23 Februari 2009

Trans-Kalimantan Belum Dukung Ekonomi Rakyat

Pontianak, Kompas - Jalur jalan trans- Kalimantan terbukti lebih banyak berfungsi sebagai jalur angkutan industri perkebunan sawit dan pertambangan batu bara lintas selatan dari Kalimantan Timur hingga Kalimantan Barat sepanjang 3.196 kilometer.

Truk yang umumnya berbeban berlebih merusak jalan sehingga mengganggu kelancaran perdagangan rakyat antardaerah dan menghambat pertumbuhan ekonomi.

Jalur trans-Kalimantan yang belum sepenuhnya selesai dibangun itu juga menjadi prasarana penyedot kekayaan daerah tersebut. Sedangkan minimnya industri pengolahan produk turunan mengakibatkan masyarakat Kalimantan tak mendapat nilai tambah.

Di Kaltim, dari Nunukan hingga Bontang, truk minyak sawit mentah (CPO) bermuatan 12 ton memenuhi badan jalan yang selebar 4,5 meter. Selain merusak jalan, arus lalu lintas terhambat karena truk sulit didahului (disusul). Truk CPO yang terjebak dalam kubangan lumpur juga memutus lalu lintas barang dan orang selama berhari-hari.

Hasil penelitian Universitas Lambung Mangkurat dan Badan Litbang Kalimantan Selatan, yang dipublikasikan di jurnal Balitbangda Kalsel 2007, menyebutkan, truk batu bara menjadi faktor dominan perusak jalan dari Kandang ke Banjarmasin (92 kilometer).

Penelitian itu juga mengungkapkan, tiap hari antara pukul 18.00 dan 06.00 rata-rata 1.500 truk batu bara berkonvoi di jalan nasional. Umumnya, beban yang diangkut mencapai 14 ton, padahal kemampuan jalan hanya 8 ton sehingga 40 km dari 92 km jalan dari Kandangan ke Banjarmasin berkondisi rusak.

Direktur Jenderal Perhubungan Darat Departemen Perhubungan Suroyo Alimoeso mengakui, masih banyak truk berbeban berlebih melintas di jalan nasional. ”Pengawasan hanya optimal pada siang hari, sedangkan pada malam hari sulit karena terbatas prasarana,” ujar Suroyo, pekan lalu.

Direktur Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum Hermanto Dardak meminta Departemen Perhubungan dan dinas perhubungan lebih mengawasi truk berbeban berlebih. ”Truk sawit dan industri sesegera mungkin juga harus lewat jalan khusus,” katanya.

Kondisi trans-Kalimantan

Perjalanan Kompas dan Departemen PU dari Nunukan, Kaltim, hingga Sambas, Kalbar, 5-19 Februari, menemukan fakta, dari 3.195,90 km jalan trans-Kalimantan, sekitar 400 km jalan masih berupa tanah dan sekitar 250 km berupa agregat (kerikil). Jalan kerikil menjadi lumpur tatkala hujan lebat.

Di Kaltim, jalan rusak terjadi di ruas Simanggaris-Malinau- Tanjung Selor, Labanan-Muara Wahau, dan Sanggata-Bontang. Di Kalsel, abrasi mengancam jalan di Pagatan, Kabupaten Tanah Bumbu. Di Kalteng, banjir memutus lalu lintas di ujung jembatan layang Tumbang Nusa.

Sepanjang 16 km jalan di Kabupaten Ketapang, Kalbar, yang berbatasan dengan Kabupaten Lamandau, Kalteng, baru tahap pembukaan. Dua sungai yang melintang juga belum dilengkapi jembatan. Pelintas terpaksa memutar lewat jalan kayu (log) perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH). Nyawa menjadi taruhan karena jalan itu dilewati truk-truk log yang besar. Akibatnya, hanya pedagang bersepeda motor yang berani lewat.

Di luar jalan yang belum terbangun, beratnya medan menyebabkan perjalanan dari Tanjung Redeb, ibu kota Kabupaten Berau, ke Samarinda (540 km) harus ditempuh Kompas dengan kendaraan gardan ganda dalam 20 jam. Sedangkan para sopir truk bahan-bahan pokok hingga pedagang itik biasanya menempuhnya selama 3 sampai 5 hari. Pembangunan dan preservasi jalan trans-Kalimantan ini terus dikebut untuk memenuhi target Menteri PU Djoko Kirmanto, yaitu terhubungnya Kaltim hingga Kalbar paling lambat akhir 2009.

Buruknya kondisi jalan dan beban jalan berlebih oleh kendaraan berat mendorong Pemerintah Provinsi Kalsel merencanakan pada Juni 2009 truk batu bara harus menggunakan jalan khusus batu bara. Ini setelah pemda mendesak dilakukannya pembangunan belasan ruas jalan khusus dan jalan bypass.

Di Kalteng, Gubernur Agustin Teras Narang dan pengusaha sawit mendesain jalan perkebunan sehingga tak merusak jalan nasional. Kalteng juga segera membangun jalur kereta batu bara sebelum ”ledakan” batu bara di Kabupaten Barito Utara, tepatnya di hulu Sungai Barito.

Anggaran dari pusat

Selain kerusakan jalan yang diakibatkan truk industri, hancurnya jalan di Kalimantan juga terkait dengan minimnya anggaran. Sebagai perbandingan, biaya pemeliharaan jalan di Indonesia Rp 20 juta per km per tahun, sedangkan di Sarawak, Malaysia, Rp 102 juta per km per tahun.

Direktur Bina Teknik Departemen PU Danis H Sumadilaga menegaskan, sebenarnya tak ada hambatan teknis dalam membangun jalan karena teknologinya sudah dikuasai. Bahkan, Tim Jelajah Kalimantan Kompas dan Departemen PU menemukan fakta bahwa konsultan teknik di Sarawak ternyata warga negara Indonesia lulusan universitas negeri ternama di Bandung.

Jadi, selain truk industri, masalah utama infrastruktur jalan yang tidak segera beres di Kalimantan adalah soal pendanaan. Direktur Bina Program Departemen PU Taufik menambahkan, dari kebutuhan anggaran ideal Rp 8,12 triliun (tahun 2009), dana yang dialokasikan hanya Rp 2,19 triliun.

Aji Sofyan Effendi, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman, mendesak kalangan industri besar ikut bertanggung jawab memperbaiki jalan. Apalagi retribusi dari 1.500 truk di ruas Kandangan-Banjarmasin hanya Rp 5,4 miliar per tahun. Padahal, biaya ideal memelihara ruas Kandangan-Banjarmasin Rp 10,4 miliar per tahun.

Bagi pengusaha, kerusakan jalan menambah waktu tempuh truk, dan itu mengurangi keuntungan. Bagi pejabat, jalan rusak memperlama perjalanan. Namun, bagi sopir truk, Syaiful, yang ditemui di Pimping, Kabupaten Bulungan, Kaltim, molornya perjalanan selama empat hari karena terbenam lumpur menyebabkan hampir separuh dari seperempat dari 50.000 bibit karet yang dibawanya mati kering. (BRO/CAS/WHY/FUL/RYO/AIK)

sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/23/00170431/trans-kalimantan.belum.dukung.ekonomi.rakyat

Kalimantan, Potensi yang Terabaikan

BAMBANG PS BRODJONEGORO

[Guru Besar dan Dekan FEUI]

Dalam periode krisis ekonomi global seperti saat ini, fokus kebijakan ekonomi lebih banyak menyentuh permasalahan ekonomi makro, sektor keuangan, dan berdimensi jangka pendek. Berbagai analisis dan estimasi mengenai dampak krisis terhadap perekonomian Indonesia membuat semua pihak terpaku pada upaya menahan pelambatan laju pertumbuhan ekonomi, mencegah bertambahnya pengangguran, serta menekan pertambahan jumlah orang miskin.

Tingkat keberhasilan berbagai upaya tersebut pada akhirnya akan bergantung pada fundamental perekonomian Indonesia sendiri yang tidak hanya terdiri atas sederetan indikator ekonomi makro, tetapi juga pada kekuatan perekonomian domestik. Meskipun sudah diakui mempunyai pasar domestik yang besar dengan penduduk lebih dari 220 juta jiwa, pertanyaan besarnya adalah sudahkah Indonesia mengoptimalkan potensi tersebut dengan memberdayakan seluruh wilayah negara dari Sabang sampai Merauke.

Laporan Pembangunan Dunia (World Development Report) 2009, yang belum lama ini dipublikasikan oleh Bank Dunia, menyampaikan pentingnya perekonomian suatu negara mengoptimalkan potensi penduduk dan wilayah yang ada di dalamnya. Dengan kata lain, suatu wilayah dapat menciptakan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas apabila berhasil menelurkan kebijakan ekonomi yang sudah mengoptimalkan potensi penduduk dan wilayahnya.

Sukses kelola kepadatan ekonomi

Singkatnya, pertumbuhan ekonomi wilayah harus memerhatikan 3D, yaitu density (kepadatan), distance (jarak), dan division (bagian). Laporan itu menyimpulkan, kemajuan perekonomian di Amerika Utara, Eropa Barat, serta Jepang terjadi karena perekonomian berhasil mengelola kepadatan ekonomi yang tinggi (PDB per kilometer persegi), memperpendek jarak antarpusat ekonomi, serta menciptakan integrasi ekonomi yang menembus segala macam batas administratif.

Laporan itu juga memperkirakan, India, China, dan ASEAN akan menjadi wilayah perekonomian berikutnya yang mengalami pertumbuhan tinggi berkesinambungan. Tingkat kepadatan ekonomi yang tinggi di India, makin dekatnya pusat-pusat ekonomi di China, serta integrasi ekonomi ASEAN adalah alasan utama dari perkiraan tersebut.

Secara kontras juga ditampilkan fakta tentang perekonomian Afrika yang sulit berkembang pesat karena tidak adanya upaya mengoptimalkan penduduk dan wilayah mereka.

Di berbagai perekonomian yang sudah digolongkan maju, kebijakan perekonomian sudah langsung menyentuh dinamika penduduk dan wilayah yang ditunjukkan dengan fenomena aglomerasi (sinergi berbagai aktivitas ekonomi yang berkaitan), migrasi (perpindahan penduduk antarwilayah), serta spesialisasi ekonomi wilayah. Agar fenomena tersebut dapat dioptimalkan, perekonomian harus mampu mengelola kebijakan urbanisasi, pembangunan berbasis kewilayahan, serta integrasi wilayah.

Terjadinya konsentrasi ekonomi Indonesia yang luar biasa di Pulau Jawa bisa dilihat dari sisi positif dan negatif. Sisi positif terlihat dari munculnya urbanisasi di Pulau Jawa yang kemudian menciptakan aglomerasi serta tumbuhnya sejumlah kota besar yang menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Pulau Jawa dan Indonesia.

Jarak antarpusat aktivitas ekonomi di Pulau Jawa juga semakin dekat dengan infrastruktur yang relatif lengkap dan terpelihara. Integrasi ekonomi antarwilayah di Jawa juga semakin kentara dengan munculnya beberapa daerah metropolitan di sekitar kota besar serta spesialisasi ekonomi di tingkat kabupaten dan kota.

Sisi negatif muncul sebagai akibat makin beratnya beban Pulau Jawa menopang perekonomian nasional serta belum dioptimalkannya perekonomian luar Jawa dengan strategi pembangunan wilayah yang mencerminkan unsur-unsur yang ditampilkan dalam laporan Bank Dunia di atas.

Perhatian khusus perlu diberikan kepada Pulau Kalimantan yang luas wilayahnya, sedikit jumlah penduduknya, tetapi berperan penting sebagai penghasil devisa dari kekayaan alamnya dan lebih jauh lagi akan sangat menentukan dalam menjaga ketahanan energi nasional.

Ekspedisi Kompas menunjukkan betapa menyedihkannya kondisi infrastruktur pulau yang demikian penting bagi Indonesia dan bahkan bagi dunia apabila dilihat dari fungsi hutan tropis dalam kelestarian lingkungan hidup. Unsur-unsur 3D jelas tidak muncul dalam perekonomian wilayah Kalimantan.

Hampir tidak ada konsentrasi kegiatan ekonomi perkotaan yang bisa menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi wilayah (kecuali mungkin Balikpapan dalam skala kecil), jauhnya jarak antarpusat ekonomi (ditambah buruknya kondisi jalan), serta hampir tidak adanya integrasi ekonomi antarwilayah (kecuali Samarinda-Balikpapan-Tenggarong dalam skala kecil).

Kombinasi kebijakan urbanisasi

Tersebarnya penduduk di hampir keseluruhan wilayah pulau jelas akan menyulitkan upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi Kalimantan yang belakangan ini tidak secepat pertumbuhan ekonomi Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Kombinasi kebijakan urbanisasi, pembangunan wilayah, serta integrasi ekonomi wilayah harus menjadi dasar kebijakan ekonomi wilayah.

Suka tidak suka, percepatan pertumbuhan ekonomi Kalimantan akan bergantung pada pertumbuhan beberapa wilayah kota besar yang akan tercipta apabila kebijakan urbanisasi dikelola dengan baik.

Konsekuensinya, akan tercipta kesenjangan antara daerah perkotaan dan pedesaan yang harus segera diatasi dengan pembangunan wilayah yang menekankan pada pemenuhan kebutuhan dan pelayanan dasar masyarakat pedesaan sekaligus mendorong integrasi ekonomi di tingkat provinsi.

Tuntutan pada pemerintah

Para bupati dan wali kota dituntut untuk memastikan pemenuhan kebutuhan dan pelayanan dasar warganya, sedangkan gubernur harus menunjukkan kepiawaiannya menciptakan integrasi ekonomi provinsinya dengan mendorong spesialisasi perekonomian setiap kabupaten dan kota yang kemudian diintegrasikan menjadi kekuatan ekonomi dan daya saing provinsinya.

Pemerintah pusat, dalam kerangka strategi pembangunan wilayah pulau, harus berkomitmen membangun trans-Kalimantan bersama pemerintah daerah agar 3D sebagai syarat percepatan pertumbuhan ekonomi Kalimantan bisa terwujud.

Syarat 3D juga berimplikasi pada pentingnya peran perbatasan dengan Malaysia sebagai pusat pertumbuhan ekonomi sekaligus mematahkan mitos yang berlaku di Indonesia bahwa daerah perbatasan hampir pasti menjadi daerah tertinggal. Bakal terwujudnya integrasi ekonomi ASEAN seharusnya akan menciptakan peluang berlimpah bagi daerah perbatasan.

sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/23/00124851/kalimantan.potensi.yang.terabaikan


Sepotong Jalan Rusia dan Impian Soekarno

C Anto Saptowalyono dan Ahmad Arif

Jalan aspal itu lurus dan mulus. Tak ada guncangan ketika mobil melaju kencang di atasnya. Ini berbeda dengan jalan trans- Kalimantan dari Nunukan, Kalimantan Timur, hingga Palangkaraya, Kalimantan Tengah, yang penuh lubang dan bergelombang.

Warga setempat mengenal jalan itu sebagai Jalan Palangkaraya-Tangkiling. Namun, Gardea Samsudin (70) mengenangnya sebagai Jalan Rusia.

Samsudin, lelaki asal Bandung, Jawa Barat, adalah sedikit saksi yang tersisa dari sepotong jalan sepanjang 34 kilometer dengan lebar 6 meter yang dibangun oleh para insinyur dari Rusia—dulu The Union of Soviet Socialist Republics. Bersama puluhan warga Dayak, Samsudin dan ratusan orang Jawa lain bekerja di bawah arahan belasan insinyur Rusia. ”Saya ikut menyusun batu-batu yang menjadi fondasi jalan ini,” kata Samsudin yang kini menetap di Palangkaraya.

Tak gampang mencari saksi lain pembangunan Jalan Rusia yang mau bicara. Sabran Achmad (80), tokoh masyarakat Kalteng, menuturkan, banyak pekerja yang ikut membangun Jalan Rusia itu menyembunyikan diri. Ini tidak lepas dari politik Orde Baru yang memberi stigma hitam kepada sesuatu yang berbau Orde Lama. Dan, jalan yang dibangun oleh insinyur Rusia itu memang berasal dari era Soekarno, yang dekat dengan negara Blok Timur itu tahun 1950 hingga 1960-an.

”Jalan itu dibangun menandai pembangunan Kota Palangkaraya. Sebelumnya, jalan itu berupa hutan lebat. Pohon-pohonnya besarnya segini,” kata Sabran sambil melingkarkan kedua lengannya.

Mimpi Soekarno

Pada mulanya adalah ayunan kapak Presiden Soekarno pada sebilah kayu di Pahandut, Kampung Dayak, di jantung Kalimantan, 17 Juli 1957. Sebilah kayu yang dibelah itu menandai pembangunan kota baru yang diimpikan Soekarno. Kota baru ini kemudian diberi nama Palangkaraya yang berarti tempat suci, mulia, dan agung, yang didesain sebagai ibu kota Indonesia Raya.

Namun, mimpi Soekarno tak pernah jadi kenyataan. Palangkaraya saat ini hanyalah sebuah ibu kota Provinsi Kalteng yang gelap dan tak bergairah karena kekurangan pasokan listrik.

Dirancang sebagai ibu kota negara, awalnya Palangkaraya dibangun dengan konsep yang jelas. Ada pengelompokan fungsi bangunan yang memisahkan fungsi pemerintahan, komersial, dan permukiman. Tata kotanya dirancang dengan memadukan transportasi darat dan sungai.

Sungai Kahayan menjadi pusat orientasi di sebelah utara kota. Sebuah jalan darat dibangun di pusat kota menuju arah Sampit. Jalan itulah yang kini dikenal sebagai Jalan Rusia, ruas jalan nasional terbaik sepanjang jalan trans-Kalimantan yang dilalui Tim Jelajah Kalimantan Kompas bersama Departemen Pekerjaan Umum (PU). ”Kita tak pernah lagi membangun jalan sebaik Jalan Rusia yang masih mulus walau sudah puluhan tahun. Lihatlah, jalan-jalan lain di Kalimantan yang baru dibangun cepat sekali rusak,” kata Wibowo, staf Departemen PU anggota Regional Betterment Office VII Banjarmasin.

Menggali gambut

Sepotong jalan itu menjadi saksi kemahiran insinyur-insinyur Rusia membangun jalan di tanah yang sangat berbeda kondisinya dengan negara asal mereka. Sabran mengisahkan, semua gambut di tapak jalan dikeruk. ”Setelah gambut dikeruk, terciptalah alur seperti sungai. Lalu, alur itu diisi batu, pasir, dan tanah padat,” kata Sabran.

Pada 17 Desember 1962, pembangunan fondasi Jalan Rusia selesai. Pada tahun-tahun berikutnya, tinggal pembuatan drainase, pengerasan, dan pengaspalan. Pekerjaan yang lambat, tetapi hasilnya prima.

Namun, pembangunan jalan yang direncanakan sepanjang 175 kilometer melewati Parenggean lalu ke Sampit dan Pangkalan Bun kemudian menghubungkan Palangkaraya dengan pelabuhan-pelabuhan sungai menuju ke Jawa ini dihentikan awal tahun 1966. Ketika itu jalan yang terbangun baru 34 km.

Pergantian kekuasaan pasca-Gerakan 30 September 1965 membuat orang-orang Rusia bergegas meninggalkan Indonesia. Semua pekerja proyek menyembunyikan diri karena tak ingin disangkutpautkan dengan Rusia, Partai Komunis Indonesia, atau bahkan Soekarno.

Cerita pembangunan Jalan Rusia itu pun tamat. Segala yang berbau Rusia dihapus, termasuk ilmu pembangunan jalan yang diajarkan insinyur mereka di ruas Palangkaraya-Tangkiling. Pembangunan jalan di Kalimantan tidak pernah lagi dimulai dengan mengeruk gambut. Namun, cukup dengan fondasi berupa kayu galam yang ditancapkan di lahan gambut itu (fondasi ini dikenal sebagai cerucuk). Pembangunan jalan menjadi lebih murah dan cepat, tetapi konstruksi jalan tidak awet.

Kepala Bidang Bina Marga Dinas PU Provinsi Kalteng Ridwan Manurung menuturkan, secara teori, ruas Palangkaraya- Tangkiling yang dibangun Rusia itu yang benar. ”Saat membuka trase jalan, harus diperhatikan struktur tanah dasar, fondasi, dan lapisan penutupnya. Jika ada tanah humus, harus diganti dengan pasir, tanah padat, atau granit. Sedalam apa pun gambutnya, harus dibuang,” katanya.

Menurut Wibowo, pembangunan jalan dengan teknik Rusia itu membutuhkan biaya tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan teknik yang dilakukan dengan cerucuk, seperti yang sekarang kita buat. ”Namun, umur jalan dengan teknik Rusia itu bisa lima kali lipat dari jalan kita,” katanya.

Bangsa ini sepertinya memang suka yang instan. Cepat selesai, cepat pula hancur. (RYO/FUL)

sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/19/00072338/sepotong.jalan.rusia.dan.impian.soekarno

Pengojek Ulin, Menantang Maut di Trans-Kalimantan

Ahmad Arif dan M Saifullah

Iring-iringan pengojek ulin berkelat-kelit di antara truk-truk batu bara sarat muatan di jalan aspal penuh lubang. Banyak yang sudah terjatuh, sebagian cedera parah, bahkan ada yang tewas. Namun, mereka nekat melintas tiap hari.

Para pengendara itu disebut pengojek ulin karena sepeda motor mereka dipenuhi muatan kayu ulin seberat rata-rata 0,5 ton.

Hari hampir malam. Darham (40) dan tiga pengojek ulin beristirahat di tepi jalan trans-Kalimantan di daerah Bati-bati, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Hampir seharian mereka memacu sepeda motor. Mereka hendak membawa kayu ulin yang mereka ambil dari desa-desa di pinggir hutan di Tanah Laut untuk dijual ke Banjarbaru, Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar, dan Banjarmasin yang berjarak lebih dari 100 kilometer.

Keempat pengendara motor itu melepaskan helm, sarung tangan, dan jaket tebal mereka. Darham bersandar di sadel sepeda motor bebeknya yang telah dimodifikasi. Rodanya diganti dengan roda cangkul yang biasa untuk sepeda motor trail. Tangki bensin yang terletak di bawah jok dipindahkan ke depan, persis di belakang setang.

Jok belakang lantas dipasangi besi melintang untuk menopang kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) seberat setengah ton. Karena beban berat kayu ulin bertumpu pada besi melintang di jok belakang, peredam kejut (shock breaker) pun ditambah sepasang sehingga motor mempunyai empat peredam kejut.

”Biaya untuk memodifikasi peredam kejut Rp 150.000. Dua setang besi untuk menaruh kayu ulin dipesan di tukang las seharga Rp 90.000,” kata Jarni (36), pengojek ulin lain.

Motor yang digunakan, menurut Jarni, umumnya keluaran 1-2 tahun terakhir. Dibutuhkan tenaga mesin yang prima untuk membawa beban seberat itu. ”Saya sudah dua kali ganti sepeda motor dalam tiga tahun ini,” kata Jarni.

Dengan motor bebek modifikasi, pengojek ulin ini bisa memacu kecepatan hingga 100 kilometer per jam. ”Kalau pelan malah bisa jatuh karena sulit menjaga keseimbangan. Kalau kencang justru aman membawa kayu-kayu itu,” kata Darham.

Namun, dengan laju secepat itu dan beban setengah ton, sepeda motor menjadi sulit dikendalikan. Sudah tak terhitung pengendara yang jatuh dengan tubuh terimpit kayu, kaki atau anggota tubuh patah, bahkan tewas. ”Kalau takut, kada (tidak) makan kita. Ada anak-anak di rumah yang butuh makan dan biaya sekolah,” kata Darham, yang memiliki tiga anak ini.

Iming-iming keuntungan tinggi membuat mereka nekat. Kayu ulin mereka beli di desa-desa di dekat hutan dengan harga Rp 25.000-Rp 35.000 per potong, kemudian mereka jual seharga Rp 45.000-Rp 60.000 per potong.

”Sekali angkut, biasanya dapat untung bersih Rp 100.000,” kata Darham. Keuntungan itu sudah dipotong angsuran kredit sepeda motor sebesar Rp 21.000. ”Kami hanya sanggup mengangkut ulin dua hari sekali. Badan bisa remuk kalau tiap hari narik kayu,” kata Darham.

Usaha ini menggiurkan karena permintaan akan kayu besi khas Kalimantan itu tinggi, tetapi pasokan kurang karena kayu sudah langka. Akibatnya, di Kalsel saat ini harga kayu ulin melangit, berkisar Rp 1 juta-Rp 2 juta per meter kubik.

Jalur penyedot kayu

Hingga beberapa tahun lalu, para pengojek ulin tak perlu membawa muatan dengan cara yang berisiko. Waktu itu mereka dengan leluasa membawa kayu ulin dengan truk asal bisa membayar uang sogokan kepada aparat. Jalan trans-Kalimantan di ruas ini menjadi saksi jutaan kubik kayu yang dibawa dengan truk-truk setiap harinya.

Tahun 2005, pemerintah menertibkan pembalakan hutan. Truk pengangkut kayu tak bisa lagi bebas berlalu lalang. Para pemain kayu yang kehilangan pekerjaan kemudian berdemonstrasi besar-besaran, yang berujung anarki dengan merusak Kantor DPRD Tanah Laut. Pemerintah Kabupaten Tanah Laut pun memberikan kelonggaran kepada pekerja kayu untuk mengangkut kayu dengan sepeda motor. Sejak itulah muncul pengojek ulin.

Keputusan Bupati Tanah Laut Nomor 35 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemanfaatan Limbah Kayu Ulin menyebutkan, panjang kayu ulin yang boleh dibawa dengan sepeda motor tidak lebih dari 1,5 meter.

Keputusan itu sempat mengundang kontroversi karena dituding menjadi pembenar bagi perdagangan kayu hasil pembalakan. ”Kayu yang dibawa pengojek motor itu bukan limbah, tapi tebangan baru. Karena itu, harus ada penertiban,” kata Kepala Dinas Kehutanan Kalsel Suhardi.

Namun, pengojek ulin yang tak memiliki alternatif usaha lain tak hirau dengan hal itu. ”Kalau dulu yang kami takuti aparat, sekarang kami hanya takut jatuh,” kata Darham, yang pada masa kejayaan pembalakan kayu menjadi sopir truk kayu.

Bagi Darham, keputusan bupati itu menjadi senjata untuk melenggang di jalan trans-Kalimantan dengan memboncengkan kayu ulin. Ia tak khawatir ditangkap aparat. Ia hanya takut jatuh dan mati di jalan.... (Haryo Damardono)

sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/16/00142245/pengojek.ulin.menantang.maut.di.trans-kalimantan

Abrasi, Trans-Kalimantan Terancam Putus

Pagatan, Kompas - Jalan trans-Kalimantan lintas selatan pada ruas Batulicin (ibu kota Kabupaten Tanah Bumbu)-Pelaihari (ibu kota Kabupaten Tanah Laut), di Kalimantan Selatan, terancam putus. Ini akibat abrasi pantai yang parah sepanjang 1,5 kilometer, di daerah Sungai Lembu, Desa Pulau Salak, Kecamatan Kusan Hilir, Kabupaten Tanah Bumbu.

Pantauan Tim Jelajah Kalimantan, Rabu (11/2), abrasi pantai menggerus bahu jalan trans- Kalimantan karena sebagian penahan gelombang dari beton hancur. Intensitas hantaman gelombang tinggi laut selama sebulan terakhir menyebabkan tingkat abrasi semakin parah.

Di kawasan itu, abrasi pantai juga menyebabkan beberapa pohon roboh, sementara sejumlah rumah dan warung warga rusak di beberapa tempat.

Pengguna jalan berharap abrasi segera ditangani. Jika tidak, selain mengancam putusnya jalan, abrasi itu juga akan merusak jembatan yang dibangun dua tahun lalu.

Batu bara dan ikan

Tahun 2006, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan membangun jembatan sepanjang 400 meter untuk menggantikan dua jembatan yang putus akibat dihantam banjir besar. Menurut Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kalsel M Arsyadi, pembangunan jembatan itu agar jalur perekonomian Banjarmasin-Tanah Bumbu dan Kota Baru tak terputus.

Saat itu, lanjut Arsyadi, pemprov memutuskan kondisi tanggap darurat sehingga mengalokasikan dana pembangunan jembatan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah-perubahan (APBD-P) Rp 18,7 miliar.

Selain hasil tambang batu bara, dua kabupaten itu dikenal sebagai sentra produksi ikan. Kabupaten Kota Baru menghasilkan tangkapan ikan 39.184,4 ton (data tahun 2007), sedangkan Kabupaten Tanah Bumbu menghasilkan 29.560,2 ton (2007).

Terkait pencegahan abrasi itu, Kepala Satuan Kerja Preservasi Kalsel pada Departemen Pekerjaan Umum (PU) Syamsul Hidayat mengatakan, pembicaraan mengenai perbaikan jalan negara itu rencananya dilakukan pekan depan antara Balai Sumber Daya Air dan Balai Pelaksana Jalan Wilayah VII Kalimantan.

”Kami bertugas menjaga agar jalan tetap fungsional, tetapi pencegahan abrasi pantai harus dikoordinasikan dengan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air,” kata Syamsul, saat ditemui di Banjarmasin.

Ia berharap dana perbaikan jalan tersebut turun seiring dengan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Atau, lanjut Syamsul, dana dialokasikan pada tahun anggaran 2010.

”Sebenarnya, kondisi ini masuk ke tanggap darurat sehingga harus cepat diperbaiki,” kata Syamsul lagi, seraya menambahkan, jalan tersebut harus dilindungi tanggul pantai sebab laut makin menggerus daratan. Tahun lalu, jarak laut dengan jalan mencapai 8 meter. Kini tak tersisa lagi daratan.

Menurut Direktur Rawa dan Pantai Ditjen Sumber Daya Air Departemen PU Djajamurni Warga Dalam, mangrove harus ditanam di kawasan pesisir itu untuk melindungi infrastruktur. ”Bila mengandalkan pendanaan, sangat berat melindungi infrastruktur di pantai-pantai. Sebab, kami hanya mendapat Rp 400 miliar untuk tahun ini,” katanya.

Anggaran sebesar itu, menurut Djajamurni, hanya bisa membangun 40 kilometer tanggul laut. Padahal, garis pantai Indonesia 81.000 kilometer.

Di Kalimantan Barat, abrasi juga mengancam jalan nasional yang menghubungkan Mempawah (ibu kota Kabupaten Pontianak) dengan Kota Singkawang. Namun, tanggul laut telah dibangun Departemen PU dengan cara membuat kubus beton berukuran 40 x 40 sentimeter. Mangrove pun telah ditanam pada ruang di antara tanggul laut dan jalan nasional.

”Kami mencoba menghemat anggaran di tanggul laut yang melindungi jalan nasional itu. Caranya, memasang terucuk, kemudian menaruh anyaman bambu di dasar laut, kemudian meletakkan kumpulan batu kubus di atasnya,” tambah Djajamurni.

Biasanya, lanjutnya, tanggul laut dibuat dari tembok beton masif. Inovasi itu dikerjakan agar pantai yang ditangani lebih panjang. (RYO/FUL/AIK)

Truk Hancurkan Jalan

Tanjungredeb, Kompas - Truk tangki bermuatan minyak sawit mentah ikut menyebabkan hancurnya jalan trans-Kalimantan di ruas Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, hingga Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, sejauh 100 kilometer.

Karena itu, perusahaan minyak sawit mentah (CPO) terkait diminta ikut bertanggung jawab memelihara jalan.

Minggu (8/2), 12 truk tangki CPO milik PT Matra Sawit masing-masing bermuatan 12 ton berkonvoi di ruas jalan itu. Salah satu truk terjebak lumpur sedalam 30 cm sehingga enam truk bermuatan makanan dan sejumlah kendaraan pribadi ikut tertahan. Alat berat milik perusahaan sawit yang mengawal berusaha mengeluarkan truk tangki yang terjebak itu.

”Saya sudah semalam di sini. Hari ini sudah lumayan, dua hari lalu 370 kendaraan tertahan di sini,” kata Kharudin, pengendara kendaraan pribadi yang ikut terjebak.

Kasubdit Jalan dan Jembatan Wilayah Timur Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum Suharyanto mengatakan, truk tangki CPO berbeban berlebih memperpendek umur jalan. Jalan itu hanya mampu dilewati beban 8 ton.

Harus bertanggung jawab

Bupati Berau Makmur HAPK mengatakan, pihaknya telah meminta perkebunan kelapa sawit dan perusahaan CPO membantu perbaikan jalan. ”Ada komitmen awal yang bila diuangkan setara Rp 700 juta,” katanya.

Menurut Makmur, kesediaan industri penting karena pemerintah kabupaten tak mungkin membantu langsung pendanaan perbaikan jalan nasional karena ada kewenangan masing-masing.

Di Kutai Timur ada perusahaan kelapa sawit yang mengangkut hasilnya dengan truk. Tiap hari ada 60-70 truk tangki CPO melewati trans-Kalimantan menuju pelabuhan di Labanan, Berau.

Makmur minta agar pemerintah pusat tak setengah hati memperbaiki jalan. ”Jalan yang rusak harus dibongkar dan dibangun dari awal, termasuk fondasinya,” kata Makmur.

Suharyanto menyatakan, keterbatasan dana membuat target pemerintah pusat baru membuat tembus sebagian besar ruas trans-Kalimantan.

Menurut Kepala Satuan Kerja Preservasi Kaltim Budi Leksono, anggaran pembangunan dan pemeliharaan trans-Kalimantan dari Labanan menuju KM 50 tahun 2009 hanya Rp 3,5 miliar dari kebutuhan Rp 150 miliar. Dengan demikian, pekerjaan yang dilakukan sekadar perbaikan.

”Dengan Rp 3,5 miliar, pekerjaan perawatan dan pembangunan hanya cukup untuk ruas jalan sepanjang 1,4 km,” ujar Budi. Belum lagi ada stagnasi proyek karena belum ada hasil lelang proyek.

Sementara di ruas Muara Wahau hingga KM 100, dari kebutuhan dana Rp 237 miliar, hanya dialokasikan dana Rp 3,5 miliar pada tahun anggaran 2009. Artinya, jalan yang tertangani juga hanya 1,4 kilometer.

Kerusakan jalan di Muara Wahau hingga Labanan dikeluhkan sopir truk. Pekan lalu, beratus-ratus truk tertahan selama 2-3 hari akibat terjebak dalam lumpur. (RYO/BRO/AIK)

sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/09/01211018/truk.hancurkan.jalan

07 Februari 2009

Ke Batas Negara, Rumit dan Mahalnya Mobilitas

Haryo Damardono dan Ambrosius Harto

Ketika mobilitas fisik terhalang, di ujung jalan orang akan terpaku pada ketertinggalan, tingginya biaya hidup, dan mungkin rasa ”buntu jalan”. Inilah Tarakan-Nunukan, penggalan pertama kami.

”Penerbangan menuju Nunukan, Kamis (5/2), dibatalkan karena alasan perawatan. Kami baru terbang lagi hari Jumat. Maaf, tiada penerbangan lain ke sana,” kata Diana, perwakilan Trigana Air di Tarakan, Kalimantan Timur, Rabu. Berita itu kami dapatkan begitu pesawat yang membawa kami mendarat di Bandara Juwata, Pulau Tarakan.

Rencananya, dari Tarakan kami akan terbang ke Pulau Nunukan, kemudian menyeberang dengan kapal ke Nunukan daratan. Dari sana, perjalanan darat menjelajah trans-Kalimantan kami bermula.

Untuk mencapai titik terujung di Kaltim ini, kami harus terbang dari Jakarta menuju Banjarmasin, lalu dari Banjarmasin menuju Balikpapan, dan dari Balikpapan menuju Tarakan.

Tak mungkin menempuh semua penerbangan itu dalam satu hari, sebab penerbangan Tarakan-Nunukan dijadwalkan pukul 07.05, sedangkan pesawat baru tiba di Tarakan pukul 16.15 Wita. Jadi, kami harus menginap sehari di Kota Tarakan.

Akhirnya, kami memutuskan menghapus angan naik pesawat ke Nunukan, yang dapat dicapai selama 15 menit terbang. Kamis pagi, kami memilih naik kapal cepat (speedboat) meski harus menghabiskan waktu 2,5 jam, yang artinya pemborosan waktu 10 kali lebih lama dari pesawat.

Kapal cepat bermesin 600 PK yang kami tumpangi itu mengangkut 30 penumpang. Tarif tiketnya Rp 175.000 per orang. Kalau naik pesawat, tarifnya Rp 365.000 per orang. Warga Nunukan lebih banyak memilih kapal cepat. Selain tarif tiketnya terjangkau, angkutan laut ini tersedia setiap hari.

Pilihan naik kapal cepat karena jadwal perjalanan memang harus ditepati. Sebab, mobil double gardan telah menunggu kami untuk mulai menapaki jalan darat trans-Kalimantan dengan titik awal dari perbatasan Indonesia-Malaysia di Simanggaris, Kabupaten Nunukan, Kaltim. Kendaraan itu didatangkan dari Samarinda, menempuh perjalanan lebih dari 1.000 kilometer.

Melakukan perjalanan di Kalimantan memang tidak semudah seperti di Pulau Jawa atau Sumatera. Di Jawa dan Sumatera semua wilayahnya sudah tersambung dengan jaringan jalan darat. Di Kalimantan belum semua wilayahnya tersambung jalan darat.

Di kapal cepat jurusan Tarakan-Nunukan, kami bertemu dengan Juleha (60). Warga Tanjung Selor, Kaltim, itu bersama suami dan dua cucunya bercerita tentang kerumitan mobilitas di Kalimantan.

Baru beberapa hari sebelumnya ia melakukan perjalanan darat melintasi jalan trans-Kalimantan ruas Samarinda-Tanjung Selor sepanjang 717 kilometer. Perjalanan itu ditempuhnya sehari semalam dengan menggunakan mobil Kijang, dengan ongkos sewa Rp 250.000.

”Itu kalau kondisi jalannya kering. Tetapi, kalau hujan dan jalan menjadi kubangan lumpur, warga bisa saja terpaksa tidur di hutan,” kata Juleha.

Juleha dan keluarganya dari Tanjung Selor naik kapal cepat ke Tarakan bertarif Rp 80.000 per orang. Lalu melanjutkan lagi ke Nunukan menggunakan kapal cepat lain dengan harga tiket Rp 170.000. ”Perjalanan itu sekitar tiga hari,” kata Juleha.

Tiba di Pelabuhan Tunon Taka, Nunukan, tim Jelajah Kalimantan masih menghadapi kendala lain untuk melanjutkan perjalanan ke Simanggaris. Angkutan kapal cepat ke kecamatan di perbatasan Kaltim itu hanya dijadwalkan Senin dan Rabu.

Untuk bisa melanjutkan perjalanan, tidak ada pilihan lain, kami harus menyewa kapal cepat lagi dengan tarif Rp 2 juta. Itu pun belum mengantar sampai ke titik nol perbatasan negara (Simanggaris) itu. Perjalanan dengan kapal cepat bermesin 200 PK berkapasitas 12 orang itu ditempuh dalam satu jam.

Perjalanan ini melewati pos pengamanan perbatasan yang dijaga anggota TNI dari Batalyon 613/Raja Alam. Pos ada di kawasan hutan mangrove, perairan Teluk Sebuku. Selanjutnya menyusuri Sungai Ular, dan berhenti di sebuah dermaga kayu, yang bersebelahan dengan pos polisi, dan sejumlah rumah warga.

Dari dermaga itulah dimulai perjalanan darat ke perbatasan negara di Simanggaris. Lamanya tiga jam. Jalan itu cukup mulus karena baru selesai diaspal akhir 2008 sepanjang tiga kilometer.

Yuyun Kurniawan, Direktur Yayasan Titian, memberikan informasi bahwa Simanggaris adalah perbatasan Kaltim yang paling rawan terjadinya perdagangan kayu ilegal. Lewat jalan darat, kayu masuk ke Kalaban, di Sabah, Malaysia.

Kalaban dengan empat pabrik kayu lapisnya adalah ”pemroses” bahan baku kayu dari hutan sekitar Simanggaris. ”Sampai April 2008 masih terjadi penyelundupan kayu ke Kalaban, tetapi sekarang sepi karena pabrik-pabrik kayu di sana tutup,” kata Yuyun mengungkapkan.

Simanggaris pernah menjadi sorotan nasional terkait korupsi pembukaan hutan untuk lahan kelapa sawit sejuta hektar. Kasus inilah yang menyeret Suwarna Abdul Fatah, Gubernur Kaltim, yang divonis empat tahun penjara.

Sekarang, Simanggaris menjadi kawasan sepi. Dan terasa amat jauhnya... dari kemajuan dan kesejahteraan. (Ahmad Arif/M Syaifullah)

sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/06/0010401/ke.batas.negara.rumit.dan.mahalnya.mobilitas