06 Maret 2009

Mengapa Ramai-ramai Membangun

Oleh AMBROSIUS HARTO dan C WAHYU HARYO PS

Pembangunan Bandar Udara Sultan Kutai Berjaya di Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, yang mangkrak sejak 2006, akhirnya dihentikan. Keputusan tegas ini diambil Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak, hanya lima hari setelah ia dilantik pada 17 Desember 2008.

Ide pembangunan Bandara Sultan Kutai Berjaya itu datang dari Syaukani HR, mantan Bupati Kutai Kartanegara. Sejak tahun 2003, lahan seluas 1.300 hektar telah disiapkan. Dana miliaran rupiah pun telah dikucurkan. Siapa sangka, proyek ambisius itu terhenti akibat terjegal kasus korupsi.

Awang melihat persoalan ini secara realistis. Sebab, di Samarinda—hanya 40 kilometer dari Loa Kulu—pada saat bersamaan sedang dibangun pengembangan Bandara Samarinda Baru di Kelurahan Sungai Siring, Kecamatan Samarinda Utara.

Bagaimana mungkin dalam radius 40 km ada dua bandara dibangun bersamaan? Itulah gambaran ambisi pemerintah daerah di era otonomi. Mereka sepertinya berlomba-lomba membangun bandara tanpa memikirkan implikasi dan persyaratan ketat jika sebuah bandara beroperasi. Kemegahan saja yang terpikir.

Getolnya keinginan membangun bandara baru juga terjadi di Kalimantan Barat (Kalbar). Pemerintah Kota Singkawang bahkan berambisi membangun bandara internasional. Padahal, Singkawang hanya berjarak 145 km dari Bandara Internasional Supadio, Pontianak, dan dapat ditempuh mobil hanya dalam 2,5 jam.

Ambisi ini terkesan mengada-ada. Mengapa tak memanfaatkan Supadio? Toh, perjalanan antardua kota itu sangat lengang? Bila menyimak Pasal 10 Rancangan Peraturan Presiden tentang Rencana Tata Ruang Pulau Kalimantan pun dapat dilihat adanya rencana jalan tol Pontianak-Singkawang. Artinya, akan ada infrastruktur jalan yang mumpuni antardua kota tersebut.

Wali Kota Singkawang Hasan Karman boleh beralasan bahwa Singkawang punya aset wisata yang luar biasa: pantai, bukit, air terjun, danau, serta tempat-tempat wisata religius. Persoalannya, ketika peristiwa budaya seperti Cap Go Meh hanya berlangsung satu kali dalam setahun, akankah ada permintaan yang berkelanjutan terhadap sebuah rute penerbangan?

Belum tuntas perdebatan mengenai dibutuhkannya bandara di Singkawang, sudah muncul ide membangun bandara baru di Kabupaten Sintang, yang kali ini berjarak 395 kilometer dari Pontianak. Rencana pembangunan bandara baru ini begitu mencengangkan. Sebab, Sintang sebenarnya sudah mempunyai bandara bernama Susilo di Sungai Durian. Delapan tahun lalu, bandara itu masih didarati pesawat kecil berkapasitas sembilan orang.

Namun, kini bandara itu tak lagi disinggahi satu penerbangan pun. Paling-paling di sore hari, anak-anak ramai bermain layangan di landasan pacu bandara. Wakil Bupati Sintang Djarot Winarno ngotot bandara baru harus dibangun agar mampu didarati pesawat yang lebih besar untuk menarik minat maskapai mendarat di sana.

Pemerintah Kabupaten Sintang, juga di Kalimantan Barat, pun setali tiga uang. Tahun ini, di Sungai Tebelian, mereka berniat mulai merealisasikan bandara baru itu.

Bahkan, Pemerintah Kabupaten Sintang menyediakan lahan dan mengalokasikan dana Rp 5 miliar pada tahun anggaran 2009 ini. Sementara dana pembangunannya akan dicarikan dari pemerintah provinsi dan pemerintah pusat.

Sebenarnya, apa masalahnya dengan bandara lama, Bandara Susilo? Dengan panjang landasan pacu 1.300 meter dan lebar 30 meter pun, dua tahun lalu Kompas mampu mendarat di Sintang menggunakan pesawat carteran jenis CN-235.

Pengumpul dan pengumpan

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada pemerintah daerah yang menyisihkan sebagian anggaran untuk mengembangkan bandara, sebenarnya harus dipahami dulu teori bandara pengumpul dan pengumpan atau hub and spoke.

Konektivitas penerbangan dengan pola penataan bandara ”pengumpul dan pengumpan” ini telah digunakan di Amerika Serikat sejak awal 1980-an. Sistem ini muncul akibat pemberlakuan Airline Deregulation Acts 1978, yang mendorong menjamurnya maskapai dan bandara di berbagai wilayah di Amerika.

Dengan pola ini, pemerintah daerah maupun pemerintah pusat tidak perlu menghamburkan anggaran untuk memperbaiki atau membuat bandara baru. Tak perlu memperpanjang landasan pacu hingga dua kilometer atau lebih.

Inilah yang menjadi dasar bagi produsen untuk memproduksi pesawat dengan jenis dan ukuran berbeda. Ada pesawat berjenis jet, ada pula pesawat berjenis propeller atau baling-baling. Ada pesawat berkapasitas 9-10 orang, 50-60 orang, 140-160 orang, hingga lebih dari 200 orang.

Ketika pola ”pengumpul dan pengumpan” ini dipahami, cukup misalnya, Bandara Rahadi Oesman di Ketapang didarati pesawat berkapasitas 60 orang, lalu terbang ke Supadio untuk kemudian diangkut menggunakan pesawat berkapasitas 140-160 orang menuju Jakarta.

Mungkin kini hal terbaik adalah menyelesaikan dulu seluruh proyek peningkatan kapasitas bandara di Kalimantan. Lalu, memilah-milah lagi mana yang perlu ditingkatkan di masa mendatang. Ini penting dalam upaya menghemat ratusan miliar hingga triliunan rupiah yang dapat dialihkan untuk membangun infrastruktur lainnya.

Tahun 2009 ini, misalnya, pemerintah menambah panjang landasan pacu Bandara Kalimarau di Kabupaten Berau, Kaltim, dari 1.850 meter menjadi 2.250 meter. Di Bandara Nunukan, juga di Kaltim, landasan pacu sepanjang 1.100 meter pun diperlebar dari 23 meter menjadi 30 meter. Adapun untuk mobilitas warga di perbatasan, pemerintah juga menambah panjang landasan Bandara Yuvai Semaring, Long Bawan, dari 900 meter menjadi 1.200 meter dengan dana Rp 3 miliar.

Persoalannya, lagi-lagi, pada era otonomi daerah ini pemerintah pusat tak berhak menetapkan jalur penerbangan begitu saja. Daerah mempunyai otoritas menetapkan sendiri jalurnya. Daerah punya kepentingan, keinginan, dan harapan terkait transportasi udara.

Kini, tinggal bagaimana masing-masing pihak mampu duduk bersama dan dengan kepala dingin memutuskan yang terbaik. Pembangunan atau pengembangan bandara di kota-kota di Kalimantan memang mutlak sebab pulau ini sangat besar. Luas empat provinsi yang ada di pulau ini saja lebih tiga kali luas pulau Jawa.

Hanya saja, perencanaannya harus matang sehingga pembangunannya sesuai kebutuhan. Fakta yang terjadi, masih banyak pengelolaan bandara di Indonesia—bahkan termasuk di Kalimantan sendiri—yang terus merugi.

”Jujur saja, pengelolaan bandara kita banyak yang asal-asalan. Apa adanya,” kata Dirjen Perhubungan Udara Budi M Suyitno pada Seminar Penerbangan Regional Kalimantan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, awal Februari lalu.

Pengembangan bandara sekarang harus memperhitungkan aspek bisnis. Lihat saja Bandara Changi di Singapura atau Bandara Dubai yang setiap tahun didatangi puluhan juta penumpang. Padahal, jumlah penduduk mereka justru lebih kecil daripada penduduk Kalimantan. Kalau terus merugi, buat apa membangun bandara? Bukankan justru menjadi beban daerah itu sendiri! (FUL/RYO/CAS/AIK)
sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/06/03401835/mengapa.ramai-ramai.membangun