06 Maret 2009

Transportasi Regional: Membuka Penerbangan, Mendorong Pertumbuhan

Oleh M SYAIFULLAH dan C ANTO SAPTOWALYONO

Lorna Dowson-Collins Tuh, partner Direktur Kalimantan Tour Destinations, nyaris tak bisa berkata apa-apa. Itu terjadi ketika keduanya tak bisa memenuhi permintaan serombongan wisatawan mancanegara yang datang ke Kuching, Sarawak, Malaysia Timur, beberapa waktu lalu.

Rombongan wisatawan itu batal berkunjung ke Kalimantan Tengah (Kalteng) karena tidak ada penerbangan dari Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim), ke Palangkaraya, ibu kota Kalteng. ”Kunjungan wisatawan ke Kalimantan bisa lebih ramai kalau ada penerbangan langsung dari Bali sebagai tujuan wisatawan asing dari berbagai mancanegara ke Indonesia,” kata Lorna.

Bagi Lorna, kondisi keterbatasan transportasi seperti itu tidak bisa dipahami. Sebab, tidak sesuai dengan kondisi kekayaan sumber daya alam yang dimiliki pulau ini.

Faktanya, minimnya infrastruktur maupun akses penyediaan transportasi justru terjadi hampir di empat provinsi di Kalimantan. Di Kaltim misalnya, Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Kaltim terpaksa menutup jadwal tetap kunjungan ke beberapa daerah wisata di pedalaman lebih enam bulan terakhir, sejak Juli 2008. Penyebabnya hanya karena tidak ada penerbangan perintis ke daerah itu lagi.

Perjalanan wisata yang ditutup itu adalah ke permukiman masyarakat Dayak di Long Bawan dan Long Apung di Kabupaten Malinau. Juga lokasi pelestarian anggrek hitam di Kersik Luwai, Kabupaten Kutai Barat.

”Kalimantan itu dikenal di Eropa dan Amerika, tetapi karena penyediaan transportasi yang tidak memadai, sulit memasarkan pariwisata di daerah ini,” kata Ketua Asita Kaltim Joko Purwanto.

Harus diakui, meski sama-sama berada di satu pulau, Borneo, penyediaan infrastruktur dan transportasi di Sarawak, Brunei Darussalam, dan Sabah jauh lebih maju. Melihat bandara yang ada di negara lain di Borneo, ungkap Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang selaku Koordinator Forum Kerja Sama Revitalisasi dan Percepatan Pembangunan Regional Kalimantan (FKRP2RK) di Palangkaraya, beberapa waktu lalu, ia mengaku ingin rasanya menangis.

”Saya sedih, tetapi tidak akan menangis. Jujur saya iri, tapi tidak dengki. Saya pasti sakit hati, tapi tidak akan bersungut-sungut. (Hal ini) karena empat provinsi di Kalimantan sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia yang harus terus diperjuangkan.” katanya.

Di Kinibalu maupun Kuching, kondisi bandara lebih bagus. Sementara empat bandara utama di Kalimantan, yakni Bandara Sepinggan (Balikpapan), Syamsudin Noor (Banjarmasin), Supadio (Pontianak), dan Tjilik Riwut (Palangkaraya), tidak bisa dibandingkan dengan dua bandara tersebut. Bahkan, sampai saat ini belum ada penerbangan langsung yang menghubungkan empat bandara utama di empat provinsi tersebut.

Ini suatu ironi! Meski sumber daya alam yang dimiliki Kalimantan begitu luar biasa, infrastrukturnya justru jauh tertinggal. Yang ada malah harus terbang ke Jakarta dulu. Konsekuensinya adalah biaya perjalanan jadi tinggi.

”Kondisi Kalimantan tidak akan seperti ini kalau ada perhatian pemerintah,” ujar Teras A Narang.

Prihatin saja, ungkap Teras, tidak cukup. Perlu adanya perjuangan membangun infrastruktur yang masih jauh tertinggal tersebut. Penyediaan jalan, listrik, pendidikan, bahkan penerbangan hingga ke pedalaman masih belum memadai.

Tanpa ada revitalisasi dan percepatan pembangunan, Kalimantan sangat sulit maju. Untuk penyediaan transportasi udara yang berkelanjutan, misalnya, pemimpin daerah di Kalimantan mestinya duduk satu meja untuk membicarakan pengembangan penerbangan regional. Sebab, pengembangan transportasi udara regional Kalimantan dimungkinkan karena didukung 28 bandara yang layak.

Setiap provinsi setidaknya ada satu bandara yang menjadi pusat penyebaran dan bisa didarati pesawat Boeing 737. Bahkan Bandara Supadio, Sepinggan, dan Juwata di Tarakan (Kaltim) sudah berstatus bandara internasional.

Bagi Kalimantan, penerbangan amat dibutuhkan. Sebab, sulit bila hanya mengandalkan jalan darat. ”Penerbangan itu mendorong atau berdampak 3,5 kali lipat kemajuannya di bidang lain,” kata Budhi M Suyitno Budhi, Direktur Jenderal Perhubungan Udara, Departemen Perhubungan.

Data menunjukkan, jumlah penumpang pesawat terbang dalam tiga tahun terakhir terus meningkat. Total jumlah penumpang pesawat terbang tahun 2006 mencapai 6,4 juta penumpang. Pada tahun 2007, jumlahnya meningkat sekitar 6,6 juta orang dan tahun 2008 naik lagi menjadi 6,8 juta penumpang.

Sepinggan yang dibangun tahun 1992, kata Risman Torry, Manajer Personalia dan Umum PT Angkasa Pura I Sepinggan, menjadi bandara tersibuk di Kalimantan. Jumlah penumpangnya melampaui perkiraan semula yang hanya 1,5 juta penumpang tahun 2004, kini mencapai 3,5 juta orang per tahun.

Kondisi yang sama, kata Kepala Bidang Fisik dan Prasarana Perencanaan Pembangunan Kalbar Rusnawir Hamid, dialami Bandara Supadio. Jumlah penumpang yang diperkirakan tahun 2008 mencapai 911.125 orang ternyata terlampaui empat tahun lalu, yakni 921.448 orang pada tahun 2004.

Peningkatan itu justru terjadi saat arus penerbangan di Kalimantan menurun. Tahun 2006, ada 99.224 penerbangan atau turun 12.328 penerbangan karena tahun 2007 hanya 86.924 penerbangan, dan tahun 2008 menjadi 75.845 penerbangan. Apabila penerbangan regional dibangun dengan serius, dipastikan Kalimantan semakin maju.(BRO/WHY/RYO/AIK)


sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/06/03411655/membuka.penerbangan.mendorong.pertumbuhan

Penerbangan Perintis: Gantungan Hidup Masyarakat Pedalaman

Oleh M SYAIFULLAH dan C WAHYU HARYO PS

Orang yang bertemu pertama kali dengan Selutan Tadem, Camat Krayan Selatan di Nunukan, Kalimantan Timur, pasti akan menilainya buruk. Betapa tidak, selama 25 hari—sejak 17 Januari 2009—ia meninggalkan warganya yang tinggal jauh di utara Kaltim.

Orang baru memahaminya ketika sudah mengetahui di mana letak Kecamatan Krayan Selatan. Di Nunukan, ia bukan mangkir kerja. Di sana ia justru mengurusi berbagai keperluan warganya, menyelesaikan administrasi kependudukan, dan mengikuti rapat-rapat di kantor bupati. Ketiadaan penerbangan membuat Selutan kesulitan pulang.

”Saya pulang 10 Februari. Sebab, tanggal itu ada penerbangan,” katanya.

Krayan Selatan berpenduduk 2.500 jiwa. Mereka mendiami 25 kampung. Tidak ada jalan darat atau sungai dari Nunukan atau Malinau untuk mencapainya. Ke sana hanya bisa dicapai dengan naik pesawat berkapasitas belasan penumpang. ”Daerah kami lebih dekat Desa Miri, Sarawak, dan cukup jalan kaki,” tuturnya.

Krayan Selatan punya lima lapangan terbang dengan sebagian landasan pacu tanah dan rumput yang kurang dari 1.000 meter. Namun, sejak awal Januari 2009, tidak ada pesawat yang singgah kecuali milik Mission Aviation Fellowship (MAF). Pesawat jenis Cessna 206 milik maskapai misionaris Kristen itu hanya dua kali seminggu ke sana.

Krayan Selatan terakhir sempat disinggahi pesawat Cessna Grand Caravan milik Susi Air pada September-Desember 2008 ketika dikontrak Pemerintah Kabupaten Nunukan. Pemerintah ingin melanjutkan kontrak itu agar tidak cuma pesawat MAF yang ke sana. Namun, rencana itu belum bisa terlaksana karena DPRD belum menyetujui usul dana dari APBD setempat.

Selain susah bepergian, warga pun kesulitan memasok bahan pokok dari Nunukan atau Malinau. Memanfaatkan pesawat MAF tidak memungkinkan. Sebab, kapasitasnya cuma lima penumpang atau setara 450 kilogram barang.

”Apalagi, tarif sekali jalan dari Long Layu (Krayan Selatan) ke Tarakan sekitar Rp 1 juta per orang,” kata Selutan.

Dipasok dari Sarawak

Akibat kondisi inilah, warga setempat mengandalkan pasokan kebutuhan sehari-hari dari perbatasan Sarawak dan Sabah. Bukan hal aneh mereka banyak mempunyai ringgit Malaysia.

Orang Krayan Selatan tidak sendirian. Nasib sama juga dirasakan warga Long Ampung, Data Dian, Long Rungan, Long Padi, Binuang, dan Long Bawan di Malinau dan Nunukan. Hingga kini, cuma pesawat dan atau perahu yang bisa menjangkau mereka.

David, warga Kuala Kurun, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, penumpang Aviastar yang ditemui belum lama ini, mengatakan, penerbangan perintis rute ini sudah setahun terakhir terhenti dan baru beroperasi kembali pada Februari. Ketiadaan ini terjadi karena penerbangan perintis tahun 2008 tidak terealisasi. Sebab, setelah lelang penerbangan perintis, tidak ada maskapai yang berminat menerbangi rute perintis di Kalteng.

Tahun 2009, pemerintah menyediakan penerbangan perintis untuk sembilan rute ke pedalaman Kalteng, yang menghubungkan 12 kota. Namun, jumlah maskapai yang akan menerbangi belum ditentukan karena masih proses lelang.

Warga yang ingin bepergian secara cepat harus ke Kuala Kurun walaupun harga tiketnya Rp 226.000 atau lebih mahal Rp 116.000 daripada angkutan darat, yakni Rp 110.000. Ikut penerbangan ini menjadi pilihan yang tepat. Sebab, kondisi jalan banyak yang rusak parah bila melalui jalan darat. Sebagian bahkan berwujud kubangan lumpur sehingga cukup menyiksa dan melelahkan karena perlu waktu lebih lama.

Saat naik penerbangan pesawat Aviastar yang menerbangi rute Palangkaraya-Kuala Kurun, awal Februari lalu, memang lengang penumpang. Hal itu dikarenakan rute ini baru saja kembali dibuka.

Sebaliknya, meski baru mendahului sekitar dua minggu sebelumnya, pembukaan kembali rute Palangkaraya-Puruk Cahu di Kabupaten Murung Raya justru ramai. Hampir tiap hari tiket pesawat habis dipesan. Ramainya penumpang Aviastar rute Palangkaraya-Puruk Cahu, kata Presiden Direktur PT Aviastar Mandiri Bayu Sutanto, karena didominasi pejabat dan kalangan pengusaha, terutama pengusaha tambang.

Terkait masih sepinya penumpang rute Palangkaraya-Kuala Kurun ini, David berharap jadwal penerbangan rute tersebut jangan hanya Rabu dan Jumat, tetapi kalau bisa juga Sabtu, Minggu, atau Senin. ”Ini untuk mengantisipasi kebutuhan warga yang ada urusan dinas atau bisnis, yang kebanyakan dilakukan pada hari Senin,” katanya.

Banyaknya penumpang moda transportasi udara ini ternyata juga diharapkan para sopir taksi ataupun tukang ojek. Bandara Kuala Kurun, misalnya, menjadi tempat mencari rezeki baru para tukang ojek sejak adanya penerbangan kembali pada awal Februari 2009.

Karti, tukang ojek di Kuala Kurun, misalnya, mengenakan tarif Rp 25.000 untuk mengantar penumpang ke kota. ”Karena penerbangan aktif lagi, saya bisa lagi antar-jemput penumpang ke sini,” katanya.

Darlan, sopir taksi Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya, bahkan berharap hal ini akan membawa tambahan penumpang. Sebab, ramai sepinya penerbangan berpengaruh juga terhadap usaha para sopir taksi bandara.

Di Bandara Tjilik Riwut dengan empat kali penerbangan rute Jakarta-Palangkaraya dan Palangkaraya-Surabaya, taksi yang ada baru 25 taksi. ”Per hari kami cuma menjalankan satu rit. Uang yang disetor Rp 50.000 per hari,” katanya.

Hidupnya kembali penerbangan perintis memang menjadi harapan warga Kalimantan. Sebab, hal ini akan berdampak makin banyak penerbangan reguler ke Kalimantan.

Seandainya nanti, kata Vice President Network Management Garuda Indonesia Risnandi, jumlah penumpang yang terkumpul di Bandara Tjilik Riwut meningkat seiring beroperasinya kembali penerbangan perintis dari kabupaten-kabupaten di Kalteng, tentu Garuda akan menambah penerbangan ke Palangkaraya dari satu kali sehari menjadi dua kali sehari. (BRO/RYO/AIK)
sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/06/0342168/gantungan.hidup.masyarakat.pedalaman

Mengapa Ramai-ramai Membangun

Oleh AMBROSIUS HARTO dan C WAHYU HARYO PS

Pembangunan Bandar Udara Sultan Kutai Berjaya di Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, yang mangkrak sejak 2006, akhirnya dihentikan. Keputusan tegas ini diambil Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak, hanya lima hari setelah ia dilantik pada 17 Desember 2008.

Ide pembangunan Bandara Sultan Kutai Berjaya itu datang dari Syaukani HR, mantan Bupati Kutai Kartanegara. Sejak tahun 2003, lahan seluas 1.300 hektar telah disiapkan. Dana miliaran rupiah pun telah dikucurkan. Siapa sangka, proyek ambisius itu terhenti akibat terjegal kasus korupsi.

Awang melihat persoalan ini secara realistis. Sebab, di Samarinda—hanya 40 kilometer dari Loa Kulu—pada saat bersamaan sedang dibangun pengembangan Bandara Samarinda Baru di Kelurahan Sungai Siring, Kecamatan Samarinda Utara.

Bagaimana mungkin dalam radius 40 km ada dua bandara dibangun bersamaan? Itulah gambaran ambisi pemerintah daerah di era otonomi. Mereka sepertinya berlomba-lomba membangun bandara tanpa memikirkan implikasi dan persyaratan ketat jika sebuah bandara beroperasi. Kemegahan saja yang terpikir.

Getolnya keinginan membangun bandara baru juga terjadi di Kalimantan Barat (Kalbar). Pemerintah Kota Singkawang bahkan berambisi membangun bandara internasional. Padahal, Singkawang hanya berjarak 145 km dari Bandara Internasional Supadio, Pontianak, dan dapat ditempuh mobil hanya dalam 2,5 jam.

Ambisi ini terkesan mengada-ada. Mengapa tak memanfaatkan Supadio? Toh, perjalanan antardua kota itu sangat lengang? Bila menyimak Pasal 10 Rancangan Peraturan Presiden tentang Rencana Tata Ruang Pulau Kalimantan pun dapat dilihat adanya rencana jalan tol Pontianak-Singkawang. Artinya, akan ada infrastruktur jalan yang mumpuni antardua kota tersebut.

Wali Kota Singkawang Hasan Karman boleh beralasan bahwa Singkawang punya aset wisata yang luar biasa: pantai, bukit, air terjun, danau, serta tempat-tempat wisata religius. Persoalannya, ketika peristiwa budaya seperti Cap Go Meh hanya berlangsung satu kali dalam setahun, akankah ada permintaan yang berkelanjutan terhadap sebuah rute penerbangan?

Belum tuntas perdebatan mengenai dibutuhkannya bandara di Singkawang, sudah muncul ide membangun bandara baru di Kabupaten Sintang, yang kali ini berjarak 395 kilometer dari Pontianak. Rencana pembangunan bandara baru ini begitu mencengangkan. Sebab, Sintang sebenarnya sudah mempunyai bandara bernama Susilo di Sungai Durian. Delapan tahun lalu, bandara itu masih didarati pesawat kecil berkapasitas sembilan orang.

Namun, kini bandara itu tak lagi disinggahi satu penerbangan pun. Paling-paling di sore hari, anak-anak ramai bermain layangan di landasan pacu bandara. Wakil Bupati Sintang Djarot Winarno ngotot bandara baru harus dibangun agar mampu didarati pesawat yang lebih besar untuk menarik minat maskapai mendarat di sana.

Pemerintah Kabupaten Sintang, juga di Kalimantan Barat, pun setali tiga uang. Tahun ini, di Sungai Tebelian, mereka berniat mulai merealisasikan bandara baru itu.

Bahkan, Pemerintah Kabupaten Sintang menyediakan lahan dan mengalokasikan dana Rp 5 miliar pada tahun anggaran 2009 ini. Sementara dana pembangunannya akan dicarikan dari pemerintah provinsi dan pemerintah pusat.

Sebenarnya, apa masalahnya dengan bandara lama, Bandara Susilo? Dengan panjang landasan pacu 1.300 meter dan lebar 30 meter pun, dua tahun lalu Kompas mampu mendarat di Sintang menggunakan pesawat carteran jenis CN-235.

Pengumpul dan pengumpan

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada pemerintah daerah yang menyisihkan sebagian anggaran untuk mengembangkan bandara, sebenarnya harus dipahami dulu teori bandara pengumpul dan pengumpan atau hub and spoke.

Konektivitas penerbangan dengan pola penataan bandara ”pengumpul dan pengumpan” ini telah digunakan di Amerika Serikat sejak awal 1980-an. Sistem ini muncul akibat pemberlakuan Airline Deregulation Acts 1978, yang mendorong menjamurnya maskapai dan bandara di berbagai wilayah di Amerika.

Dengan pola ini, pemerintah daerah maupun pemerintah pusat tidak perlu menghamburkan anggaran untuk memperbaiki atau membuat bandara baru. Tak perlu memperpanjang landasan pacu hingga dua kilometer atau lebih.

Inilah yang menjadi dasar bagi produsen untuk memproduksi pesawat dengan jenis dan ukuran berbeda. Ada pesawat berjenis jet, ada pula pesawat berjenis propeller atau baling-baling. Ada pesawat berkapasitas 9-10 orang, 50-60 orang, 140-160 orang, hingga lebih dari 200 orang.

Ketika pola ”pengumpul dan pengumpan” ini dipahami, cukup misalnya, Bandara Rahadi Oesman di Ketapang didarati pesawat berkapasitas 60 orang, lalu terbang ke Supadio untuk kemudian diangkut menggunakan pesawat berkapasitas 140-160 orang menuju Jakarta.

Mungkin kini hal terbaik adalah menyelesaikan dulu seluruh proyek peningkatan kapasitas bandara di Kalimantan. Lalu, memilah-milah lagi mana yang perlu ditingkatkan di masa mendatang. Ini penting dalam upaya menghemat ratusan miliar hingga triliunan rupiah yang dapat dialihkan untuk membangun infrastruktur lainnya.

Tahun 2009 ini, misalnya, pemerintah menambah panjang landasan pacu Bandara Kalimarau di Kabupaten Berau, Kaltim, dari 1.850 meter menjadi 2.250 meter. Di Bandara Nunukan, juga di Kaltim, landasan pacu sepanjang 1.100 meter pun diperlebar dari 23 meter menjadi 30 meter. Adapun untuk mobilitas warga di perbatasan, pemerintah juga menambah panjang landasan Bandara Yuvai Semaring, Long Bawan, dari 900 meter menjadi 1.200 meter dengan dana Rp 3 miliar.

Persoalannya, lagi-lagi, pada era otonomi daerah ini pemerintah pusat tak berhak menetapkan jalur penerbangan begitu saja. Daerah mempunyai otoritas menetapkan sendiri jalurnya. Daerah punya kepentingan, keinginan, dan harapan terkait transportasi udara.

Kini, tinggal bagaimana masing-masing pihak mampu duduk bersama dan dengan kepala dingin memutuskan yang terbaik. Pembangunan atau pengembangan bandara di kota-kota di Kalimantan memang mutlak sebab pulau ini sangat besar. Luas empat provinsi yang ada di pulau ini saja lebih tiga kali luas pulau Jawa.

Hanya saja, perencanaannya harus matang sehingga pembangunannya sesuai kebutuhan. Fakta yang terjadi, masih banyak pengelolaan bandara di Indonesia—bahkan termasuk di Kalimantan sendiri—yang terus merugi.

”Jujur saja, pengelolaan bandara kita banyak yang asal-asalan. Apa adanya,” kata Dirjen Perhubungan Udara Budi M Suyitno pada Seminar Penerbangan Regional Kalimantan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, awal Februari lalu.

Pengembangan bandara sekarang harus memperhitungkan aspek bisnis. Lihat saja Bandara Changi di Singapura atau Bandara Dubai yang setiap tahun didatangi puluhan juta penumpang. Padahal, jumlah penduduk mereka justru lebih kecil daripada penduduk Kalimantan. Kalau terus merugi, buat apa membangun bandara? Bukankan justru menjadi beban daerah itu sendiri! (FUL/RYO/CAS/AIK)
sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/06/03401835/mengapa.ramai-ramai.membangun

Operasional Pesawat Terbang: Tidak Seperti Mengelola Opelet

Akhirnya pesawat jenis Britten Norman 2A milik maskapai PT Dirgantara Air Service yang dinanti itu tiba di Bandara Yuvai Semaring, Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, Minggu, 7 September 2008. Namun, bukannya bergegas naik ke pesawat, puluhan warga itu justru menyandera pesawat.

Hari itu adalah puncak kemarahan warga Krayan kepada PT Dirgantara Air Service (DAS). Selama tujuh bulan, PT DAS mangkir terbang ke Krayan. Padahal, penerbangan tersebut mendapat subsidi dana dari pemerintah.

Sesuai kontrak, PT DAS seharusnya melayani rute penerbangan Bandara Nunukan-Yuvai Semaring, Long Bawan, Kecamatan Krayan, Mei-Desember 2008, memakai pesawat Cassa-212. Namun, sejak Januari hingga Juli 2008, pesawat DAS berhenti beroperasi karena masalah armada dan keuangan.

Tiadanya penerbangan itu telah menyengsarakan warga Krayan. Selama ini pesawat itu menjadi satu-satunya jembatan pembuka isolasi mereka ke dunia luar. Harga kebutuhan pokok di Krayan pun menjadi mahal dan langka. Harga gula Rp 25.000 per kilogram, solar dan bensin hingga Rp 30.000 per liter.

Kemarahan tak hanya diluapkan warga Krayan yang ada di kampung. Terhentinya penerbangan itu juga menyebabkan ratusan warga asal Krayan yang sedang berada di Nunukan tidak bisa pulang. Pada hari yang sama, mereka melampiaskan kekesalan dengan merusak Bandara Nunukan.

Bagi sebagian masyarakat pedalaman Kalimantan, penerbangan merupakan urat nadi transportasi. Sebab, pelayaran sungai sudah tidak menjadi andalan lagi. Saat musim hujan, arus terlalu liar dan saat kemarau menjadi dangkal. Sementara itu, jalan darat masih sangat terbatas.

Namun, menghadirkan rute penerbangan ke daerah-daerah pedalaman itu tak gampang. Lebih susah lagi mempertahankan agar maskapai yang sudah mau merintis rute penerbangan ke pedalaman itu tetap beroperasi.

Di sisi lain, tak semua pemerintah daerah mau dan mampu membeli pesawat seperti Pemerintah Kabupaten Merauke meski kebutuhan terhadap penerbangan kian dirasa penting untuk membuka sekat isolasi. Pemerintah Kabupaten Merauke memang selangkah lebih maju ketimbang pemerintah daerah lainnya. Menyadari letak geografisnya yang sulit dijangkau, mereka membeli tiga pesawat terbang. Salah satunya, pesawat Boeing 737-300 yang diberi nama Aoba dibeli seharga Rp 79,5 miliar.

Pesawat itu tidak ditangani sendiri, melainkan ”dititipkan” ke Merpati Nusantara Airlines. Sebab, Pemerintah Kabupaten Merauke melihat strategi bisnis jangka panjang penggunaan transportasi ini. Selain itu, tentu saja terkait penguasaan teknik penerbangan dan kepatuhan terhadap regulasi internasional.

Mendatangkan penerbangan ternyata memang tidak mudah. Yang menjadi persoalan, bagaimana maskapai tetap beroperasi tanpa saling merugikan. ”Salah satu caranya dengan menjalin kerja sama operasi (KSO) antara pemerintah daerah dan maskapai tertentu,” kata Direktur Utama Merpati Bambang Bhakti.

Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur misalnya, memilih KSO bagi hasil dengan maskapai Merpati. Caranya, mereka menginvestasikan Rp 25 miliar untuk membantu perbaikan pesawat Merpati sehingga bisa melayani rute Sampit-Jakarta selama tiga tahun. Selain bagi hasil, pola lainnya berupa subsidi. Dana Subsidi itu oleh pemerintah setempat untuk memotong harga tiket hingga 50 persen.

”Tiada yang dirugikan dalam KSO. Itu harus dipastikan sebelum maskapai dan pemerintah daerah membuka rute baru,” kata Bambang Bhakti.

Pola KSO sepertinya patut dilirik, sebagaimana yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Merauke dan Kotawaringin Timur untuk menghadirkan penerbangan berkelanjutan. Bagi maskapai seperti Merpati, KSO merupakan jalan untuk menerbangkan kembali pesawat-pesawat yang berada di hanggarnya.

”Pada Periode awal 1990-an, Merpati mempunyai 98 pesawat, namun kini tinggal 20-an pesawat. Tentu masih ada beberapa pesawat di hanggar yang membutuhkan perbaikan supaya dapat terbang kembali,” katanya.

Ada banyak kisah di balik limbungnya penerbangan yang dikelola daerah akibat kesalahan manajemen. Di Timika, Provinsi Papua, pesawat jenis Pilatus Porter yang dibeli pemerintah daerah setempat seharga Rp 25 miliar sempat mangkrak berbulan-bulan.

Pengoperasian pesawat itu akhirnya dititipkan ke Association Mission Aviation (AMA). Harapannya, AMA sebagai maskapai yang telah berpengalaman dapat memberdayakan pesawat itu untuk melayani penerbangan ke pelosok Timika.

Pemprov Kaltim juga memiliki pengalaman serupa. Pada tahun 2005, mereka membeli dua pesawat Airvan GA8 untuk melayani rute Samarinda-Long Ampung dan Samarinda-Datah Dawai. Dua pesawat itu merupakan bagian dari delapan pesawat Airvan yang dibeli Kaltim Rp 27,5 miliar.

Mungkin bagi Kaltim dengan APBD sekitar Rp 6 triliun dana pembelian Airvan tak berarti banyak. Yang menjadi masalah, kepemilikan pesawat Airvan ternyata tak menguntungkan Pemprov Kaltim. Karena itu, mereka kini berniat menghibahkan semua Airvan untuk Pemkab Kutai Barat, Malinau, dan Nunukan.

Mengelola pesawat memang tak semudah mengelola opelet. Jangan karena punya uang, lalu jorjoran membeli pesawat, te- tapi kemudian membiarkannya mangkrak.(RYO/BRO/AIK/WHY/CAS/FUL)


sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/06/03391130/tidak.seperti.mengelola.opelet

Saatnya Membayar Utang kepada Kalimantan

”Saya tidak akan menangis. Jujur saya iri, tapi tidak dengki. Saya pasti sakit hati, tapi saya tidak akan bersungut-sungut. (Hal ini) karena empat (provinsi di) Kalimantan sebagai bagian NKRI harus terus diperjuangkan.”

Ungkapan liris mirip puisi yang pedih itu disampaikan Agustin Teras Narang, Gubernur Kalimantan Tengah, saat membuka diskusi penerbangan yang diadakan Kompas bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah di Palangkaraya, Senin (2/2).

Setelah berakhirnya era kolonialisasi Belanda di Indonesia dan Inggris di Malaysia, Pulau Borneo—sebutan lain untuk Kalimantan—yang dibelah oleh perjanjian dua negara penjajah Belanda dan Inggris pada 20 Juni 1891 diwariskan kepada bekas anak jajahannya masing-masing. Indonesia mewarisi sekitar dua pertiga tanah Borneo dan sisanya terbagi antara Malaysia dan Brunei.

”Dari tiga negara yang berada di pulau ini, penduduk di wilayah Indonesia paling miskin. Saya ke Kuching, melihat bandaranya sangat megah. Tak bisa dibandingkan dengan empat provinsi di Kalimantan,” kata Teras Narang, yang baru saja melepaskan jabatannya sebagai Koordinator Forum Kerja Sama Revitalisasi dan Percepatan Pembangunan Regional Kalimantan (FKRP2RK) pada 2 Maret.

Teras Narang menyoroti minimnya infrastruktur fisik di Kalimantan, dari defisit listrik, jalan darat dari Kaltim hingga Kalbar belum terhubung. Paling memprihatinkan, tidak ada penerbangan langsung antarprovinsi. ”Kalau saya mau ke Pontianak atau ke Balikpapan harus terbang dulu ke Jakarta. Ini biaya tinggi,” katanya.

Kemiskinan infrastruktur Kalimantan itu kontras dengan kekayaan sumber daya alamnya. ”Sebanyak 94 persen kebutuhan batu bara Indonesia disuplai Kaltim dan Kalsel, tapi kami kekurangan listrik,” kata Teras Narang.

Jika kontribusi perekonomian Kalimantan terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional tahun 2008, yakni sekitar Rp 321,9 triliun, dapat digunakan sepenuhnya untuk pembangunan di regional Kalimantan, termasuk penerbangan, tentunya kesejahteraan masyarakat yang ada saat ini akan jauh lebih baik.

”Sampai kapan Kalimantan hanya menjadi daerah penyuplai?" katanya.

Daerah modal

Jika Soekarno pernah bercita-cita menjadikan Palangkaraya sebagai ibu kota Indonesia Raya, rezim Orde Baru hanya menempatkan Kalimantan sebagai daerah modal. Kebijakan ekonomi sentralistik telah menempatkan Kalimantan menjadi daerah penyuplai untuk menggerakkan ekonomi Indonesia yang berpusat di Jawa. Namun, pembangunan Kalimantan sendiri justru dilupakan.

Infrastruktur jalan dibangun hanya seadanya, yang penting truk kayu bisa lewat. Pelabuhan-pelabuhan kecil dibangun, tetapi hanya untuk melewatkan kayu-kayu itu ke luar negeri. Adapun jalur penerbangan hanya untuk menghubungkan tiap wilayah ke Jakarta, dan tidak pernah didesain untuk menghubungkan antarprovinsi di Kalimantan.

Jatuhnya rezim Orde Baru membuka peluang otonomi daerah, tetapi pembalakan hutan justru makin marak. Industri ekstraksi penambangan juga makin merajalela. Di atas semua itu, rakyat Kalimantan tak juga bertambah makmur. Ekonomi Kalimantan masih elitis, belum menyentuh level terbawah.

Direktur Jenderal Perhubungan Udara Budhi M Suyitno mengatakan, penerbangan perintis seharusnya menjadi pionir untuk membuka daerah terpencil dan pedalaman Kalimantan. ”Penerbangan diharapkan bisa mendorong perdagangan dan memajukan ekonomi,” katanya.

Namun, penerbangan perintis itu sejauh ini ternyata lebih banyak dimanfaatkan pejabat untuk berpelesir ke luar daerah. ”Yang memanfaatkan penerbangan dari daerah seperti Papua dan Kalimantan kebanyakan pejabat yang hendak ke Jakarta,” kata Bayu Sutanto, Presiden Direktur Aviastar Mandiri.

Pembangunan infrastruktur di Kalimantan, termasuk untuk penerbangan, adalah utang negara kepada penduduk pulau ini. Lebih penting lagi adalah bagaimana membangun infrastruktur ini agar tepat sasaran.

Menata Kalimantan ke depan mestinya dimulai dengan mengubah perspektif pembangunan, yaitu dari pembangunan yang bertumpu pada ekonomi ekstraktif menjadi ekonomi berbasis rakyat. Jika tidak, burung-burung besi yang nantinya akan memenuhi udara Kalimantan hanya akan menjadi tontonan masyarakat tempatan, tanpa mereka mampu menaikinya....(CAS/BRO/WHY/FUL/RYO/AIK)

sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/06/03442052/saatnya.membayar.utang.kepada.kalimantan

23 Februari 2009

Trans-Kalimantan Belum Dukung Ekonomi Rakyat

Pontianak, Kompas - Jalur jalan trans- Kalimantan terbukti lebih banyak berfungsi sebagai jalur angkutan industri perkebunan sawit dan pertambangan batu bara lintas selatan dari Kalimantan Timur hingga Kalimantan Barat sepanjang 3.196 kilometer.

Truk yang umumnya berbeban berlebih merusak jalan sehingga mengganggu kelancaran perdagangan rakyat antardaerah dan menghambat pertumbuhan ekonomi.

Jalur trans-Kalimantan yang belum sepenuhnya selesai dibangun itu juga menjadi prasarana penyedot kekayaan daerah tersebut. Sedangkan minimnya industri pengolahan produk turunan mengakibatkan masyarakat Kalimantan tak mendapat nilai tambah.

Di Kaltim, dari Nunukan hingga Bontang, truk minyak sawit mentah (CPO) bermuatan 12 ton memenuhi badan jalan yang selebar 4,5 meter. Selain merusak jalan, arus lalu lintas terhambat karena truk sulit didahului (disusul). Truk CPO yang terjebak dalam kubangan lumpur juga memutus lalu lintas barang dan orang selama berhari-hari.

Hasil penelitian Universitas Lambung Mangkurat dan Badan Litbang Kalimantan Selatan, yang dipublikasikan di jurnal Balitbangda Kalsel 2007, menyebutkan, truk batu bara menjadi faktor dominan perusak jalan dari Kandang ke Banjarmasin (92 kilometer).

Penelitian itu juga mengungkapkan, tiap hari antara pukul 18.00 dan 06.00 rata-rata 1.500 truk batu bara berkonvoi di jalan nasional. Umumnya, beban yang diangkut mencapai 14 ton, padahal kemampuan jalan hanya 8 ton sehingga 40 km dari 92 km jalan dari Kandangan ke Banjarmasin berkondisi rusak.

Direktur Jenderal Perhubungan Darat Departemen Perhubungan Suroyo Alimoeso mengakui, masih banyak truk berbeban berlebih melintas di jalan nasional. ”Pengawasan hanya optimal pada siang hari, sedangkan pada malam hari sulit karena terbatas prasarana,” ujar Suroyo, pekan lalu.

Direktur Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum Hermanto Dardak meminta Departemen Perhubungan dan dinas perhubungan lebih mengawasi truk berbeban berlebih. ”Truk sawit dan industri sesegera mungkin juga harus lewat jalan khusus,” katanya.

Kondisi trans-Kalimantan

Perjalanan Kompas dan Departemen PU dari Nunukan, Kaltim, hingga Sambas, Kalbar, 5-19 Februari, menemukan fakta, dari 3.195,90 km jalan trans-Kalimantan, sekitar 400 km jalan masih berupa tanah dan sekitar 250 km berupa agregat (kerikil). Jalan kerikil menjadi lumpur tatkala hujan lebat.

Di Kaltim, jalan rusak terjadi di ruas Simanggaris-Malinau- Tanjung Selor, Labanan-Muara Wahau, dan Sanggata-Bontang. Di Kalsel, abrasi mengancam jalan di Pagatan, Kabupaten Tanah Bumbu. Di Kalteng, banjir memutus lalu lintas di ujung jembatan layang Tumbang Nusa.

Sepanjang 16 km jalan di Kabupaten Ketapang, Kalbar, yang berbatasan dengan Kabupaten Lamandau, Kalteng, baru tahap pembukaan. Dua sungai yang melintang juga belum dilengkapi jembatan. Pelintas terpaksa memutar lewat jalan kayu (log) perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH). Nyawa menjadi taruhan karena jalan itu dilewati truk-truk log yang besar. Akibatnya, hanya pedagang bersepeda motor yang berani lewat.

Di luar jalan yang belum terbangun, beratnya medan menyebabkan perjalanan dari Tanjung Redeb, ibu kota Kabupaten Berau, ke Samarinda (540 km) harus ditempuh Kompas dengan kendaraan gardan ganda dalam 20 jam. Sedangkan para sopir truk bahan-bahan pokok hingga pedagang itik biasanya menempuhnya selama 3 sampai 5 hari. Pembangunan dan preservasi jalan trans-Kalimantan ini terus dikebut untuk memenuhi target Menteri PU Djoko Kirmanto, yaitu terhubungnya Kaltim hingga Kalbar paling lambat akhir 2009.

Buruknya kondisi jalan dan beban jalan berlebih oleh kendaraan berat mendorong Pemerintah Provinsi Kalsel merencanakan pada Juni 2009 truk batu bara harus menggunakan jalan khusus batu bara. Ini setelah pemda mendesak dilakukannya pembangunan belasan ruas jalan khusus dan jalan bypass.

Di Kalteng, Gubernur Agustin Teras Narang dan pengusaha sawit mendesain jalan perkebunan sehingga tak merusak jalan nasional. Kalteng juga segera membangun jalur kereta batu bara sebelum ”ledakan” batu bara di Kabupaten Barito Utara, tepatnya di hulu Sungai Barito.

Anggaran dari pusat

Selain kerusakan jalan yang diakibatkan truk industri, hancurnya jalan di Kalimantan juga terkait dengan minimnya anggaran. Sebagai perbandingan, biaya pemeliharaan jalan di Indonesia Rp 20 juta per km per tahun, sedangkan di Sarawak, Malaysia, Rp 102 juta per km per tahun.

Direktur Bina Teknik Departemen PU Danis H Sumadilaga menegaskan, sebenarnya tak ada hambatan teknis dalam membangun jalan karena teknologinya sudah dikuasai. Bahkan, Tim Jelajah Kalimantan Kompas dan Departemen PU menemukan fakta bahwa konsultan teknik di Sarawak ternyata warga negara Indonesia lulusan universitas negeri ternama di Bandung.

Jadi, selain truk industri, masalah utama infrastruktur jalan yang tidak segera beres di Kalimantan adalah soal pendanaan. Direktur Bina Program Departemen PU Taufik menambahkan, dari kebutuhan anggaran ideal Rp 8,12 triliun (tahun 2009), dana yang dialokasikan hanya Rp 2,19 triliun.

Aji Sofyan Effendi, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman, mendesak kalangan industri besar ikut bertanggung jawab memperbaiki jalan. Apalagi retribusi dari 1.500 truk di ruas Kandangan-Banjarmasin hanya Rp 5,4 miliar per tahun. Padahal, biaya ideal memelihara ruas Kandangan-Banjarmasin Rp 10,4 miliar per tahun.

Bagi pengusaha, kerusakan jalan menambah waktu tempuh truk, dan itu mengurangi keuntungan. Bagi pejabat, jalan rusak memperlama perjalanan. Namun, bagi sopir truk, Syaiful, yang ditemui di Pimping, Kabupaten Bulungan, Kaltim, molornya perjalanan selama empat hari karena terbenam lumpur menyebabkan hampir separuh dari seperempat dari 50.000 bibit karet yang dibawanya mati kering. (BRO/CAS/WHY/FUL/RYO/AIK)

sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/23/00170431/trans-kalimantan.belum.dukung.ekonomi.rakyat

Kalimantan, Potensi yang Terabaikan

BAMBANG PS BRODJONEGORO

[Guru Besar dan Dekan FEUI]

Dalam periode krisis ekonomi global seperti saat ini, fokus kebijakan ekonomi lebih banyak menyentuh permasalahan ekonomi makro, sektor keuangan, dan berdimensi jangka pendek. Berbagai analisis dan estimasi mengenai dampak krisis terhadap perekonomian Indonesia membuat semua pihak terpaku pada upaya menahan pelambatan laju pertumbuhan ekonomi, mencegah bertambahnya pengangguran, serta menekan pertambahan jumlah orang miskin.

Tingkat keberhasilan berbagai upaya tersebut pada akhirnya akan bergantung pada fundamental perekonomian Indonesia sendiri yang tidak hanya terdiri atas sederetan indikator ekonomi makro, tetapi juga pada kekuatan perekonomian domestik. Meskipun sudah diakui mempunyai pasar domestik yang besar dengan penduduk lebih dari 220 juta jiwa, pertanyaan besarnya adalah sudahkah Indonesia mengoptimalkan potensi tersebut dengan memberdayakan seluruh wilayah negara dari Sabang sampai Merauke.

Laporan Pembangunan Dunia (World Development Report) 2009, yang belum lama ini dipublikasikan oleh Bank Dunia, menyampaikan pentingnya perekonomian suatu negara mengoptimalkan potensi penduduk dan wilayah yang ada di dalamnya. Dengan kata lain, suatu wilayah dapat menciptakan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas apabila berhasil menelurkan kebijakan ekonomi yang sudah mengoptimalkan potensi penduduk dan wilayahnya.

Sukses kelola kepadatan ekonomi

Singkatnya, pertumbuhan ekonomi wilayah harus memerhatikan 3D, yaitu density (kepadatan), distance (jarak), dan division (bagian). Laporan itu menyimpulkan, kemajuan perekonomian di Amerika Utara, Eropa Barat, serta Jepang terjadi karena perekonomian berhasil mengelola kepadatan ekonomi yang tinggi (PDB per kilometer persegi), memperpendek jarak antarpusat ekonomi, serta menciptakan integrasi ekonomi yang menembus segala macam batas administratif.

Laporan itu juga memperkirakan, India, China, dan ASEAN akan menjadi wilayah perekonomian berikutnya yang mengalami pertumbuhan tinggi berkesinambungan. Tingkat kepadatan ekonomi yang tinggi di India, makin dekatnya pusat-pusat ekonomi di China, serta integrasi ekonomi ASEAN adalah alasan utama dari perkiraan tersebut.

Secara kontras juga ditampilkan fakta tentang perekonomian Afrika yang sulit berkembang pesat karena tidak adanya upaya mengoptimalkan penduduk dan wilayah mereka.

Di berbagai perekonomian yang sudah digolongkan maju, kebijakan perekonomian sudah langsung menyentuh dinamika penduduk dan wilayah yang ditunjukkan dengan fenomena aglomerasi (sinergi berbagai aktivitas ekonomi yang berkaitan), migrasi (perpindahan penduduk antarwilayah), serta spesialisasi ekonomi wilayah. Agar fenomena tersebut dapat dioptimalkan, perekonomian harus mampu mengelola kebijakan urbanisasi, pembangunan berbasis kewilayahan, serta integrasi wilayah.

Terjadinya konsentrasi ekonomi Indonesia yang luar biasa di Pulau Jawa bisa dilihat dari sisi positif dan negatif. Sisi positif terlihat dari munculnya urbanisasi di Pulau Jawa yang kemudian menciptakan aglomerasi serta tumbuhnya sejumlah kota besar yang menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Pulau Jawa dan Indonesia.

Jarak antarpusat aktivitas ekonomi di Pulau Jawa juga semakin dekat dengan infrastruktur yang relatif lengkap dan terpelihara. Integrasi ekonomi antarwilayah di Jawa juga semakin kentara dengan munculnya beberapa daerah metropolitan di sekitar kota besar serta spesialisasi ekonomi di tingkat kabupaten dan kota.

Sisi negatif muncul sebagai akibat makin beratnya beban Pulau Jawa menopang perekonomian nasional serta belum dioptimalkannya perekonomian luar Jawa dengan strategi pembangunan wilayah yang mencerminkan unsur-unsur yang ditampilkan dalam laporan Bank Dunia di atas.

Perhatian khusus perlu diberikan kepada Pulau Kalimantan yang luas wilayahnya, sedikit jumlah penduduknya, tetapi berperan penting sebagai penghasil devisa dari kekayaan alamnya dan lebih jauh lagi akan sangat menentukan dalam menjaga ketahanan energi nasional.

Ekspedisi Kompas menunjukkan betapa menyedihkannya kondisi infrastruktur pulau yang demikian penting bagi Indonesia dan bahkan bagi dunia apabila dilihat dari fungsi hutan tropis dalam kelestarian lingkungan hidup. Unsur-unsur 3D jelas tidak muncul dalam perekonomian wilayah Kalimantan.

Hampir tidak ada konsentrasi kegiatan ekonomi perkotaan yang bisa menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi wilayah (kecuali mungkin Balikpapan dalam skala kecil), jauhnya jarak antarpusat ekonomi (ditambah buruknya kondisi jalan), serta hampir tidak adanya integrasi ekonomi antarwilayah (kecuali Samarinda-Balikpapan-Tenggarong dalam skala kecil).

Kombinasi kebijakan urbanisasi

Tersebarnya penduduk di hampir keseluruhan wilayah pulau jelas akan menyulitkan upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi Kalimantan yang belakangan ini tidak secepat pertumbuhan ekonomi Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Kombinasi kebijakan urbanisasi, pembangunan wilayah, serta integrasi ekonomi wilayah harus menjadi dasar kebijakan ekonomi wilayah.

Suka tidak suka, percepatan pertumbuhan ekonomi Kalimantan akan bergantung pada pertumbuhan beberapa wilayah kota besar yang akan tercipta apabila kebijakan urbanisasi dikelola dengan baik.

Konsekuensinya, akan tercipta kesenjangan antara daerah perkotaan dan pedesaan yang harus segera diatasi dengan pembangunan wilayah yang menekankan pada pemenuhan kebutuhan dan pelayanan dasar masyarakat pedesaan sekaligus mendorong integrasi ekonomi di tingkat provinsi.

Tuntutan pada pemerintah

Para bupati dan wali kota dituntut untuk memastikan pemenuhan kebutuhan dan pelayanan dasar warganya, sedangkan gubernur harus menunjukkan kepiawaiannya menciptakan integrasi ekonomi provinsinya dengan mendorong spesialisasi perekonomian setiap kabupaten dan kota yang kemudian diintegrasikan menjadi kekuatan ekonomi dan daya saing provinsinya.

Pemerintah pusat, dalam kerangka strategi pembangunan wilayah pulau, harus berkomitmen membangun trans-Kalimantan bersama pemerintah daerah agar 3D sebagai syarat percepatan pertumbuhan ekonomi Kalimantan bisa terwujud.

Syarat 3D juga berimplikasi pada pentingnya peran perbatasan dengan Malaysia sebagai pusat pertumbuhan ekonomi sekaligus mematahkan mitos yang berlaku di Indonesia bahwa daerah perbatasan hampir pasti menjadi daerah tertinggal. Bakal terwujudnya integrasi ekonomi ASEAN seharusnya akan menciptakan peluang berlimpah bagi daerah perbatasan.

sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/23/00124851/kalimantan.potensi.yang.terabaikan


Sepotong Jalan Rusia dan Impian Soekarno

C Anto Saptowalyono dan Ahmad Arif

Jalan aspal itu lurus dan mulus. Tak ada guncangan ketika mobil melaju kencang di atasnya. Ini berbeda dengan jalan trans- Kalimantan dari Nunukan, Kalimantan Timur, hingga Palangkaraya, Kalimantan Tengah, yang penuh lubang dan bergelombang.

Warga setempat mengenal jalan itu sebagai Jalan Palangkaraya-Tangkiling. Namun, Gardea Samsudin (70) mengenangnya sebagai Jalan Rusia.

Samsudin, lelaki asal Bandung, Jawa Barat, adalah sedikit saksi yang tersisa dari sepotong jalan sepanjang 34 kilometer dengan lebar 6 meter yang dibangun oleh para insinyur dari Rusia—dulu The Union of Soviet Socialist Republics. Bersama puluhan warga Dayak, Samsudin dan ratusan orang Jawa lain bekerja di bawah arahan belasan insinyur Rusia. ”Saya ikut menyusun batu-batu yang menjadi fondasi jalan ini,” kata Samsudin yang kini menetap di Palangkaraya.

Tak gampang mencari saksi lain pembangunan Jalan Rusia yang mau bicara. Sabran Achmad (80), tokoh masyarakat Kalteng, menuturkan, banyak pekerja yang ikut membangun Jalan Rusia itu menyembunyikan diri. Ini tidak lepas dari politik Orde Baru yang memberi stigma hitam kepada sesuatu yang berbau Orde Lama. Dan, jalan yang dibangun oleh insinyur Rusia itu memang berasal dari era Soekarno, yang dekat dengan negara Blok Timur itu tahun 1950 hingga 1960-an.

”Jalan itu dibangun menandai pembangunan Kota Palangkaraya. Sebelumnya, jalan itu berupa hutan lebat. Pohon-pohonnya besarnya segini,” kata Sabran sambil melingkarkan kedua lengannya.

Mimpi Soekarno

Pada mulanya adalah ayunan kapak Presiden Soekarno pada sebilah kayu di Pahandut, Kampung Dayak, di jantung Kalimantan, 17 Juli 1957. Sebilah kayu yang dibelah itu menandai pembangunan kota baru yang diimpikan Soekarno. Kota baru ini kemudian diberi nama Palangkaraya yang berarti tempat suci, mulia, dan agung, yang didesain sebagai ibu kota Indonesia Raya.

Namun, mimpi Soekarno tak pernah jadi kenyataan. Palangkaraya saat ini hanyalah sebuah ibu kota Provinsi Kalteng yang gelap dan tak bergairah karena kekurangan pasokan listrik.

Dirancang sebagai ibu kota negara, awalnya Palangkaraya dibangun dengan konsep yang jelas. Ada pengelompokan fungsi bangunan yang memisahkan fungsi pemerintahan, komersial, dan permukiman. Tata kotanya dirancang dengan memadukan transportasi darat dan sungai.

Sungai Kahayan menjadi pusat orientasi di sebelah utara kota. Sebuah jalan darat dibangun di pusat kota menuju arah Sampit. Jalan itulah yang kini dikenal sebagai Jalan Rusia, ruas jalan nasional terbaik sepanjang jalan trans-Kalimantan yang dilalui Tim Jelajah Kalimantan Kompas bersama Departemen Pekerjaan Umum (PU). ”Kita tak pernah lagi membangun jalan sebaik Jalan Rusia yang masih mulus walau sudah puluhan tahun. Lihatlah, jalan-jalan lain di Kalimantan yang baru dibangun cepat sekali rusak,” kata Wibowo, staf Departemen PU anggota Regional Betterment Office VII Banjarmasin.

Menggali gambut

Sepotong jalan itu menjadi saksi kemahiran insinyur-insinyur Rusia membangun jalan di tanah yang sangat berbeda kondisinya dengan negara asal mereka. Sabran mengisahkan, semua gambut di tapak jalan dikeruk. ”Setelah gambut dikeruk, terciptalah alur seperti sungai. Lalu, alur itu diisi batu, pasir, dan tanah padat,” kata Sabran.

Pada 17 Desember 1962, pembangunan fondasi Jalan Rusia selesai. Pada tahun-tahun berikutnya, tinggal pembuatan drainase, pengerasan, dan pengaspalan. Pekerjaan yang lambat, tetapi hasilnya prima.

Namun, pembangunan jalan yang direncanakan sepanjang 175 kilometer melewati Parenggean lalu ke Sampit dan Pangkalan Bun kemudian menghubungkan Palangkaraya dengan pelabuhan-pelabuhan sungai menuju ke Jawa ini dihentikan awal tahun 1966. Ketika itu jalan yang terbangun baru 34 km.

Pergantian kekuasaan pasca-Gerakan 30 September 1965 membuat orang-orang Rusia bergegas meninggalkan Indonesia. Semua pekerja proyek menyembunyikan diri karena tak ingin disangkutpautkan dengan Rusia, Partai Komunis Indonesia, atau bahkan Soekarno.

Cerita pembangunan Jalan Rusia itu pun tamat. Segala yang berbau Rusia dihapus, termasuk ilmu pembangunan jalan yang diajarkan insinyur mereka di ruas Palangkaraya-Tangkiling. Pembangunan jalan di Kalimantan tidak pernah lagi dimulai dengan mengeruk gambut. Namun, cukup dengan fondasi berupa kayu galam yang ditancapkan di lahan gambut itu (fondasi ini dikenal sebagai cerucuk). Pembangunan jalan menjadi lebih murah dan cepat, tetapi konstruksi jalan tidak awet.

Kepala Bidang Bina Marga Dinas PU Provinsi Kalteng Ridwan Manurung menuturkan, secara teori, ruas Palangkaraya- Tangkiling yang dibangun Rusia itu yang benar. ”Saat membuka trase jalan, harus diperhatikan struktur tanah dasar, fondasi, dan lapisan penutupnya. Jika ada tanah humus, harus diganti dengan pasir, tanah padat, atau granit. Sedalam apa pun gambutnya, harus dibuang,” katanya.

Menurut Wibowo, pembangunan jalan dengan teknik Rusia itu membutuhkan biaya tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan teknik yang dilakukan dengan cerucuk, seperti yang sekarang kita buat. ”Namun, umur jalan dengan teknik Rusia itu bisa lima kali lipat dari jalan kita,” katanya.

Bangsa ini sepertinya memang suka yang instan. Cepat selesai, cepat pula hancur. (RYO/FUL)

sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/19/00072338/sepotong.jalan.rusia.dan.impian.soekarno

Pengojek Ulin, Menantang Maut di Trans-Kalimantan

Ahmad Arif dan M Saifullah

Iring-iringan pengojek ulin berkelat-kelit di antara truk-truk batu bara sarat muatan di jalan aspal penuh lubang. Banyak yang sudah terjatuh, sebagian cedera parah, bahkan ada yang tewas. Namun, mereka nekat melintas tiap hari.

Para pengendara itu disebut pengojek ulin karena sepeda motor mereka dipenuhi muatan kayu ulin seberat rata-rata 0,5 ton.

Hari hampir malam. Darham (40) dan tiga pengojek ulin beristirahat di tepi jalan trans-Kalimantan di daerah Bati-bati, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Hampir seharian mereka memacu sepeda motor. Mereka hendak membawa kayu ulin yang mereka ambil dari desa-desa di pinggir hutan di Tanah Laut untuk dijual ke Banjarbaru, Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar, dan Banjarmasin yang berjarak lebih dari 100 kilometer.

Keempat pengendara motor itu melepaskan helm, sarung tangan, dan jaket tebal mereka. Darham bersandar di sadel sepeda motor bebeknya yang telah dimodifikasi. Rodanya diganti dengan roda cangkul yang biasa untuk sepeda motor trail. Tangki bensin yang terletak di bawah jok dipindahkan ke depan, persis di belakang setang.

Jok belakang lantas dipasangi besi melintang untuk menopang kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) seberat setengah ton. Karena beban berat kayu ulin bertumpu pada besi melintang di jok belakang, peredam kejut (shock breaker) pun ditambah sepasang sehingga motor mempunyai empat peredam kejut.

”Biaya untuk memodifikasi peredam kejut Rp 150.000. Dua setang besi untuk menaruh kayu ulin dipesan di tukang las seharga Rp 90.000,” kata Jarni (36), pengojek ulin lain.

Motor yang digunakan, menurut Jarni, umumnya keluaran 1-2 tahun terakhir. Dibutuhkan tenaga mesin yang prima untuk membawa beban seberat itu. ”Saya sudah dua kali ganti sepeda motor dalam tiga tahun ini,” kata Jarni.

Dengan motor bebek modifikasi, pengojek ulin ini bisa memacu kecepatan hingga 100 kilometer per jam. ”Kalau pelan malah bisa jatuh karena sulit menjaga keseimbangan. Kalau kencang justru aman membawa kayu-kayu itu,” kata Darham.

Namun, dengan laju secepat itu dan beban setengah ton, sepeda motor menjadi sulit dikendalikan. Sudah tak terhitung pengendara yang jatuh dengan tubuh terimpit kayu, kaki atau anggota tubuh patah, bahkan tewas. ”Kalau takut, kada (tidak) makan kita. Ada anak-anak di rumah yang butuh makan dan biaya sekolah,” kata Darham, yang memiliki tiga anak ini.

Iming-iming keuntungan tinggi membuat mereka nekat. Kayu ulin mereka beli di desa-desa di dekat hutan dengan harga Rp 25.000-Rp 35.000 per potong, kemudian mereka jual seharga Rp 45.000-Rp 60.000 per potong.

”Sekali angkut, biasanya dapat untung bersih Rp 100.000,” kata Darham. Keuntungan itu sudah dipotong angsuran kredit sepeda motor sebesar Rp 21.000. ”Kami hanya sanggup mengangkut ulin dua hari sekali. Badan bisa remuk kalau tiap hari narik kayu,” kata Darham.

Usaha ini menggiurkan karena permintaan akan kayu besi khas Kalimantan itu tinggi, tetapi pasokan kurang karena kayu sudah langka. Akibatnya, di Kalsel saat ini harga kayu ulin melangit, berkisar Rp 1 juta-Rp 2 juta per meter kubik.

Jalur penyedot kayu

Hingga beberapa tahun lalu, para pengojek ulin tak perlu membawa muatan dengan cara yang berisiko. Waktu itu mereka dengan leluasa membawa kayu ulin dengan truk asal bisa membayar uang sogokan kepada aparat. Jalan trans-Kalimantan di ruas ini menjadi saksi jutaan kubik kayu yang dibawa dengan truk-truk setiap harinya.

Tahun 2005, pemerintah menertibkan pembalakan hutan. Truk pengangkut kayu tak bisa lagi bebas berlalu lalang. Para pemain kayu yang kehilangan pekerjaan kemudian berdemonstrasi besar-besaran, yang berujung anarki dengan merusak Kantor DPRD Tanah Laut. Pemerintah Kabupaten Tanah Laut pun memberikan kelonggaran kepada pekerja kayu untuk mengangkut kayu dengan sepeda motor. Sejak itulah muncul pengojek ulin.

Keputusan Bupati Tanah Laut Nomor 35 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemanfaatan Limbah Kayu Ulin menyebutkan, panjang kayu ulin yang boleh dibawa dengan sepeda motor tidak lebih dari 1,5 meter.

Keputusan itu sempat mengundang kontroversi karena dituding menjadi pembenar bagi perdagangan kayu hasil pembalakan. ”Kayu yang dibawa pengojek motor itu bukan limbah, tapi tebangan baru. Karena itu, harus ada penertiban,” kata Kepala Dinas Kehutanan Kalsel Suhardi.

Namun, pengojek ulin yang tak memiliki alternatif usaha lain tak hirau dengan hal itu. ”Kalau dulu yang kami takuti aparat, sekarang kami hanya takut jatuh,” kata Darham, yang pada masa kejayaan pembalakan kayu menjadi sopir truk kayu.

Bagi Darham, keputusan bupati itu menjadi senjata untuk melenggang di jalan trans-Kalimantan dengan memboncengkan kayu ulin. Ia tak khawatir ditangkap aparat. Ia hanya takut jatuh dan mati di jalan.... (Haryo Damardono)

sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/16/00142245/pengojek.ulin.menantang.maut.di.trans-kalimantan

Abrasi, Trans-Kalimantan Terancam Putus

Pagatan, Kompas - Jalan trans-Kalimantan lintas selatan pada ruas Batulicin (ibu kota Kabupaten Tanah Bumbu)-Pelaihari (ibu kota Kabupaten Tanah Laut), di Kalimantan Selatan, terancam putus. Ini akibat abrasi pantai yang parah sepanjang 1,5 kilometer, di daerah Sungai Lembu, Desa Pulau Salak, Kecamatan Kusan Hilir, Kabupaten Tanah Bumbu.

Pantauan Tim Jelajah Kalimantan, Rabu (11/2), abrasi pantai menggerus bahu jalan trans- Kalimantan karena sebagian penahan gelombang dari beton hancur. Intensitas hantaman gelombang tinggi laut selama sebulan terakhir menyebabkan tingkat abrasi semakin parah.

Di kawasan itu, abrasi pantai juga menyebabkan beberapa pohon roboh, sementara sejumlah rumah dan warung warga rusak di beberapa tempat.

Pengguna jalan berharap abrasi segera ditangani. Jika tidak, selain mengancam putusnya jalan, abrasi itu juga akan merusak jembatan yang dibangun dua tahun lalu.

Batu bara dan ikan

Tahun 2006, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan membangun jembatan sepanjang 400 meter untuk menggantikan dua jembatan yang putus akibat dihantam banjir besar. Menurut Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kalsel M Arsyadi, pembangunan jembatan itu agar jalur perekonomian Banjarmasin-Tanah Bumbu dan Kota Baru tak terputus.

Saat itu, lanjut Arsyadi, pemprov memutuskan kondisi tanggap darurat sehingga mengalokasikan dana pembangunan jembatan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah-perubahan (APBD-P) Rp 18,7 miliar.

Selain hasil tambang batu bara, dua kabupaten itu dikenal sebagai sentra produksi ikan. Kabupaten Kota Baru menghasilkan tangkapan ikan 39.184,4 ton (data tahun 2007), sedangkan Kabupaten Tanah Bumbu menghasilkan 29.560,2 ton (2007).

Terkait pencegahan abrasi itu, Kepala Satuan Kerja Preservasi Kalsel pada Departemen Pekerjaan Umum (PU) Syamsul Hidayat mengatakan, pembicaraan mengenai perbaikan jalan negara itu rencananya dilakukan pekan depan antara Balai Sumber Daya Air dan Balai Pelaksana Jalan Wilayah VII Kalimantan.

”Kami bertugas menjaga agar jalan tetap fungsional, tetapi pencegahan abrasi pantai harus dikoordinasikan dengan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air,” kata Syamsul, saat ditemui di Banjarmasin.

Ia berharap dana perbaikan jalan tersebut turun seiring dengan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Atau, lanjut Syamsul, dana dialokasikan pada tahun anggaran 2010.

”Sebenarnya, kondisi ini masuk ke tanggap darurat sehingga harus cepat diperbaiki,” kata Syamsul lagi, seraya menambahkan, jalan tersebut harus dilindungi tanggul pantai sebab laut makin menggerus daratan. Tahun lalu, jarak laut dengan jalan mencapai 8 meter. Kini tak tersisa lagi daratan.

Menurut Direktur Rawa dan Pantai Ditjen Sumber Daya Air Departemen PU Djajamurni Warga Dalam, mangrove harus ditanam di kawasan pesisir itu untuk melindungi infrastruktur. ”Bila mengandalkan pendanaan, sangat berat melindungi infrastruktur di pantai-pantai. Sebab, kami hanya mendapat Rp 400 miliar untuk tahun ini,” katanya.

Anggaran sebesar itu, menurut Djajamurni, hanya bisa membangun 40 kilometer tanggul laut. Padahal, garis pantai Indonesia 81.000 kilometer.

Di Kalimantan Barat, abrasi juga mengancam jalan nasional yang menghubungkan Mempawah (ibu kota Kabupaten Pontianak) dengan Kota Singkawang. Namun, tanggul laut telah dibangun Departemen PU dengan cara membuat kubus beton berukuran 40 x 40 sentimeter. Mangrove pun telah ditanam pada ruang di antara tanggul laut dan jalan nasional.

”Kami mencoba menghemat anggaran di tanggul laut yang melindungi jalan nasional itu. Caranya, memasang terucuk, kemudian menaruh anyaman bambu di dasar laut, kemudian meletakkan kumpulan batu kubus di atasnya,” tambah Djajamurni.

Biasanya, lanjutnya, tanggul laut dibuat dari tembok beton masif. Inovasi itu dikerjakan agar pantai yang ditangani lebih panjang. (RYO/FUL/AIK)

Truk Hancurkan Jalan

Tanjungredeb, Kompas - Truk tangki bermuatan minyak sawit mentah ikut menyebabkan hancurnya jalan trans-Kalimantan di ruas Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, hingga Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, sejauh 100 kilometer.

Karena itu, perusahaan minyak sawit mentah (CPO) terkait diminta ikut bertanggung jawab memelihara jalan.

Minggu (8/2), 12 truk tangki CPO milik PT Matra Sawit masing-masing bermuatan 12 ton berkonvoi di ruas jalan itu. Salah satu truk terjebak lumpur sedalam 30 cm sehingga enam truk bermuatan makanan dan sejumlah kendaraan pribadi ikut tertahan. Alat berat milik perusahaan sawit yang mengawal berusaha mengeluarkan truk tangki yang terjebak itu.

”Saya sudah semalam di sini. Hari ini sudah lumayan, dua hari lalu 370 kendaraan tertahan di sini,” kata Kharudin, pengendara kendaraan pribadi yang ikut terjebak.

Kasubdit Jalan dan Jembatan Wilayah Timur Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum Suharyanto mengatakan, truk tangki CPO berbeban berlebih memperpendek umur jalan. Jalan itu hanya mampu dilewati beban 8 ton.

Harus bertanggung jawab

Bupati Berau Makmur HAPK mengatakan, pihaknya telah meminta perkebunan kelapa sawit dan perusahaan CPO membantu perbaikan jalan. ”Ada komitmen awal yang bila diuangkan setara Rp 700 juta,” katanya.

Menurut Makmur, kesediaan industri penting karena pemerintah kabupaten tak mungkin membantu langsung pendanaan perbaikan jalan nasional karena ada kewenangan masing-masing.

Di Kutai Timur ada perusahaan kelapa sawit yang mengangkut hasilnya dengan truk. Tiap hari ada 60-70 truk tangki CPO melewati trans-Kalimantan menuju pelabuhan di Labanan, Berau.

Makmur minta agar pemerintah pusat tak setengah hati memperbaiki jalan. ”Jalan yang rusak harus dibongkar dan dibangun dari awal, termasuk fondasinya,” kata Makmur.

Suharyanto menyatakan, keterbatasan dana membuat target pemerintah pusat baru membuat tembus sebagian besar ruas trans-Kalimantan.

Menurut Kepala Satuan Kerja Preservasi Kaltim Budi Leksono, anggaran pembangunan dan pemeliharaan trans-Kalimantan dari Labanan menuju KM 50 tahun 2009 hanya Rp 3,5 miliar dari kebutuhan Rp 150 miliar. Dengan demikian, pekerjaan yang dilakukan sekadar perbaikan.

”Dengan Rp 3,5 miliar, pekerjaan perawatan dan pembangunan hanya cukup untuk ruas jalan sepanjang 1,4 km,” ujar Budi. Belum lagi ada stagnasi proyek karena belum ada hasil lelang proyek.

Sementara di ruas Muara Wahau hingga KM 100, dari kebutuhan dana Rp 237 miliar, hanya dialokasikan dana Rp 3,5 miliar pada tahun anggaran 2009. Artinya, jalan yang tertangani juga hanya 1,4 kilometer.

Kerusakan jalan di Muara Wahau hingga Labanan dikeluhkan sopir truk. Pekan lalu, beratus-ratus truk tertahan selama 2-3 hari akibat terjebak dalam lumpur. (RYO/BRO/AIK)

sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/09/01211018/truk.hancurkan.jalan

07 Februari 2009

Ke Batas Negara, Rumit dan Mahalnya Mobilitas

Haryo Damardono dan Ambrosius Harto

Ketika mobilitas fisik terhalang, di ujung jalan orang akan terpaku pada ketertinggalan, tingginya biaya hidup, dan mungkin rasa ”buntu jalan”. Inilah Tarakan-Nunukan, penggalan pertama kami.

”Penerbangan menuju Nunukan, Kamis (5/2), dibatalkan karena alasan perawatan. Kami baru terbang lagi hari Jumat. Maaf, tiada penerbangan lain ke sana,” kata Diana, perwakilan Trigana Air di Tarakan, Kalimantan Timur, Rabu. Berita itu kami dapatkan begitu pesawat yang membawa kami mendarat di Bandara Juwata, Pulau Tarakan.

Rencananya, dari Tarakan kami akan terbang ke Pulau Nunukan, kemudian menyeberang dengan kapal ke Nunukan daratan. Dari sana, perjalanan darat menjelajah trans-Kalimantan kami bermula.

Untuk mencapai titik terujung di Kaltim ini, kami harus terbang dari Jakarta menuju Banjarmasin, lalu dari Banjarmasin menuju Balikpapan, dan dari Balikpapan menuju Tarakan.

Tak mungkin menempuh semua penerbangan itu dalam satu hari, sebab penerbangan Tarakan-Nunukan dijadwalkan pukul 07.05, sedangkan pesawat baru tiba di Tarakan pukul 16.15 Wita. Jadi, kami harus menginap sehari di Kota Tarakan.

Akhirnya, kami memutuskan menghapus angan naik pesawat ke Nunukan, yang dapat dicapai selama 15 menit terbang. Kamis pagi, kami memilih naik kapal cepat (speedboat) meski harus menghabiskan waktu 2,5 jam, yang artinya pemborosan waktu 10 kali lebih lama dari pesawat.

Kapal cepat bermesin 600 PK yang kami tumpangi itu mengangkut 30 penumpang. Tarif tiketnya Rp 175.000 per orang. Kalau naik pesawat, tarifnya Rp 365.000 per orang. Warga Nunukan lebih banyak memilih kapal cepat. Selain tarif tiketnya terjangkau, angkutan laut ini tersedia setiap hari.

Pilihan naik kapal cepat karena jadwal perjalanan memang harus ditepati. Sebab, mobil double gardan telah menunggu kami untuk mulai menapaki jalan darat trans-Kalimantan dengan titik awal dari perbatasan Indonesia-Malaysia di Simanggaris, Kabupaten Nunukan, Kaltim. Kendaraan itu didatangkan dari Samarinda, menempuh perjalanan lebih dari 1.000 kilometer.

Melakukan perjalanan di Kalimantan memang tidak semudah seperti di Pulau Jawa atau Sumatera. Di Jawa dan Sumatera semua wilayahnya sudah tersambung dengan jaringan jalan darat. Di Kalimantan belum semua wilayahnya tersambung jalan darat.

Di kapal cepat jurusan Tarakan-Nunukan, kami bertemu dengan Juleha (60). Warga Tanjung Selor, Kaltim, itu bersama suami dan dua cucunya bercerita tentang kerumitan mobilitas di Kalimantan.

Baru beberapa hari sebelumnya ia melakukan perjalanan darat melintasi jalan trans-Kalimantan ruas Samarinda-Tanjung Selor sepanjang 717 kilometer. Perjalanan itu ditempuhnya sehari semalam dengan menggunakan mobil Kijang, dengan ongkos sewa Rp 250.000.

”Itu kalau kondisi jalannya kering. Tetapi, kalau hujan dan jalan menjadi kubangan lumpur, warga bisa saja terpaksa tidur di hutan,” kata Juleha.

Juleha dan keluarganya dari Tanjung Selor naik kapal cepat ke Tarakan bertarif Rp 80.000 per orang. Lalu melanjutkan lagi ke Nunukan menggunakan kapal cepat lain dengan harga tiket Rp 170.000. ”Perjalanan itu sekitar tiga hari,” kata Juleha.

Tiba di Pelabuhan Tunon Taka, Nunukan, tim Jelajah Kalimantan masih menghadapi kendala lain untuk melanjutkan perjalanan ke Simanggaris. Angkutan kapal cepat ke kecamatan di perbatasan Kaltim itu hanya dijadwalkan Senin dan Rabu.

Untuk bisa melanjutkan perjalanan, tidak ada pilihan lain, kami harus menyewa kapal cepat lagi dengan tarif Rp 2 juta. Itu pun belum mengantar sampai ke titik nol perbatasan negara (Simanggaris) itu. Perjalanan dengan kapal cepat bermesin 200 PK berkapasitas 12 orang itu ditempuh dalam satu jam.

Perjalanan ini melewati pos pengamanan perbatasan yang dijaga anggota TNI dari Batalyon 613/Raja Alam. Pos ada di kawasan hutan mangrove, perairan Teluk Sebuku. Selanjutnya menyusuri Sungai Ular, dan berhenti di sebuah dermaga kayu, yang bersebelahan dengan pos polisi, dan sejumlah rumah warga.

Dari dermaga itulah dimulai perjalanan darat ke perbatasan negara di Simanggaris. Lamanya tiga jam. Jalan itu cukup mulus karena baru selesai diaspal akhir 2008 sepanjang tiga kilometer.

Yuyun Kurniawan, Direktur Yayasan Titian, memberikan informasi bahwa Simanggaris adalah perbatasan Kaltim yang paling rawan terjadinya perdagangan kayu ilegal. Lewat jalan darat, kayu masuk ke Kalaban, di Sabah, Malaysia.

Kalaban dengan empat pabrik kayu lapisnya adalah ”pemroses” bahan baku kayu dari hutan sekitar Simanggaris. ”Sampai April 2008 masih terjadi penyelundupan kayu ke Kalaban, tetapi sekarang sepi karena pabrik-pabrik kayu di sana tutup,” kata Yuyun mengungkapkan.

Simanggaris pernah menjadi sorotan nasional terkait korupsi pembukaan hutan untuk lahan kelapa sawit sejuta hektar. Kasus inilah yang menyeret Suwarna Abdul Fatah, Gubernur Kaltim, yang divonis empat tahun penjara.

Sekarang, Simanggaris menjadi kawasan sepi. Dan terasa amat jauhnya... dari kemajuan dan kesejahteraan. (Ahmad Arif/M Syaifullah)

sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/06/0010401/ke.batas.negara.rumit.dan.mahalnya.mobilitas