06 Maret 2009

Penerbangan Perintis: Gantungan Hidup Masyarakat Pedalaman

Oleh M SYAIFULLAH dan C WAHYU HARYO PS

Orang yang bertemu pertama kali dengan Selutan Tadem, Camat Krayan Selatan di Nunukan, Kalimantan Timur, pasti akan menilainya buruk. Betapa tidak, selama 25 hari—sejak 17 Januari 2009—ia meninggalkan warganya yang tinggal jauh di utara Kaltim.

Orang baru memahaminya ketika sudah mengetahui di mana letak Kecamatan Krayan Selatan. Di Nunukan, ia bukan mangkir kerja. Di sana ia justru mengurusi berbagai keperluan warganya, menyelesaikan administrasi kependudukan, dan mengikuti rapat-rapat di kantor bupati. Ketiadaan penerbangan membuat Selutan kesulitan pulang.

”Saya pulang 10 Februari. Sebab, tanggal itu ada penerbangan,” katanya.

Krayan Selatan berpenduduk 2.500 jiwa. Mereka mendiami 25 kampung. Tidak ada jalan darat atau sungai dari Nunukan atau Malinau untuk mencapainya. Ke sana hanya bisa dicapai dengan naik pesawat berkapasitas belasan penumpang. ”Daerah kami lebih dekat Desa Miri, Sarawak, dan cukup jalan kaki,” tuturnya.

Krayan Selatan punya lima lapangan terbang dengan sebagian landasan pacu tanah dan rumput yang kurang dari 1.000 meter. Namun, sejak awal Januari 2009, tidak ada pesawat yang singgah kecuali milik Mission Aviation Fellowship (MAF). Pesawat jenis Cessna 206 milik maskapai misionaris Kristen itu hanya dua kali seminggu ke sana.

Krayan Selatan terakhir sempat disinggahi pesawat Cessna Grand Caravan milik Susi Air pada September-Desember 2008 ketika dikontrak Pemerintah Kabupaten Nunukan. Pemerintah ingin melanjutkan kontrak itu agar tidak cuma pesawat MAF yang ke sana. Namun, rencana itu belum bisa terlaksana karena DPRD belum menyetujui usul dana dari APBD setempat.

Selain susah bepergian, warga pun kesulitan memasok bahan pokok dari Nunukan atau Malinau. Memanfaatkan pesawat MAF tidak memungkinkan. Sebab, kapasitasnya cuma lima penumpang atau setara 450 kilogram barang.

”Apalagi, tarif sekali jalan dari Long Layu (Krayan Selatan) ke Tarakan sekitar Rp 1 juta per orang,” kata Selutan.

Dipasok dari Sarawak

Akibat kondisi inilah, warga setempat mengandalkan pasokan kebutuhan sehari-hari dari perbatasan Sarawak dan Sabah. Bukan hal aneh mereka banyak mempunyai ringgit Malaysia.

Orang Krayan Selatan tidak sendirian. Nasib sama juga dirasakan warga Long Ampung, Data Dian, Long Rungan, Long Padi, Binuang, dan Long Bawan di Malinau dan Nunukan. Hingga kini, cuma pesawat dan atau perahu yang bisa menjangkau mereka.

David, warga Kuala Kurun, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, penumpang Aviastar yang ditemui belum lama ini, mengatakan, penerbangan perintis rute ini sudah setahun terakhir terhenti dan baru beroperasi kembali pada Februari. Ketiadaan ini terjadi karena penerbangan perintis tahun 2008 tidak terealisasi. Sebab, setelah lelang penerbangan perintis, tidak ada maskapai yang berminat menerbangi rute perintis di Kalteng.

Tahun 2009, pemerintah menyediakan penerbangan perintis untuk sembilan rute ke pedalaman Kalteng, yang menghubungkan 12 kota. Namun, jumlah maskapai yang akan menerbangi belum ditentukan karena masih proses lelang.

Warga yang ingin bepergian secara cepat harus ke Kuala Kurun walaupun harga tiketnya Rp 226.000 atau lebih mahal Rp 116.000 daripada angkutan darat, yakni Rp 110.000. Ikut penerbangan ini menjadi pilihan yang tepat. Sebab, kondisi jalan banyak yang rusak parah bila melalui jalan darat. Sebagian bahkan berwujud kubangan lumpur sehingga cukup menyiksa dan melelahkan karena perlu waktu lebih lama.

Saat naik penerbangan pesawat Aviastar yang menerbangi rute Palangkaraya-Kuala Kurun, awal Februari lalu, memang lengang penumpang. Hal itu dikarenakan rute ini baru saja kembali dibuka.

Sebaliknya, meski baru mendahului sekitar dua minggu sebelumnya, pembukaan kembali rute Palangkaraya-Puruk Cahu di Kabupaten Murung Raya justru ramai. Hampir tiap hari tiket pesawat habis dipesan. Ramainya penumpang Aviastar rute Palangkaraya-Puruk Cahu, kata Presiden Direktur PT Aviastar Mandiri Bayu Sutanto, karena didominasi pejabat dan kalangan pengusaha, terutama pengusaha tambang.

Terkait masih sepinya penumpang rute Palangkaraya-Kuala Kurun ini, David berharap jadwal penerbangan rute tersebut jangan hanya Rabu dan Jumat, tetapi kalau bisa juga Sabtu, Minggu, atau Senin. ”Ini untuk mengantisipasi kebutuhan warga yang ada urusan dinas atau bisnis, yang kebanyakan dilakukan pada hari Senin,” katanya.

Banyaknya penumpang moda transportasi udara ini ternyata juga diharapkan para sopir taksi ataupun tukang ojek. Bandara Kuala Kurun, misalnya, menjadi tempat mencari rezeki baru para tukang ojek sejak adanya penerbangan kembali pada awal Februari 2009.

Karti, tukang ojek di Kuala Kurun, misalnya, mengenakan tarif Rp 25.000 untuk mengantar penumpang ke kota. ”Karena penerbangan aktif lagi, saya bisa lagi antar-jemput penumpang ke sini,” katanya.

Darlan, sopir taksi Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya, bahkan berharap hal ini akan membawa tambahan penumpang. Sebab, ramai sepinya penerbangan berpengaruh juga terhadap usaha para sopir taksi bandara.

Di Bandara Tjilik Riwut dengan empat kali penerbangan rute Jakarta-Palangkaraya dan Palangkaraya-Surabaya, taksi yang ada baru 25 taksi. ”Per hari kami cuma menjalankan satu rit. Uang yang disetor Rp 50.000 per hari,” katanya.

Hidupnya kembali penerbangan perintis memang menjadi harapan warga Kalimantan. Sebab, hal ini akan berdampak makin banyak penerbangan reguler ke Kalimantan.

Seandainya nanti, kata Vice President Network Management Garuda Indonesia Risnandi, jumlah penumpang yang terkumpul di Bandara Tjilik Riwut meningkat seiring beroperasinya kembali penerbangan perintis dari kabupaten-kabupaten di Kalteng, tentu Garuda akan menambah penerbangan ke Palangkaraya dari satu kali sehari menjadi dua kali sehari. (BRO/RYO/AIK)
sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/06/0342168/gantungan.hidup.masyarakat.pedalaman