktur dan transportasi di Sarawak, Brunei Darussalam, dan Sabah jauh lebih maju. Melihat bandara yang ada di negara lain di Borneo, ungkap Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang selaku Koordinator Forum Kerja Sama Revitalisasi dan Percepatan Pembangunan Regional Kalimantan (FKRP2RK) di Palangkaraya, beberapa waktu lalu, ia mengaku ingin rasanya menangis.

”Saya sedih, tetapi tidak akan menangis. Jujur saya iri, tapi tidak dengki. Saya pasti sakit hati, tapi tidak akan bersungut-sungut. (Hal ini) karena empat provinsi di Kalimantan sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia yang harus terus diperjuangkan.” katanya.

Di Kinibalu maupun Kuching, kondisi bandara lebih bagus. Sementara empat bandara utama di Kalimantan, yakni Bandara Sepinggan (Balikpapan), Syamsudin Noor (Banjarmasin), Supadio (Pontianak), dan Tjilik Riwut (Palangkaraya), tidak bisa dibandingkan dengan dua bandara tersebut. Bahkan, sampai saat ini belum ada penerbangan langsung yang menghubungkan empat bandara utama di empat provinsi tersebut.

Ini suatu ironi! Meski sumber daya alam yang dimiliki Kalimantan begitu luar biasa, infrastrukturnya justru jauh tertinggal. Yang ada malah harus terbang ke Jakarta dulu. Konsekuensinya adalah biaya perjalanan jadi tinggi.

”Kondisi Kalimantan tidak akan seperti ini kalau ada perhatian pemerintah,” ujar Teras A Narang.

Prihatin saja, ungkap Teras, tidak cukup. Perlu adanya perjuangan membangun infrastruktur yang masih jauh tertinggal tersebut. Penyediaan jalan, listrik, pendidikan, bahkan penerbangan hingga ke pedalaman masih belum memadai.

Tanpa ada revitalisasi dan percepatan pembangunan, Kalimantan sangat sulit maju. Untuk penyediaan transportasi udara yang berkelanjutan, misalnya, pemimpin daerah di Kalimantan mestinya duduk satu meja untuk membicarakan pengembangan penerbangan regional. Sebab, pengembangan transportasi udara regional Kalimantan dimungkinkan karena didukung 28 bandara yang layak.

Setiap provinsi setidaknya ada satu bandara yang menjadi pusat penyebaran dan bisa didarati pesawat Boeing 737. Bahkan Bandara Supadio, Sepinggan, dan Juwata di Tarakan (Kaltim) sudah berstatus bandara internasional.

Bagi Kalimantan, penerbangan amat dibutuhkan. Sebab, sulit bila hanya mengandalkan jalan darat. ”Penerbangan itu mendorong atau berdampak 3,5 kali lipat kemajuannya di bidang lain,” kata Budhi M Suyitno Budhi, Direktur Jenderal Perhubungan Udara, Departemen Perhubungan.

Data menunjukkan, jumlah penumpang pesawat terbang dalam tiga tahun terakhir terus meningkat. Total jumlah penumpang pesawat terbang tahun 2006 mencapai 6,4 juta penumpang. Pada tahun 2007, jumlahnya meningkat sekitar 6,6 juta orang dan tahun 2008 naik lagi menjadi 6,8 juta penumpang.

Sepinggan yang dibangun tahun 1992, kata Risman Torry, Manajer Personalia dan Umum PT Angkasa Pura I Sepinggan, menjadi bandara tersibuk di Kalimantan. Jumlah penumpangnya melampaui perkiraan semula yang hanya 1,5 juta penumpang tahun 2004, kini mencapai 3,5 juta orang per tahun.

Kondisi yang sama, kata Kepala Bidang Fisik dan Prasarana Perencanaan Pembangunan Kalbar Rusnawir Hamid, dialami Bandara Supadio. Jumlah penumpang yang diperkirakan tahun 2008 mencapai 911.125 orang ternyata terlampaui empat tahun lalu, yakni 921.448 orang pada tahun 2004.

Peningkatan itu justru terjadi saat arus penerbangan di Kalimantan menurun. Tahun 2006, ada 99.224 penerbangan atau turun 12.328 penerbangan karena tahun 2007 hanya 86.924 penerbangan, dan tahun 2008 menjadi 75.845 penerbangan. Apabila penerbangan regional dibangun dengan serius, dipastikan Kalimantan semakin maju.(BRO/WHY/RYO/AIK)


sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/06/03411655/membuka.penerbangan.mendorong.pertumbuhan

Penerbangan Perintis: Gantungan Hidup Masyarakat Pedalaman

Oleh M SYAIFULLAH dan C WAHYU HARYO PS

Orang yang bertemu pertama kali dengan Selutan Tadem, Camat Krayan Selatan di Nunukan, Kalimantan Timur, pasti akan menilainya buruk. Betapa tidak, selama 25 hari—sejak 17 Januari 2009—ia meninggalkan warganya yang tinggal jauh di utara Kaltim.

Orang baru memahaminya ketika sudah mengetahui di mana letak Kecamatan Krayan Selatan. Di Nunukan, ia bukan mangkir kerja. Di sana ia justru mengurusi berbagai keperluan warganya, menyelesaikan administrasi kependudukan, dan mengikuti rapat-rapat di kantor bupati. Ketiadaan penerbangan membuat Selutan kesulitan pulang.

”Saya pulang 10 Februari. Sebab, tanggal itu ada penerbangan,” katanya.

Krayan Selatan berpenduduk 2.500 jiwa. Mereka mendiami 25 kampung. Tidak ada jalan darat atau sungai dari Nunukan atau Malinau untuk mencapainya. Ke sana hanya bisa dicapai dengan naik pesawat berkapasitas belasan penumpang. ”Daerah kami lebih dekat Desa Miri, Sarawak, dan cukup jalan kaki,” tuturnya.

Krayan Selatan punya lima lapangan terbang dengan sebagian landasan pacu tanah dan rumput yang kurang dari 1.000 meter. Namun, sejak awal Januari 2009, tidak ada pesawat yang singgah kecuali milik Mission Aviation Fellowship (MAF). Pesawat jenis Cessna 206 milik maskapai misionaris Kristen itu hanya dua kali seminggu ke sana.

Krayan Selatan terakhir sempat disinggahi pesawat Cessna Grand Caravan milik Susi Air pada September-Desember 2008 ketika dikontrak Pemerintah Kabupaten Nunukan. Pemerintah ingin melanjutkan kontrak itu agar tidak cuma pesawat MAF yang ke sana. Namun, rencana itu belum bisa terlaksana karena DPRD belum menyetujui usul dana dari APBD setempat.

Selain susah bepergian, warga pun kesulitan memasok bahan pokok dari Nunukan atau Malinau. Memanfaatkan pesawat MAF tidak memungkinkan. Sebab, kapasitasnya cuma lima penumpang atau setara 450 kilogram barang.

”Apalagi, tarif sekali jalan dari Long Layu (Krayan Selatan) ke Tarakan sekitar Rp 1 juta per orang,” kata Selutan.

Dipasok dari Sarawak

Akibat kondisi inilah, warga setempat mengandalkan pasokan kebutuhan sehari-hari dari perbatasan Sarawak dan Sabah. Bukan hal aneh mereka banyak mempunyai ringgit Malaysia.

Orang Krayan Selatan tidak sendirian. Nasib sama juga dirasakan warga Long Ampung, Data Dian, Long Rungan, Long Padi, Binuang, dan Long Bawan di Malinau dan Nunukan. Hingga kini, cuma pesawat dan atau perahu yang bisa menjangkau mereka.

David, warga Kuala Kurun, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, penumpang Aviastar yang ditemui belum lama ini, mengatakan, penerbangan perintis rute ini sudah setahun terakhir terhenti dan baru beroperasi kembali pada Februari. Ketiadaan ini terjadi karena penerbangan perintis tahun 2008 tidak terealisasi. Sebab, setelah lelang penerbangan perintis, tidak ada maskapai yang berminat menerbangi rute perintis di Kalteng.

Tahun 2009, pemerintah menyediakan penerbangan perintis untuk sembilan rute ke pedalaman Kalteng, yang menghubungkan 12 kota. Namun, jumlah maskapai yang akan menerbangi belum ditentukan karena masih proses lelang.

Warga yang ingin bepergian secara cepat harus ke Kuala Kurun walaupun harga tiketnya Rp 226.000 atau lebih mahal Rp 116.000 daripada angkutan darat, yakni Rp 110.000. Ikut penerbangan ini menjadi pilihan yang tepat. Sebab, kondisi jalan banyak yang rusak parah bila melalui jalan darat. Sebagian bahkan berwujud kubangan lumpur sehingga cukup menyiksa dan melelahkan karena perlu waktu lebih lama.

Saat naik penerbangan pesawat Aviastar yang menerbangi rute Palangkaraya-Kuala Kurun, awal Februari lalu, memang lengang penumpang. Hal itu dikarenakan rute ini baru saja kembali dibuka.

Sebaliknya, meski baru mendahului sekitar dua minggu sebelumnya, pembukaan kembali rute Palangkaraya-Puruk Cahu di Kabupaten Murung Raya justru ramai. Hampir tiap hari tiket pesawat habis dipesan. Ramainya penumpang Aviastar rute Palangkaraya-Puruk Cahu, kata Presiden Direktur PT Aviastar Mandiri Bayu Sutanto, karena didominasi pejabat dan kalangan pengusaha, terutama pengusaha tambang.

Terkait masih sepinya penumpang rute Palangkaraya-Kuala Kurun ini, David berharap jadwal penerbangan rute tersebut jangan hanya Rabu dan Jumat, tetapi kalau bisa juga Sabtu, Minggu, atau Senin. ”Ini untuk mengantisipasi kebutuhan warga yang ada urusan dinas atau bisnis, yang kebanyakan dilakukan pada hari Senin,” katanya.

Banyaknya penumpang moda transportasi udara ini ternyata juga diharapkan para sopir taksi ataupun tukang ojek. Bandara Kuala Kurun, misalnya, menjadi tempat mencari rezeki baru para tukang ojek sejak adanya penerbangan kembali pada awal Februari 2009.

Karti, tukang ojek di Kuala Kurun, misalnya, mengenakan tarif Rp 25.000 untuk mengantar penumpang ke kota. ”Karena penerbangan aktif lagi, saya bisa lagi antar-jemput penumpang ke sini,” katanya.

Darlan, sopir taksi Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya, bahkan berharap hal ini akan membawa tambahan penumpang. Sebab, ramai sepinya penerbangan berpengaruh juga terhadap usaha para sopir taksi bandara.

Di Bandara Tjilik Riwut dengan empat kali penerbangan rute Jakarta-Palangkaraya dan Palangkaraya-Surabaya, taksi yang ada baru 25 taksi. ”Per hari kami cuma menjalankan satu rit. Uang yang disetor Rp 50.000 per hari,” katanya.

Hidupnya kembali penerbangan perintis memang menjadi harapan warga Kalimantan. Sebab, hal ini akan berdampak makin banyak penerbangan reguler ke Kalimantan.

Seandainya nanti, kata Vice President Network Management Garuda Indonesia Risnandi, jumlah penumpang yang terkumpul di Bandara Tjilik Riwut meningkat seiring beroperasinya kembali penerbangan perintis dari kabupaten-kabupaten di Kalteng, tentu Garuda akan menambah penerbangan ke Palangkaraya dari satu kali sehari menjadi dua kali sehari. (BRO/RYO/AIK)
sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/06/0342168/gantungan.hidup.masyarakat.pedalaman

Mengapa Ramai-ramai Membangun

Oleh AMBROSIUS HARTO dan C WAHYU HARYO PS

Pembangunan Bandar Udara Sultan Kutai Berjaya di Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, yang mangkrak sejak 2006, akhirnya dihentikan. Keputusan tegas ini diambil Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak, hanya lima hari setelah ia dilantik pada 17 Desember 2008.

Ide pembangunan Bandara Sultan Kutai Berjaya itu datang dari Syaukani HR, mantan Bupati Kutai Kartanegara. Sejak tahun 2003, lahan seluas 1.300 hektar telah disiapkan. Dana miliaran rupiah pun telah dikucurkan. Siapa sangka, proyek ambisius itu terhenti akibat terjegal kasus korupsi.

Awang melihat persoalan ini secara realistis. Sebab, di Samarinda—hanya 40 kilometer dari Loa Kulu—pada saat bersamaan sedang dibangun pengembangan Bandara Samarinda Baru di Kelurahan Sungai Siring, Kecamatan Samarinda Utara.

Bagaimana mungkin dalam radius 40 km ada dua bandara dibangun bersamaan? Itulah gambaran ambisi pemerintah daerah di era otonomi. Mereka sepertinya berlomba-lomba membangun bandara tanpa memikirkan implikasi dan persyaratan ketat jika sebuah bandara beroperasi. Kemegahan saja yang terpikir.

Getolnya keinginan membangun bandara baru juga terjadi di Kalimantan Barat (Kalbar). Pemerintah Kota Singkawang bahkan berambisi membangun bandara internasional. Padahal, Singkawang hanya berjarak 145 km dari Bandara Internasional Supadio, Pontianak, dan dapat ditempuh mobil hanya dalam 2,5 jam.

Ambisi ini terkesan mengada-ada. Mengapa tak memanfaatkan Supadio? Toh, perjalanan antardua kota itu sangat lengang? Bila menyimak Pasal 10 Rancangan Peraturan Presiden tentang Rencana Tata Ruang Pulau Kalimantan pun dapat dilihat adanya rencana jalan tol Pontianak-Singkawang. Artinya, akan ada infrastruktur jalan yang mumpuni antardua kota tersebut.

Wali Kota Singkawang Hasan Karman boleh beralasan bahwa Singkawang punya aset wisata yang luar biasa: pantai, bukit, air terjun, danau, serta tempat-tempat wisata religius. Persoalannya, ketika peristiwa budaya seperti Cap Go Meh hanya berlangsung satu kali dalam setahun, akankah ada permintaan yang berkelanjutan terhadap sebuah rute penerbangan?

Belum tuntas perdebatan mengenai dibutuhkannya bandara di Singkawang, sudah muncul ide membangun bandara baru di Kabupaten Sintang, yang kali ini berjarak 395 kilometer dari Pontianak. Rencana pembangunan bandara baru ini begitu mencengangkan. Sebab, Sintang sebenarnya sudah mempunyai bandara bernama Susilo di Sungai Durian. Delapan tahun lalu, bandara itu masih didarati pesawat kecil berkapasitas sembilan orang.

Namun, kini bandara itu tak lagi disinggahi satu penerbangan pun. Paling-paling di sore hari, anak-anak ramai bermain layangan di landasan pacu bandara. Wakil Bupati Sintang Djarot Winarno ngotot bandara baru harus dibangun agar mampu didarati pesawat yang lebih besar untuk menarik minat maskapai mendarat di sana.

Pemerintah Kabupaten Sintang, juga di Kalimantan Barat, pun setali tiga uang. Tahun ini, di Sungai Tebelian, mereka berniat mulai merealisasikan bandara baru itu.

Bahkan, Pemerintah Kabupaten Sintang menyediakan lahan dan mengalokasikan dana Rp 5 miliar pada tahun anggaran 2009 ini. Sementara dana pembangunannya akan dicarikan dari pemerintah provinsi dan pemerintah pusat.

Sebenarnya, apa masalahnya dengan bandara lama, Bandara Susilo? Dengan panjang landasan pacu 1.300 meter dan lebar 30 meter pun, dua tahun lalu Kompas mampu mendarat di Sintang menggunakan pesawat carteran jenis CN-235.

Pengumpul dan pengumpan

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada pemerintah daerah yang menyisihkan sebagian anggaran untuk mengembangkan bandara, sebenarnya harus dipahami dulu teori bandara pengumpul dan pengumpan atau hub and spoke.

Konektivitas penerbangan dengan pola penataan bandara ”pengumpul dan pengumpan” ini telah digunakan di Amerika Serikat sejak awal 1980-an. Sistem ini muncul akibat pemberlakuan Airline Deregulation Acts 1978, yang mendorong menjamurnya maskapai dan bandara di berbagai wilayah di Amerika.

Dengan pola ini, pemerintah daerah maupun pemerintah pusat tidak perlu menghamburkan anggaran untuk memperbaiki atau membuat bandara baru. Tak perlu memperpanjang landasan pacu hingga dua kilometer atau lebih.

Inilah yang menjadi dasar bagi produsen untuk memproduksi pesawat dengan jenis dan ukuran berbeda. Ada pesawat berjenis jet, ada pula pesawat berjenis propeller atau baling-baling. Ada pesawat berkapasitas 9-10 orang, 50-60 orang, 140-160 orang, hingga lebih dari 200 orang.

Ketika pola ”pengumpul dan pengumpan” ini dipahami, cukup misalnya, Bandara Rahadi Oesman di Ketapang didarati pesawat berkapasitas 60 orang, lalu terbang ke Supadio untuk kemudian diangkut menggunakan pesawat berkapasitas 140-160 orang menuju Jakarta.

Mungkin kini hal terbaik adalah menyelesaikan dulu seluruh proyek peningkatan kapasitas bandara di Kalimantan. Lalu, memilah-milah lagi mana yang perlu ditingkatkan di masa mendatang. Ini penting dalam upaya menghemat ratusan miliar hingga triliunan rupiah yang dapat dialihkan untuk membangun infrastruktur lainnya.

Tahun 2009 ini, misalnya, pemerintah menambah panjang landasan pacu Bandara Kalimarau di Kabupaten Berau, Kaltim, dari 1.850 meter menjadi 2.250 meter. Di Bandara Nunukan, juga di Kaltim, landasan pacu sepanjang 1.100 meter pun diperlebar dari 23 meter menjadi 30 meter. Adapun untuk mobilitas warga di perbatasan, pemerintah juga menambah panjang landasan Bandara Yuvai Semaring, Long Bawan, dari 900 meter menjadi 1.200 meter dengan dana Rp 3 miliar.

Persoalannya, lagi-lagi, pada era otonomi daerah ini pemerintah pusat tak berhak menetapkan jalur penerbangan begitu saja. Daerah mempunyai otoritas menetapkan sendiri jalurnya. Daerah punya kepentingan, keinginan, dan harapan terkait transportasi udara.

Kini, tinggal bagaimana masing-masing pihak mampu duduk bersama dan dengan kepala dingin memutuskan yang terbaik. Pembangunan atau pengembangan bandara di kota-kota di Kalimantan memang mutlak sebab pulau ini sangat besar. Luas empat provinsi yang ada di pulau ini saja lebih tiga kali luas pulau Jawa.

Hanya saja, perencanaannya harus matang sehingga pembangunannya sesuai kebutuhan. Fakta yang terjadi, masih banyak pengelolaan bandara di Indonesia—bahkan termasuk di Kalimantan sendiri—yang terus merugi.

”Jujur saja, pengelolaan bandara kita banyak yang asal-asalan. Apa adanya,” kata Dirjen Perhubungan Udara Budi M Suyitno pada Seminar Penerbangan Regional Kalimantan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, awal Februari lalu.

Pengembangan bandara sekarang harus memperhitungkan aspek bisnis. Lihat saja Bandara Changi di Singapura atau Bandara Dubai yang setiap tahun didatangi puluhan juta penumpang. Padahal, jumlah penduduk mereka justru lebih kecil daripada penduduk Kalimantan. Kalau terus merugi, buat apa membangun bandara? Bukankan justru menjadi beban daerah itu sendiri! (FUL/RYO/CAS/AIK)
sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/06/03401835/mengapa.ramai-ramai.membangun

Operasional Pesawat Terbang: Tidak Seperti Mengelola Opelet

Akhirnya pesawat jenis Britten Norman 2A milik maskapai PT Dirgantara Air Service yang dinanti itu tiba di Bandara Yuvai Semaring, Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, Minggu, 7 September 2008. Namun, bukannya bergegas naik ke pesawat, puluhan warga itu justru menyandera pesawat.

Hari itu adalah puncak kemarahan warga Krayan kepada PT Dirgantara Air Service (DAS). Selama tujuh bulan, PT DAS mangkir terbang ke Krayan. Padahal, penerbangan tersebut mendapat subsidi dana dari pemerintah.

Sesuai kontrak, PT DAS seharusnya melayani rute penerbangan Bandara Nunukan-Yuvai Semaring, Long Bawan, Kecamatan Krayan, Mei-Desember 2008, memakai pesawat Cassa-212. Namun, sejak Januari hingga Juli 2008, pesawat DAS berhenti beroperasi karena masalah armada dan keuangan.

Tiadanya penerbangan itu telah menyengsarakan warga Krayan. Selama ini pesawat itu menjadi satu-satunya jembatan pembuka isolasi mereka ke dunia luar. Harga kebutuhan pokok di Krayan pun menjadi mahal dan langka. Harga gula Rp 25.000 per kilogram, solar dan bensin hingga Rp 30.000 per liter.

Kemarahan tak hanya diluapkan warga Krayan yang ada di kampung. Terhentinya penerbangan itu juga menyebabkan ratusan warga asal Krayan yang sedang berada di Nunukan tidak bisa pulang. Pada hari yang sama, mereka melampiaskan kekesalan dengan merusak Bandara Nunukan.

Bagi sebagian masyarakat pedalaman Kalimantan, penerbangan merupakan urat nadi transportasi. Sebab, pelayaran sungai sudah tidak menjadi andalan lagi. Saat musim hujan, arus terlalu liar dan saat kemarau menjadi dangkal. Sementara itu, jalan darat masih sangat terbatas.

Namun, menghadirkan rute penerbangan ke daerah-daerah pedalaman itu tak gampang. Lebih susah lagi mempertahankan agar maskapai yang sudah mau merintis rute penerbangan ke pedalaman itu tetap beroperasi.

Di sisi lain, tak semua pemerintah daerah mau dan mampu membeli pesawat seperti Pemerintah Kabupaten Merauke meski kebutuhan terhadap penerbangan kian dirasa penting untuk membuka sekat isolasi. Pemerintah Kabupaten Merauke memang selangkah lebih maju ketimbang pemerintah daerah lainnya. Menyadari letak geografisnya yang sulit dijangkau, mereka membeli tiga pesawat terbang. Salah satunya, pesawat Boeing 737-300 yang diberi nama Aoba dibeli seharga Rp 79,5 miliar.

Pesawat itu tidak ditangani sendiri, melainkan ”dititipkan” ke Merpati Nusantara Airlines. Sebab, Pemerintah Kabupaten Merauke melihat strategi bisnis jangka panjang penggunaan transportasi ini. Selain itu, tentu saja terkait penguasaan teknik penerbangan dan kepatuhan terhadap regulasi internasional.

Mendatangkan penerbangan ternyata memang tidak mudah. Yang menjadi persoalan, bagaimana maskapai tetap beroperasi tanpa saling merugikan. ”Salah satu caranya dengan menjalin kerja sama operasi (KSO) antara pemerintah daerah dan maskapai tertentu,” kata Direktur Utama Merpati Bambang Bhakti.

Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur misalnya, memilih KSO bagi hasil dengan maskapai Merpati. Caranya, mereka menginvestasikan Rp 25 miliar untuk membantu perbaikan pesawat Merpati sehingga bisa melayani rute Sampit-Jakarta selama tiga tahun. Selain bagi hasil, pola lainnya berupa subsidi. Dana Subsidi itu oleh pemerintah setempat untuk memotong harga tiket hingga 50 persen.

”Tiada yang dirugikan dalam KSO. Itu harus dipastikan sebelum maskapai dan pemerintah daerah membuka rute baru,” kata Bambang Bhakti.

Pola KSO sepertinya patut dilirik, sebagaimana yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Merauke dan Kotawaringin Timur untuk menghadirkan penerbangan berkelanjutan. Bagi maskapai seperti Merpati, KSO merupakan jalan untuk menerbangkan kembali pesawat-pesawat yang berada di hanggarnya.

”Pada Periode awal 1990-an, Merpati mempunyai 98 pesawat, namun kini tinggal 20-an pesawat. Tentu masih ada beberapa pesawat di hanggar yang membutuhkan perbaikan supaya dapat terbang kembali,” katanya.

Ada banyak kisah di balik limbungnya penerbangan yang dikelola daerah akibat kesalahan manajemen. Di Timika, Provinsi Papua, pesawat jenis Pilatus Porter yang dibeli pemerintah daerah setempat seharga Rp 25 miliar sempat mangkrak berbulan-bulan.

Pengoperasian pesawat itu akhirnya dititipkan ke Association Mission Aviation (AMA). Harapannya, AMA sebagai maskapai yang telah berpengalaman dapat memberdayakan pesawat itu untuk melayani penerbangan ke pelosok Timika.

Pemprov Kaltim juga memiliki pengalaman serupa. Pada tahun 2005, mereka membeli dua pesawat Airvan GA8 untuk melayani rute Samarinda-Long Ampung dan Samarinda-Datah Dawai. Dua pesawat itu merupakan bagian dari delapan pesawat Airvan yang dibeli Kaltim Rp 27,5 miliar.

Mungkin bagi Kaltim dengan APBD sekitar Rp 6 triliun dana pembelian Airvan tak berarti banyak. Yang menjadi masalah, kepemilikan pesawat Airvan ternyata tak menguntungkan Pemprov Kaltim. Karena itu, mereka kini berniat menghibahkan semua Airvan untuk Pemkab Kutai Barat, Malinau, dan Nunukan.

Mengelola pesawat memang tak semudah mengelola opelet. Jangan karena punya uang, lalu jorjoran membeli pesawat, te- tapi kemudian membiarkannya mangkrak.(RYO/BRO/AIK/WHY/CAS/FUL)


sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/06/03391130/tidak.seperti.mengelola.opelet

Saatnya Membayar Utang kepada Kalimantan

”Saya tidak akan menangis. Jujur saya iri, tapi tidak dengki. Saya pasti sakit hati, tapi saya tidak akan bersungut-sungut. (Hal ini) karena empat (provinsi di) Kalimantan sebagai bagian NKRI harus terus diperjuangkan.”

Ungkapan liris mirip puisi yang pedih itu disampaikan Agustin Teras Narang, Gubernur Kalimantan Tengah, saat membuka diskusi penerbangan yang diadakan Kompas bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah di Palangkaraya, Senin (2/2).

Setelah berakhirnya era kolonialisasi Belanda di Indonesia dan Inggris di Malaysia, Pulau Borneo—sebutan lain untuk Kalimantan—yang dibelah oleh perjanjian dua negara penjajah Belanda dan Inggris pada 20 Juni 1891 diwariskan kepada bekas anak jajahannya masing-masing. Indonesia mewarisi sekitar dua pertiga tanah Borneo dan sisanya terbagi antara Malaysia dan Brunei.

”Dari tiga negara yang berada di pulau ini, penduduk di wilayah Indonesia paling miskin. Saya ke Kuching, melihat bandaranya sangat megah. Tak bisa dibandingkan dengan empat provinsi di Kalimantan,” kata Teras Narang, yang baru saja melepaskan jabatannya sebagai Koordinator Forum Kerja Sama Revitalisasi dan Percepatan Pembangunan Regional Kalimantan (FKRP2RK) pada 2 Maret.

Teras Narang menyoroti minimnya infrastruktur fisik di Kalimantan, dari defisit listrik, jalan darat dari Kaltim hingga Kalbar belum terhubung. Paling memprihatinkan, tidak ada penerbangan langsung antarprovinsi. ”Kalau saya mau ke Pontianak atau ke Balikpapan harus terbang dulu ke Jakarta. Ini biaya tinggi,” katanya.

Kemiskinan infrastruktur Kalimantan itu kontras dengan kekayaan sumber daya alamnya. ”Sebanyak 94 persen kebutuhan batu bara Indonesia disuplai Kaltim dan Kalsel, tapi kami kekurangan listrik,” kata Teras Narang.

Jika kontribusi perekonomian Kalimantan terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional tahun 2008, yakni sekitar Rp 321,9 triliun, dapat digunakan sepenuhnya untuk pembangunan di regional Kalimantan, termasuk penerbangan, tentunya kesejahteraan masyarakat yang ada saat ini akan jauh lebih baik.

”Sampai kapan Kalimantan hanya menjadi daerah penyuplai?" katanya.

Daerah modal

Jika Soekarno pernah bercita-cita menjadikan Palangkaraya sebagai ibu kota Indonesia Raya, rezim Orde Baru hanya menempatkan Kalimantan sebagai daerah modal. Kebijakan ekonomi sentralistik telah menempatkan Kalimantan menjadi daerah penyuplai untuk menggerakkan ekonomi Indonesia yang berpusat di Jawa. Namun, pembangunan Kalimantan sendiri justru dilupakan.

Infrastruktur jalan dibangun hanya seadanya, yang penting truk kayu bisa lewat. Pelabuhan-pelabuhan kecil dibangun, tetapi hanya untuk melewatkan kayu-kayu itu ke luar negeri. Adapun jalur penerbangan hanya untuk menghubungkan tiap wilayah ke Jakarta, dan tidak pernah didesain untuk menghubungkan antarprovinsi di Kalimantan.

Jatuhnya rezim Orde Baru membuka peluang otonomi daerah, tetapi pembalakan hutan justru makin marak. Industri ekstraksi penambangan juga makin merajalela. Di atas semua itu, rakyat Kalimantan tak juga bertambah makmur. Ekonomi Kalimantan masih elitis, belum menyentuh level terbawah.

Direktur Jenderal Perhubungan Udara Budhi M Suyitno mengatakan, penerbangan perintis seharusnya menjadi pionir untuk membuka daerah terpencil dan pedalaman Kalimantan. ”Penerbangan diharapkan bisa mendorong perdagangan dan memajukan ekonomi,” katanya.

Namun, penerbangan perintis itu sejauh ini ternyata lebih banyak dimanfaatkan pejabat untuk berpelesir ke luar daerah. ”Yang memanfaatkan penerbangan dari daerah seperti Papua dan Kalimantan kebanyakan pejabat yang hendak ke Jakarta,” kata Bayu Sutanto, Presiden Direktur Aviastar Mandiri.

Pembangunan infrastruktur di Kalimantan, termasuk untuk penerbangan, adalah utang negara kepada penduduk pulau ini. Lebih penting lagi adalah bagaimana membangun infrastruktur ini agar tepat sasaran.

Menata Kalimantan ke depan mestinya dimulai dengan mengubah perspektif pembangunan, yaitu dari pembangunan yang bertumpu pada ekonomi ekstraktif menjadi ekonomi berbasis rakyat. Jika tidak, burung-burung besi yang nantinya akan memenuhi udara Kalimantan hanya akan menjadi tontonan masyarakat tempatan, tanpa mereka mampu menaikinya....(CAS/BRO/WHY/FUL/RYO/AIK)

sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/06/03442052/saatnya.membayar.utang.kepada.kalimantan