06 Maret 2009

Operasional Pesawat Terbang: Tidak Seperti Mengelola Opelet

Akhirnya pesawat jenis Britten Norman 2A milik maskapai PT Dirgantara Air Service yang dinanti itu tiba di Bandara Yuvai Semaring, Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, Minggu, 7 September 2008. Namun, bukannya bergegas naik ke pesawat, puluhan warga itu justru menyandera pesawat.

Hari itu adalah puncak kemarahan warga Krayan kepada PT Dirgantara Air Service (DAS). Selama tujuh bulan, PT DAS mangkir terbang ke Krayan. Padahal, penerbangan tersebut mendapat subsidi dana dari pemerintah.

Sesuai kontrak, PT DAS seharusnya melayani rute penerbangan Bandara Nunukan-Yuvai Semaring, Long Bawan, Kecamatan Krayan, Mei-Desember 2008, memakai pesawat Cassa-212. Namun, sejak Januari hingga Juli 2008, pesawat DAS berhenti beroperasi karena masalah armada dan keuangan.

Tiadanya penerbangan itu telah menyengsarakan warga Krayan. Selama ini pesawat itu menjadi satu-satunya jembatan pembuka isolasi mereka ke dunia luar. Harga kebutuhan pokok di Krayan pun menjadi mahal dan langka. Harga gula Rp 25.000 per kilogram, solar dan bensin hingga Rp 30.000 per liter.

Kemarahan tak hanya diluapkan warga Krayan yang ada di kampung. Terhentinya penerbangan itu juga menyebabkan ratusan warga asal Krayan yang sedang berada di Nunukan tidak bisa pulang. Pada hari yang sama, mereka melampiaskan kekesalan dengan merusak Bandara Nunukan.

Bagi sebagian masyarakat pedalaman Kalimantan, penerbangan merupakan urat nadi transportasi. Sebab, pelayaran sungai sudah tidak menjadi andalan lagi. Saat musim hujan, arus terlalu liar dan saat kemarau menjadi dangkal. Sementara itu, jalan darat masih sangat terbatas.

Namun, menghadirkan rute penerbangan ke daerah-daerah pedalaman itu tak gampang. Lebih susah lagi mempertahankan agar maskapai yang sudah mau merintis rute penerbangan ke pedalaman itu tetap beroperasi.

Di sisi lain, tak semua pemerintah daerah mau dan mampu membeli pesawat seperti Pemerintah Kabupaten Merauke meski kebutuhan terhadap penerbangan kian dirasa penting untuk membuka sekat isolasi. Pemerintah Kabupaten Merauke memang selangkah lebih maju ketimbang pemerintah daerah lainnya. Menyadari letak geografisnya yang sulit dijangkau, mereka membeli tiga pesawat terbang. Salah satunya, pesawat Boeing 737-300 yang diberi nama Aoba dibeli seharga Rp 79,5 miliar.

Pesawat itu tidak ditangani sendiri, melainkan ”dititipkan” ke Merpati Nusantara Airlines. Sebab, Pemerintah Kabupaten Merauke melihat strategi bisnis jangka panjang penggunaan transportasi ini. Selain itu, tentu saja terkait penguasaan teknik penerbangan dan kepatuhan terhadap regulasi internasional.

Mendatangkan penerbangan ternyata memang tidak mudah. Yang menjadi persoalan, bagaimana maskapai tetap beroperasi tanpa saling merugikan. ”Salah satu caranya dengan menjalin kerja sama operasi (KSO) antara pemerintah daerah dan maskapai tertentu,” kata Direktur Utama Merpati Bambang Bhakti.

Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur misalnya, memilih KSO bagi hasil dengan maskapai Merpati. Caranya, mereka menginvestasikan Rp 25 miliar untuk membantu perbaikan pesawat Merpati sehingga bisa melayani rute Sampit-Jakarta selama tiga tahun. Selain bagi hasil, pola lainnya berupa subsidi. Dana Subsidi itu oleh pemerintah setempat untuk memotong harga tiket hingga 50 persen.

”Tiada yang dirugikan dalam KSO. Itu harus dipastikan sebelum maskapai dan pemerintah daerah membuka rute baru,” kata Bambang Bhakti.

Pola KSO sepertinya patut dilirik, sebagaimana yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Merauke dan Kotawaringin Timur untuk menghadirkan penerbangan berkelanjutan. Bagi maskapai seperti Merpati, KSO merupakan jalan untuk menerbangkan kembali pesawat-pesawat yang berada di hanggarnya.

”Pada Periode awal 1990-an, Merpati mempunyai 98 pesawat, namun kini tinggal 20-an pesawat. Tentu masih ada beberapa pesawat di hanggar yang membutuhkan perbaikan supaya dapat terbang kembali,” katanya.

Ada banyak kisah di balik limbungnya penerbangan yang dikelola daerah akibat kesalahan manajemen. Di Timika, Provinsi Papua, pesawat jenis Pilatus Porter yang dibeli pemerintah daerah setempat seharga Rp 25 miliar sempat mangkrak berbulan-bulan.

Pengoperasian pesawat itu akhirnya dititipkan ke Association Mission Aviation (AMA). Harapannya, AMA sebagai maskapai yang telah berpengalaman dapat memberdayakan pesawat itu untuk melayani penerbangan ke pelosok Timika.

Pemprov Kaltim juga memiliki pengalaman serupa. Pada tahun 2005, mereka membeli dua pesawat Airvan GA8 untuk melayani rute Samarinda-Long Ampung dan Samarinda-Datah Dawai. Dua pesawat itu merupakan bagian dari delapan pesawat Airvan yang dibeli Kaltim Rp 27,5 miliar.

Mungkin bagi Kaltim dengan APBD sekitar Rp 6 triliun dana pembelian Airvan tak berarti banyak. Yang menjadi masalah, kepemilikan pesawat Airvan ternyata tak menguntungkan Pemprov Kaltim. Karena itu, mereka kini berniat menghibahkan semua Airvan untuk Pemkab Kutai Barat, Malinau, dan Nunukan.

Mengelola pesawat memang tak semudah mengelola opelet. Jangan karena punya uang, lalu jorjoran membeli pesawat, te- tapi kemudian membiarkannya mangkrak.(RYO/BRO/AIK/WHY/CAS/FUL)


sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/06/03391130/tidak.seperti.mengelola.opelet