Ungkapan liris mirip puisi yang pedih itu disampaikan Agustin Teras Narang, Gubernur Kalimantan Tengah, saat membuka diskusi penerbangan yang diadakan
Setelah berakhirnya era kolonialisasi Belanda di Indonesia dan Inggris di Malaysia, Pulau Borneo—sebutan lain untuk Kalimantan—yang dibelah oleh perjanjian dua negara penjajah Belanda dan Inggris pada 20 Juni 1891 diwariskan kepada bekas anak jajahannya masing-masing. Indonesia mewarisi sekitar dua pertiga tanah Borneo dan sisanya terbagi antara Malaysia dan Brunei.
”Dari tiga negara yang berada di pulau ini, penduduk di wilayah Indonesia paling miskin. Saya ke Kuching, melihat bandaranya sangat megah. Tak bisa dibandingkan dengan empat provinsi di Kalimantan,” kata Teras Narang, yang baru saja melepaskan jabatannya sebagai Koordinator Forum Kerja Sama Revitalisasi dan Percepatan Pembangunan Regional Kalimantan (FKRP2RK) pada 2 Maret.
Teras Narang menyoroti minimnya infrastruktur fisik di Kalimantan, dari defisit listrik, jalan darat dari Kaltim hingga Kalbar belum terhubung. Paling memprihatinkan, tidak ada penerbangan langsung antarprovinsi. ”Kalau saya mau ke Pontianak atau ke Balikpapan harus terbang dulu ke Jakarta. Ini biaya tinggi,” katanya.
Kemiskinan infrastruktur Kalimantan itu kontras dengan kekayaan sumber daya alamnya. ”Sebanyak 94 persen kebutuhan batu bara Indonesia disuplai Kaltim dan Kalsel, tapi kami kekurangan listrik,” kata Teras Narang.
Jika kontribusi perekonomian Kalimantan terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional tahun 2008, yakni sekitar Rp 321,9 triliun, dapat digunakan sepenuhnya untuk pembangunan di regional Kalimantan, termasuk penerbangan, tentunya kesejahteraan masyarakat yang ada saat ini akan jauh lebih baik.
”Sampai kapan Kalimantan hanya menjadi daerah penyuplai?" katanya.
Jika Soekarno pernah bercita-cita menjadikan Palangkaraya sebagai ibu kota Indonesia Raya, rezim Orde Baru hanya menempatkan Kalimantan sebagai daerah modal. Kebijakan ekonomi sentralistik telah menempatkan Kalimantan menjadi daerah penyuplai untuk menggerakkan ekonomi Indonesia yang berpusat di Jawa. Namun, pembangunan Kalimantan sendiri justru dilupakan.
Infrastruktur jalan dibangun hanya seadanya, yang penting truk kayu bisa lewat. Pelabuhan-pelabuhan kecil dibangun, tetapi hanya untuk melewatkan kayu-kayu itu ke luar negeri. Adapun jalur penerbangan hanya untuk menghubungkan tiap wilayah ke Jakarta, dan tidak pernah didesain untuk menghubungkan antarprovinsi di Kalimantan.
Jatuhnya rezim Orde Baru membuka peluang otonomi daerah, tetapi pembalakan hutan justru makin marak. Industri ekstraksi penambangan juga makin merajalela. Di atas semua itu, rakyat Kalimantan tak juga bertambah makmur. Ekonomi Kalimantan masih elitis, belum menyentuh level terbawah.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Budhi M Suyitno mengatakan, penerbangan perintis seharusnya menjadi pionir untuk membuka daerah terpencil dan pedalaman Kalimantan. ”Penerbangan diharapkan bisa mendorong perdagangan dan memajukan ekonomi,” katanya.
Namun, penerbangan perintis itu sejauh ini ternyata lebih banyak dimanfaatkan pejabat untuk berpelesir ke luar daerah. ”Yang memanfaatkan penerbangan dari daerah seperti Papua dan Kalimantan kebanyakan pejabat yang hendak ke Jakarta,” kata Bayu Sutanto, Presiden Direktur Aviastar Mandiri.
Pembangunan infrastruktur di Kalimantan, termasuk untuk penerbangan, adalah utang negara kepada penduduk pulau ini. Lebih penting lagi adalah bagaimana membangun infrastruktur ini agar tepat sasaran.
Menata Kalimantan ke depan mestinya dimulai dengan mengubah perspektif pembangunan, yaitu dari pembangunan yang bertumpu pada ekonomi ekstraktif menjadi ekonomi berbasis rakyat. Jika tidak, burung-burung besi yang nantinya akan memenuhi udara Kalimantan hanya akan menjadi tontonan masyarakat tempatan, tanpa mereka mampu menaikinya....(CAS/BRO/WHY/FUL/RYO/AIK)sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/06/03442052/saatnya.membayar.utang.kepada.kalimantan