Oleh M SYAIFULLAH dan C ANTO SAPTOWALYONO
Rombongan wisatawan itu batal berkunjung ke Kalimantan Tengah (Kalteng) karena tidak ada penerbangan dari Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim), ke Palangkaraya, ibu kota Kalteng. ”Kunjungan wisatawan ke Kalimantan bisa lebih ramai kalau ada penerbangan langsung dari Bali sebagai tujuan wisatawan asing dari berbagai mancanegara ke Indonesia,” kata Lorna.
Bagi Lorna, kondisi keterbatasan transportasi seperti itu tidak bisa dipahami. Sebab, tidak sesuai dengan kondisi kekayaan sumber daya alam yang dimiliki pulau ini.
Faktanya, minimnya infrastruktur maupun akses penyediaan transportasi justru terjadi hampir di empat provinsi di Kalimantan. Di Kaltim misalnya, Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Kaltim terpaksa menutup jadwal tetap kunjungan ke beberapa daerah wisata di pedalaman lebih enam bulan terakhir, sejak Juli 2008. Penyebabnya hanya karena tidak ada penerbangan perintis ke daerah itu lagi.
Perjalanan wisata yang ditutup itu adalah ke permukiman masyarakat Dayak di Long Bawan dan Long Apung di Kabupaten Malinau. Juga lokasi pelestarian anggrek hitam di Kersik Luwai, Kabupaten Kutai Barat.
”Kalimantan itu dikenal di Eropa dan Amerika, tetapi karena penyediaan transportasi yang tidak memadai, sulit memasarkan pariwisata di daerah ini,” kata Ketua Asita Kaltim Joko Purwanto.
Harus diakui, meski sama-sama berada di satu pulau, Borneo, penyediaan infrastruktur dan transportasi di Sarawak, Brunei Darussalam, dan Sabah jauh lebih maju. Melihat bandara yang ada di negara lain di Borneo, ungkap Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang selaku Koordinator Forum Kerja Sama Revitalisasi dan Percepatan Pembangunan Regional Kalimantan (FKRP2RK) di Palangkaraya, beberapa waktu lalu, ia mengaku ingin rasanya menangis.
”Saya sedih, tetapi tidak akan menangis. Jujur saya iri, tapi tidak dengki. Saya pasti sakit hati, tapi tidak akan bersungut-sungut. (Hal ini) karena empat provinsi di Kalimantan sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia yang harus terus diperjuangkan.” katanya.
Di Kinibalu maupun Kuching, kondisi bandara lebih bagus. Sementara empat bandara utama di Kalimantan, yakni Bandara Sepinggan (Balikpapan), Syamsudin Noor (Banjarmasin), Supadio (Pontianak), dan Tjilik Riwut (Palangkaraya), tidak bisa dibandingkan dengan dua bandara tersebut. Bahkan, sampai saat ini belum ada penerbangan langsung yang menghubungkan empat bandara utama di empat provinsi tersebut.
Ini suatu ironi! Meski sumber daya alam yang dimiliki Kalimantan begitu luar biasa, infrastrukturnya justru jauh tertinggal. Yang ada malah harus terbang ke Jakarta dulu. Konsekuensinya adalah biaya perjalanan jadi tinggi.
”Kondisi Kalimantan tidak akan seperti ini kalau ada perhatian pemerintah,” ujar Teras A Narang.
Prihatin saja, ungkap Teras, tidak cukup. Perlu adanya perjuangan membangun infrastruktur yang masih jauh tertinggal tersebut. Penyediaan jalan, listrik, pendidikan, bahkan penerbangan hingga ke pedalaman masih belum memadai.
Tanpa ada revitalisasi dan percepatan pembangunan, Kalimantan sangat sulit maju. Untuk penyediaan transportasi udara yang berkelanjutan, misalnya, pemimpin daerah di Kalimantan mestinya duduk satu meja untuk membicarakan pengembangan penerbangan regional. Sebab, pengembangan transportasi udara regional Kalimantan dimungkinkan karena didukung 28 bandara yang layak.
Setiap provinsi setidaknya ada satu bandara yang menjadi pusat penyebaran dan bisa didarati pesawat Boeing 737. Bahkan Bandara Supadio, Sepinggan, dan Juwata di Tarakan (Kaltim) sudah berstatus bandara internasional.
Bagi Kalimantan, penerbangan amat dibutuhkan. Sebab, sulit bila hanya mengandalkan jalan darat. ”Penerbangan itu mendorong atau berdampak 3,5 kali lipat kemajuannya di bidang lain,” kata Budhi M Suyitno Budhi, Direktur Jenderal Perhubungan Udara, Departemen Perhubungan.
Data menunjukkan, jumlah penumpang pesawat terbang dalam tiga tahun terakhir terus meningkat. Total jumlah penumpang pesawat terbang tahun 2006 mencapai 6,4 juta penumpang. Pada tahun 2007, jumlahnya meningkat sekitar 6,6 juta orang dan tahun 2008 naik lagi menjadi 6,8 juta penumpang.
Sepinggan yang dibangun tahun 1992, kata Risman Torry, Manajer Personalia dan Umum PT Angkasa Pura I Sepinggan, menjadi bandara tersibuk di Kalimantan. Jumlah penumpangnya melampaui perkiraan semula yang hanya 1,5 juta penumpang tahun 2004, kini mencapai 3,5 juta orang per tahun.
Kondisi yang sama, kata Kepala Bidang Fisik dan Prasarana Perencanaan Pembangunan Kalbar Rusnawir Hamid, dialami Bandara Supadio. Jumlah penumpang yang diperkirakan tahun 2008 mencapai 911.125 orang ternyata terlampaui empat tahun lalu, yakni 921.448 orang pada tahun 2004.
Peningkatan itu justru terjadi saat arus penerbangan di Kalimantan menurun. Tahun 2006, ada 99.224 penerbangan atau turun 12.328 penerbangan karena tahun 2007 hanya 86.924 penerbangan, dan tahun 2008 menjadi 75.845 penerbangan. Apabila penerbangan regional dibangun dengan serius, dipastikan Kalimantan semakin maju.(BRO/WHY/RYO/AIK)
sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/06/03411655/membuka.penerbangan.mendorong.pertumbuhan